Sentimen Pasar Pekan Depan

Simak! Kabar-Kabar Ini Siap 'Menggoyang' Pasar Pekan Depan

Aldo Fernando, CNBC Indonesia
06 February 2022 14:59
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) bergerak menguat sepanjang pekan lalu. Dinamika IHSG searah dengan bursa saham Asia yang juga menuju ke utara.

Pada Jumat (4/2), IHSG ditutup di posisi 6.731,39. Naik 0,71% dibandingkan sehari sebelumnya dan menyentuh rekor tertinggi sepanjang masa.

Ini membuat IHSG membukukan penguatan 1,29% secara mingguan. Pekan sebelumnya, IHSG terpangkas 1,2%.

IHSG bergerak searah dengan bursa saham Asia lainnya. Secara mingguan, indeks Nikkei 225 (Jepang) melesat 2,66%, Sensex (India) 2,53%, SETI (Thailand) 1,3%, Straits Times (Malaysia) 2,62%, dan PSEI (Filipina) 2,82%.

Tak hanya di Asia, bursa saham Amerika Serikat (AS) juga menguat. Sepanjang minggu lalu, indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) naik 1,1%, S&P 500 1,6%, dan Nasdaq Composite 2,4%.

Aura kenaikan suku bunga tidak mengurungkan minat investor untuk memborong saham. Padahal lingkungan suku bunga tinggi semestinya tidak kondusif karena akan membuat biaya ekspansi korporasi meningkat. Laba akan tertekan, dan ini tentu menjadi sentimen negatif.

Setelah bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed), pekan ini giliran bank sentral di Eropa yang naik panggung. Bank sentral Zona Euro (ECB) memang belum menaikkan suku bunga acuan. Namun Presiden Christine Lagarde menyampaikan pesan yang bernada hawkish.

"Inflasi sepertinya akan bertahan di level tinggi dalam periode yang lebih lama dari perkiraan sebelumnya. Dibandingkan dengan perkiraan Desember, risiko inflasi lebih bersifat upside dan mungkin akan bertahan dalam waktu dekat," papar Lagarde dalam jumpa pers usai rapat, seperti dikutip dari Reuters.

Nada atau tone ini membuat pelaku pasar beranggapan bahwa ECB siap untuk menaikkan suku bunga acuan tahun ini. "Rapat ECB ini menandai satu hal penting yaitu perubahan menjadi hawkish," ujar Carsten Brzeski, Ekonom ING, juga dikutip dari Reuters.

Sementara bank sentral Inggris (Boe) lebih agresif dengan kembali menaikkan suku bunga acuan menjadi 0,5%. Ini menjadi kenaikan dua bulan beruntun yang pertama sejak 2004.

Namun berbagai dinamika ini sepertinya sudah masuk dalam perhitungan pelaku pasar. Sudah priced-in alias sudah diperhitungkan sehingga tidak ada kejutan. Oleh karena itu, investor tetap memburu aset-aset berisiko seperti saham.

Sentimen Pekan Depan

Lalu, bagaimana dengan sentimen pekan depan?

Secara umum, perkembangan kasus Covid-19 di dalam negeri tetap menjadi backdrop alias sentimen negatif yang terus dicermati investor.

Pada Sabtu kemarin (5/2/2022), ada penambahan sebanyak 33.729 kasus positif. Ini adalah kasus harian tertinggi sejak 6 bulan lalu.

Sementara, DKI Jakarta mencatat pertambahan tertinggi dengan 12.774 kasus.

Dengan pertambahan kasus per Sabtu, total kasus positif Covid-19 di DKI Jakarta mencapai 965.145 kasus.

Secara total, kasus konfirmasi di RI menjadi 4.480.423 kasus. Hal ini didorong oleh merebaknya varian baru Covid-19 Omicron.

Selain soal kasus Covid-19, secara global, eskalasi geopolitik akibat konflik Rusia dan Ukraina yang semakin memanas masih akan menjadi perhatian investor. Apalagi, sepanjang pekan lalu, harga minyak mentah dan komoditas energi lainnya turut terdorong naik seiring friksi kedua negara yang menyeret negara-negara utama lainnya.

Teranyar, sebuah manuver baru dilakukan oleh China dan Rusia untuk membendung hegemoni dan dominasi negara-negara Barat pimpinan Amerika Serikat (AS).

Dalam sebuah pertemuan antara Presiden China Xi Jinping dan Presiden Rusia Vladimir Putin, kedua negara sepakat untuk mendeklarasikan kemitraan "tanpa batas". Beijing mendukung permintaan Rusia agar Ukraina tidak diterima di NATO sementara Moskow menentang segala bentuk kemerdekaan bagi Taiwan.

