Alamak! Cadev Ambles US$ 3,6 Miliar, BI Banyak Intervensi?
Jakarta, CNBC Indonesia - Cadangan devisa Indonesia turun tajam di awal tahun 2022, artinya amunisi Bank Indonesia (BI) untuk menghadapi kenaikan suku bunga bank sentral Amerika Serikat (AS) juga berkurang. Seperti diketahui, bank sentral AS (The Fed) akan menaikkan suku bunga di bulan Maret, dan bisa memicu tekanan bagi rupiah.
Guna menstabilkan rupiah ketika mengalami gejolak, BI bisa menggunakan cadangan devisa untuk melakukan intervensi di pasar spot, domestic non-deliverable forward (DNDF) dan pasar obligasi.
BI hari ini melaporkan cadangan devisa per akhir Januari 2022 sebesar US$ 141,3 miliar. Turun US$ 3,6 miliar dari bulan sebelumnya.
Dengan demikian, cadangan devisa Indonesia mengalami penurunan dua bulan beruntun dan berada di level terendah dalam 6 bulan terakhir. Cadangan devisa tersebut juga semakin jauh dari rekor tertinggi US$ 146,9 miliar yang dicapai pada September 2021 lalu.
Meski demikian, cadangan devisa tersebut setara dengan pembiayaan 7,6 bulan impor atau 7,4 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.
"Penurunan posisi cadangan devisa pada Januari 2022 antara lain dipengaruhi oleh kebutuhan pembayaran utang luar negeri pemerintah dan berkurangnya penempatan valas perbankan di Bank Indonesia antara lain sebagai antisipasi kebutuhan likuiditas valas sejalan dengan membaiknya aktivitas perekonomian," sebut keterangan tertulis BI.
Seperti disebutkan BI, aktivitas perekonomian memang terus menunjukkan perbaikan. Saat roda perekonomian berputar lebih cepat, impor tentunya meningkat dan kebutuhan valuta asing (valas) juga bertambah.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Senin kemarin, di kuartal IV-2021 perekonomian Indonesia tercatat tumbuh 5,02% year-on-year (yoy), dengan pertumbuhan impor tercatat melesat hingga 29,6% (yoy).
Sebelum Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek), Bandung Raya, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Bali dinaikkan menjadi level 3 di pekan ini, tanda-tanda pertumbuhan ekonomi yang membaik sudah terlihat dari aktivitas manufaktur.
Sektor manufaktur menjadi penyumbang terbesar produk domestik bruto (PDB) berdasarkan lapangan usaha. Di kuartal IV-2021, kontribusinya sebesar 18,8%.
IHS Markit di awal bulan ini melaporkan purchasing managers' index (PMI) manufaktur di bulan Januari sebesar 53,7, lebih tinggi dari bulan sebelumnya 53,5.
PMI manufaktur menggunakan angka 50 sebagai ambang batas. Di bawah 50 berarti kontraksi, di atasnya adalah ekspansi.
Artinya, sektor manufaktur meningkatkan ekspansinya di awal tahun ini, yang tentunya menjadi kabar bagus. Peningkatan ekspansi artinya juga peningkatan impor bahan baku/penolong, yang tentunya akan meningkatkan kebutuhan valas.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Rupiah Stabil di Januari, BI Banyak Intervensi?
(pap/pap)