Jakarta, CNBC Indonesia - Bank raksasa nasional telah merilis kinerja keuangan sepanjang 2021. Terbaru, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) mengumumkan lompatan laba bersih hingga 75%, menunjukkan tren pemulihan UMKM dan kuatnya imbas positif digitalisasi.
Saat ini ada empat bank yang masuk kategori Kelompok Bank berdasarkan Modal Inti (KBMI) IV atau bank raksasa dengan modal inti di atas Rp 70 triliun. Mereka adalah BRI, PT Bank Mandiri Tbk, PT Bank Central Asia Tbk (BCA), dan PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI).
Dari keempat bank tersebut, BRI kembali menunjukkan keunggulan yang menjadi kekhasannya, yakni profitabilitas tinggi di lini bisnis Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dengan mencetak laba bersih Rp 32,2 triliun (lini bisnis bank) dan Rp 30,8 triliun (konsolidasi).
Harus diakui, laba bersih emiten berkode BBRI ini belum bisa kembali ke level pra-pandemi 2019 yang sebesar Rp 34,4 triliun. Dari sisi nilai laba bersih, perseroan bersaing dengan bank swasta terbesar nasional yakni BCA yang mencetak laba bersih Rp 31,4 triliun (konsolidasi).
Hal ini wajar karena pandemi belum usai, sementara UMKM-yang menjadi basis keunggulan BRI-paling terpukul. Sembilan dari 10 UMKM di Indonesia mengalami penurunan permintaan, menurut Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia (UI).
Meski laba bersih bersaing ketat dengan PT Bank Central Asia Tbk (BCA), BRI masih tak terkejar dalam hal margin bunga bersih (net interest margin/NIM), yakni rasio yang menunjukkan kelihaian bank memutar dana masyarakat menjadi kredit yang produktif.
NIM perseroan mencapai 6,89% per Desember 2021, melampaui target internal yang dipatok sebesar 6,7%. Sebagai perbandingan, NIM BCA sepanjang tahun lalu sebesar 5,1%, yang bahkan masih lebih rendah dari NIM BRI di tahun terberat pandemi pada 2020 sebesar 5,86%.
Keunggulan lainnya adalah porsi kredit hijau, yang berbasis Environmental, Social, and Governance (ESG). Nilai kredit green banking di bank yang dipimpin Sunarso ini mencapai 65% dari total kredit, yang setara dengan Rp 617,8 triliun.
Ini merupakan porsi kredit hijau terbesar dengan nilai tertinggi di industri perbankan Tanah Air. Sebagai perbandingan, porsi kredit ESG di BCA yang hanya 23%. Artinya, bank BRI tidak mencetak laba semata, melainkan juga menyumbang nilai positif ke masyarakat dan lingkungan.
Porsi kredit hijau terbesar di BRI berasal dari kredit sektor UMKM senilai Rp 547 triliun, diikuti kredit terkait penggunaan lahan dan pengelolaan sumber daya alam hidup yang berkelanjutan yang nilainya mencapai Rp 43,2 triliun.
Sepanjang tahun 2021, BRI pun mampu memperdalam penetrasi layanan keuangan secara efisien hingga menyentuh sektor ultra mikro, memperluas jangkauan yang selama ini menjadi keunggulan komparatifnya yakni di segmen UMKM.
Harap diingat, UMKM di Indonesia merupakan soko guru perekonomian. Sebanyak 64 juta unit UMKM menyediakan lapangan pekerjaan bagi 97% tenaga kerja nasional dan menyumbang 61% Produk Domestik Bruto (PDB) nasional.
Tahun ini cerita UMKM agak berbeda. Nilai kredit yang direstrukturisasi di BRI selaku penguasa UMKM ini turun menjadi 17,3% dari total kredit, membaik jika dibandingkan dengan tahun 2020 di mana 22,8% atau seperlima lebih kredit di BRI harus direstrukturisasi.
Secara umum, kredit berisiko (loan at risk/LAR) di BRI sepanjang pandemi ini menunjukkan tren perbaikan. Setelah porsi kredit berisiko sempat melesat menjadi nyaris 30% dari total kredit (per kuartal I-2020), porsi LAR membaik menjadi 24,1% per Desember 2021.
Terkait kredit bermasalah (non-performing loan/NPL), data membuktikan bahwa NPL sektor UMKM justru hanya 1,4%-4%. NPL terkecil di segmen mikro (1,49%) sementara segmen usaha kecil sebesar 4,05%. Sebaliknya korporasi menjadi penyumbang NPL terburuk, hingga 10,72%.
Di sisi lain, penyaluran kredit ultra mikro meroket 37,3% menjadi Rp 390,5 triliun berkat peningkatan penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan Kredit Umum Pedesaan (Kupedes), serta akuisisi atas PT Permodalan Nasional Madani (PNM) dan PT Pegadaian.