Sebelumnya, Amerika Serikat (AS) memperingatkan perusahaan-perusahaan China untuk tidak membantu Rusia dalam menghindari kontrol ekspor jika Moskow menyerang Ukraina. Jika tidak, mereka akan menghadapi konsekuensi dari Negeri Paman Sam.

Dari Data Pertumbuhan Ekonomi RI, RDG BI, sampai Inflasi AS

Selain soal dua sentimen di atas, investor juga akan menyimak deretan rilis data ekonomi sejumlah negara utama yang bisa menjadi pendorong pasar selama sepekan.

Pada Senin (7/2), dari dalam negeri, Badan Pusat Statistik (BPS) dijadwalkan merilis data pertumbuhan ekonomi RI periode kuartal IV-2021.

Ekonomi Indonesia pada 2021 diperkirakan tumbuh positif, setelah tahun sebelumnya mengalami kontraksi (pertumbuhan negatif). Tahun ini, ekonomi Ibu Pertiwi diperkirakan bisa tumbuh lebih tinggi lagi.

Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan Produk Domestik Bruto (PDB) Tanah Air pada Oktober-Desember 2021 tumbuh 0,98% dibandingkan kuartal sebelumnya (quarter-to-quarter/qtq).

Sementara pertumbuhan ekonomi kuartal IV-2021 dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/yoy) adalah 5,06%. Jauh lebih baik ketimbang kuartal sebelumnya yang tumbuh 3,51% yoy.

Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi sepanjang 2021 diperkirakan sebesar 3,65%. Juga jauh membaik ketimbang 2020 yang minus 2,07%.

Pada Selasa (8/2), Bank Indonesia (BI), akan mempublikasikan posisi cadangan devisa (cadev) per Januari 2022. Menurut Tradingeconomics, posisi Cadev RI akan naik menjadi US$ 145,2 miliar per Januari dari posisi akhir Desember 2021 sebesar US$ 144,9 miliar.

Pada hari yang sama, dari Negeri Kanguru Australia akan ada rilis data indeks keyakinan konsumen per Januari 2022.

Selain itu, pada Selasa, dari Amerika Serikat (AS), akan ada rilis neraca dagang per Desember 2021 yang Tradingeconomics perkirakan akan kembali defisit menjadi US$ 83 miliar dari posisi sebelumnya minus US$ 80,2 miliar.

Kemudian, BI akan menggelar Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI selama dua hari, dari Rabu (9/2) sampai Kamis (10/2).

Sejurus dengan itu, pada Kamis (10/2), BI akan mengumumkan keputusan soal suku bunga acuan. Ekonomi yang dihimpun Tradingeconomics memperkirakan, MH Thamrin masih akan mempertahankan suku bunga acuan di level 3,5%.

Sebelumnya, BI mengaku akan menjaga suku bunga acuan pada level yang rendah sampai ada tanda-tanda kenaikan inflasi.

"BI 7 days reverse repo rate tetap dipertahankan rendah sampai ada tanda-tanda kenaikan inflasi," ungkap Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers, Rabu (2/2/2022)

Inflasi saat ini masih rendah, yakni di bawah 2% atau di luar rentang asumsi inflasi yang diperkirakan oleh BI maupun pemerintah.

'Panasnya' Inflasi Negeri Paman Sam

Selanjutnya, pada Kamis (10/2), sekitar pukul 20.80 WIB, data yang paling ditunggu-tunggu investor seluruh dunia akan dirilis: indeks harga konsumen alias data inflasi AS per Januari 2022.

Menurut jajak pendapat Reuters, indeks harga konsumen AS untuk Januari akan naik menjadi 7,3% secara tahunan (yoy). Angka ini menjadi kenaikan terbesar sejak 1982.

Pada Desember 2021, inflasi tahunan AS menyentuh level 7%.

'Panasnya' inflasi bisa semakin mendorong bank sentral AS alias Federal Reserve (The Fed) untuk semakin bertindak agresif-salah satunya soal kenaikan suku bunga-dan pada gilirannya juga turut membuat imbal hasil (yield) Treasury AS menanjak tinggi.

Lingkungan bunga yang tinggi pada gilirannya berpotensi menjadi sentimen negatif bagi pasar saham dan ekonomi secara keseluruhan. Ini karena akan membuat biaya ekspansi korporasi meningkat yang kemudian bisa menekan laba (mungkin, dalam taraf tertentu, dengan pengecualian sektor keuangan/finansial).

Terakhir, masih dari AS, pada Jumat (12/2), bakal ada publikasi data awal soal sentimen konsumen AS per Februari yang diterbitkan Universitas Michigan.

Menurut Tradingeconomics, indeks sentimen konsumen AS akan naik menjadi 67,5. Sebelumnya, pada Januari 2022, indeks ini berada di level 67,2.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular