
Alamak! Cadev Ambles US$ 3,6 Miliar, BI Banyak Intervensi?

Selain faktor yang disebutkan sebelumnya, ada kemungkinan penurunan cadangan devisa juga terjadi akibat intervensi yang dilakukan BI untuk menstabilkan nilai tukar rupiah.
Sepanjang bulan Januari lalu, rupiah tercatat melemah 0,91% ke Rp 14.380/US$. Dengan pelemahan tersebut bisa dikatakan rupiah masih cukup stabil, sebab The Fed saat itu menegaskan akan bertindak agresif dalam menaikkan suku bunga di tahun ini, bahkan juga akan mengurangi nilai neracanya.
"Dengan inflasi jauh di atas 2% dan pasar tenaga kerja yang kuat, Komite (Federal Open Market Committee/FOMC) memperkirakan akan tepat untuk segera menaikkan rentang target suku bunga (Federal Funds Rate/FFR)," tulis pernyataan The Fed saat pengumuman kebijakan moneter Januari lalu.
The Fed juga diperkirakan bisa menaikkan suku bunga lebih dari 3 kali di tahun ini melihat pernyataan ketua The Fed, Jerome Powell yang menyebut inflasi masih berisiko meninggi.
"Risiko inflasi masih naik dalam pandangan FOMC begitu juga dengan pandangan pribadi saya. Ada risiko cukup besar inflasi yang kita alami saat ini akan berlangsung dalam waktu yang lama. Ada juga risiko inflasi akan semakin tinggi. Kami harus berada pada posisi di mana kebijakan moneter bisa mengatasi semua kemungkinan yang ada," kata ketua The Fed, Jerome Powell dalam konferensi pers usai pengumuman kebijakan moneter, sebagaimana dilansir CNBC International.
Tidak hanya mengerek suku bunga, The Fed juga mengkonfirmasi akan mengurangi nilai neracanya (balance sheet) di tahun ini.
Sejak pandemi Covid-19 melanda, The Fed menerapkan kebijakan program pembelian obligasi (quantitative easing/QE) senilai US$ 120 miliar per bulan. Nilai QE tersebut sudah dikurangi (tapering) sejak bulan November lalu, dan akan berakhir pada Maret nanti.
QE pertama kali dilakukan pada Maret 2020, artinya sudah berlangsung selama 2 tahun yang membuat neraca The Fed melonjak menjadi nyaris US$ 9 triliun.
Besarnya nilai neraca tersebut yang akan mulai dikurangi oleh The Fed, artinya obligasi yang dimiliki akan dilepas sehingga menyerap kembali likuiditas.
Dalam pernyataannya dini hari tadi, The Fed mengatakan pengurangan nilai neraca bisa dilakukan setelah suku bunga dinaikkan dan itu akan dilakukan "dengan cara yang dapat diprediksi".
Ketua The Fed juga mengkonfirmasi akan mengurangi nilai neracanya, tetapi tidak menyebutkan waktu yang spesifik.
"Neraca secara substansial lebih besar dari seharusnya. Perlu dilakukan pengurangan secara substansial dan itu akan memerlukan waktu. Kami ingin proses tersebut dilakukan dengan teratur dan dapat diprediksi," kata Powell.
Artinya, The Fed jauh lebih agresif ketimbang tahun 2013 lalu, saat itu nilai tukar rupiah terus merosot hingga akhir 2015, dengan total persentase sekitar 50%.
Agresifitas The Fed tersebut juga memicu capital outflow dari pasar obligasi meski tidak terlalu besar. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR), sepanjang bulan Januari terjadi capital outflow di pasar obligasi sebesar US$ 4 triliun.
Dengan tekanan dari eksternal dan adanya capital outflow, sejauh sejauh ini rupiah masih cukup stabil, selain karena fundamental dari dalam negeri yang jauh lebih baik, kemungkinan ada juga campur tangan dari BI, sehingga menguras cadangan devisa.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)[Gambas:Video CNBC]