Akuisisi PNM dan Pegadaian, yang terwujud pada 13 September 2021, baru terlihat efeknya di 3 bulan terakhir 2021. Efek paling kasat mata pada kuartal IV-2021 adalah efisiensi, yang terlihat dari biaya pendanaan (cost of fund) ketiga lembaga keuangan tersebut yang kompak menurun.
Jika pada September 2021 biaya pendanaan BRI mencapai 2,14%, angka tersebut membaik pada Desember 2021 menjadi 2,05%. Demikian halnya dengan Pegadaian dan PNM yang masing-masing membaik dari 6,04% dan 9,02% menjadi 5,77% dan 8,54%.
Semakin kecil biaya pendanaan, berarti semakin efisien sebuah institusi keuangan menyalurkan kredit. Dalam konteks integrasi PNM, Pegadaian, dan BRI tercipta sinergi dari 58 gerai Ultra Mikro (Senyum) di Jawa dan Sumatera (September 2021) menjadi 153 gerai (Desember 2021).
Dengan demikian, 2021 menjadi tahun penuh gemblengan bagi BRI, di mana pandemi membuat layanan digital mereka kian teruji untuk menciptakan efisiensi dan membantu memperdalam penetrasi kredit BRI. Dengan pondamen yang telah dibangun itu, tidak heran perseroan tahun ini optimistis menargetkan pertumbuhan kredit antara 9-11%, dengan NIM meroket ke 7,6-7,8%.
Digitalisasi yang dirintis perseroan sejak 5 tahun terakhir kian membuahkan hasil di tengah pandemi. Terbukti, jumlah penggunaan BRIMO (BRI Mobile) meningkat secara eksponensial, dari 3 juta pada 2019 (sebelum pandemi), menjadi 9,1 juta pada 2020, dan melesat 56,4% menjadi 14,2 juta orang per akhir tahun lalu.
Volume transaksi pun melesat dari 101 juta kali (2019) menjadi 766 juta kali (2020) dan melesat 66,2% menjadi 1,27 miliar transaksi. Nilai transaksi meroket dari hanya Rp 34 triliun (2019) menjadi Rp 197 triliun (2020), dan meroket 581,1% menjadi Rp 1.345 triliun per akhir 2021.
Secara total, jumlah transaksi melalui internet banking (termasuk BRIMO) mencapai 3,2 miliar dalam setahun, tumbuh 17,8% dari posisi tahun 2020 sebesar 2,7 miliar. Jika dirata-rata, maka setahun kemarin BRI setiap detik memfasilitasi 101 transaksi internet banking, sepanjang tahun.
Tingginya volume transaksi tersebut sejalan dengan semakin lengkapnya fitur layanan yang dimiliki BRIMO. Per 2021, fasilitas digital banking tersebut telah menyediakan lebih dari 80 fitur di dalamnya, yang menghubungkan 10 ekosistem berbeda ke dalam 1 aplikasi.
Beberapa di antaranya adalah ekosistem transportasi, layanan kesehatan, fintech, e-commerce, agrikultur, minyak dan gas (migas), hingga pendidikan. Hal itu dimungkinkan menyusul pengembangan teknologi Application Programming Interface (API) melalui BRIAPI.
"Untuk menjawab tantangan masa depan, termasuk memenuhi karakter unik segmen ultra mikro, BRI terus mempercepat transformasi digital melalui digitalisasi proses bisnis, membangun ekosistem digital dan menciptakan proposisi digital baru," tutur Sunarso dalam pernyataan resmi.
Untuk memastikan nasabah bisa memanfaatkan layanan digital BRI dengan lancar, lanjut dia, BRI membentuk skuad baru yakni penasihat digital (digital advisor) yang tugas utamanya adalah mendampingi pelanggan dalam menelusuri perjalanan digital para nasabah bersama BRIMO.
Tidak hanya mencetak peningkatan transaksi, BRIMO juga menarik minat nasabah untuk menabung secara digital. Per 31 Desember, jumlah rekening tabungan digital di BRIMO telah mencapai 1,3 juta, atau melesat 660% dari posisi akhir 2020 yang baru 173.000 rekening.
Nilai rekening mereka juga telah mencapai Rp 4,5 triliun, terbang 704% dari posisi akhir 2020 yang baru sebanyak Rp 600 miliar. Hal ini membantu BRI mendulang dana murah (current account and saving account/CASA). CASA perseroan per Desember 2021 mencapai Rp 714 triliun atau tumbuh 63,3% secara tahunan.
Penyumbang utama CASA itu adalah tabungan, yang per 2021 mencapai Rp 311,3 triliun, atau menyumbang 88% dari dana pihak ketiga (DPK) yang dikumpulkan BRI. Porsi itu meningkat jika dibandingkan dengan porsi CASA 2020 yang sebesar 87% dengan total Rp 289,1 triliun.
TIM RISET CNBC INDONESIA