Internasional

Jika Perang Dunia III Pecah, Ekonomi Dunia Bakal 'Kiamat'?

Feri Sandria, CNBC Indonesia
04 February 2022 16:35
Pasukan cadangan Latihan Militer Ukraina
Foto: Pasukan cadangan yang baru bergabung dalam Pasukan Pertahanan Teritorial Ukraina mengikuti latihan militer di pinggiran Kyiv, Ukraina, Sabtu (29/1/2022). Puluhan warga sipil telah bergabung dengan tentara Ukraina dalam beberapa pekan terakhir di tengah kekhawatiran tentang invasi Rusia. (AP Photo/Efrem Lukatsky)

Jakarta, CNBC Indonesia - Ketegangan antara Ukraina dan Rusia mencapai puncaknya saat ini, dengan Rusia menambah personel angkatan bersenjata di dekat perbatasan kedua negara memicu kekhawatiran bahwa Moskow akan melancarkan invasi. Pertikaian yang tak terselesaikan terkait kondisi geopolitik di kawasan eks Uni Soviet ini bahkan digadang-gadang bisa menjadi gerbang Perang Dunia III.

Berkaca pada dua perang dunia sebelumnya, dampak ekonomi menjadi satu hal yang sangat dirasakan, bahkan bertahun-tahun setelah perang usai. Peneliti di National Bureau of Economic Research (NBER) Hugh Rockoff memperkirakan total biaya Perang Dunia I yang ditanggung oleh Amerika Serikat sekitar (AS) US$ 32 miliar, atau 52% dari Produk Domestik Bruto (PDB) Negeri Paman Sam pada saat itu.

Meskipun perang merusak modal fisik dan manusia, dampak perang terhadap PDB per kapita tidak dapat disimpulkan secara jelas. Ambiguitas ini pada dasarnya disebabkan oleh cara penghitungan pendapatan nasional di mana memproduksi senjata dan amunisi dihitung secara positif, sementara angka kematian dan hancurnya barang dan fasilitas lain tidak dihitung sama sekali.

Di banyak negara, terutama di Amerika Utara, pertumbuhan ekonomi berlanjut dan bahkan semakin cepat selama Perang Dunia I ketika negara-negara memobilisasi ekonomi mereka untuk berperang di Eropa. Setelah perang berakhir, ekonomi global mulai menurun salah satunya juga karena mewabahnya pandemi Spanish flu yang bertanggung jawab atas penurunan produk domestik bruto global sebesar 6-8% antara tahun 1919 dan 1921.

Efek perang dunia pertama juga dirasakan bahkan satu dekade lebih setelah perang usai, setidaknya ini menurut Presiden AS yang menjabat selama Depresi Besar (Great Depression) ketika menurunnya tingkat ekonomi yang terjadi secara dramatis di seluruh dunia yang terjadi mulai tahun 1929 dan berlangsung selama sekitar 10 tahun. Dengan beberapa ekonom sepakat dengan apa yang dikatakan Presiden AS ke-31 tersebut.

Hampir dua dekade setelah meninggalkan Gedung Putih, Herbert Hoover tahu persis di mana harus menyalahkan bencana ekonomi yang menimpa kepresidenannya-dan itu bukan dia. "Penyebab utama Depresi Hebat adalah perang tahun 1914-1918," tulis mantan presiden itu dalam memoarnya tahun 1952. "Tanpa perang tidak akan ada depresi dengan dimensi seperti itu."

Menariknya memasuki perang dunia kedua, angka pengangguran di AS turun tajam menjadi 14,6% pada awal perang tahun 1938 dari semula mencapai 25% selama Depresi Besar. Bahkan setahun sebelum perang dunia berakhir, angka pengangguran di AS turun hingga 1,2%, terkecil sepanjang sejarah.

Tetapi dengan berakhirnya perang, jutaan pria dan wanita berseragam dijadwalkan untuk pulang, ekonomi negara yang berfokus pada militer belum tentu siap untuk menyambut mereka kembali, mengingat AS pada saat itu masih fokus memproduksi tank dan pesawat, bukan rumah berdinding papan dan lemari es.

Beberapa ekonom bahkan meramalkan krisis baru pengangguran massal dan inflasi tinggi, dengan alasan bahwa bisnis swasta tidak mungkin menghasilkan sejumlah besar modal yang diperlukan untuk melakukan shifting ekonomi secara cepat selama masa damai.

Tetapi sejarah membuktikan bahwa para pesimis salah besar. Sebagian besar veteran yang kembali dari medan perang tidak kesulitan mencari pekerjaan sama sekali.

Didorong oleh permintaan konsumen yang meningkat, serta perluasan kompleks industri militer yang terus berlanjut saat Perang Dingin, Amerika Serikat mencapai puncak kemakmuran baru di tahun-tahun setelah Perang Dunia II.

Akhir perang dunia kedua juga menandai awal dari periode pertumbuhan yang luas bagi Eropa dan negara-negara lain. Selama paruh kedua abad ke-20, Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang mengalami kemajuan yang luar biasa. bahkan PDB per kapita di Eropa meningkat tiga kali lipat pada paruh kedua abad kedua puluh setelah perang. Pascaperang AS juga memperkenalkan diri sebagai negara adidaya global.

Meskipun terkesan terjadi keajaiban ekonomi selama perang dunia, perlu dicatat bahwa selama perang dunia pertama diperkirakan 20 juta penduduk dunia mati. Lebih parah lagi, selama perang dunia kedua 70-85 juta orang diperkirakan mati atau setara dengan 3% populasi dunia saat itu (2,3 miliar penduduk).

Total kematian tersebut terdiri dari 50-56 juta jiwa meninggal akibat dampak langsung selama perang dunia, dengan 19-28 juta lainnya dari kelaparan dan penyakit yang ditimbulkan oleh perang.

Halaman Selanjutnya --> Apa Dampak Ekonomi Jika Perang Dunia III Pecah?

Ekonomi dunia sudah jauh berbeda dari kali terakhir perang dunia terjadi sekitar 77 tahun lalu. Dengan kehadiran perusahaan teknologi, sosial media hingga diperkenalkannya aset digital seperti cryptocurrency tentu efek yang terjadi tidak akan murni sama dengan dua perang sebelumnya. Apalagi kondisi ekonomi dunia semakin mengglobal dan terkoneksi dalam antara satu sama lain.

Ekonom dan analis sepakat potensi invasi Ukraina oleh negara tetangga Rusia akan dirasakan di sejumlah pasar. Di luar pasar saham dan pasar keuangan, krisis telah mendorong naik harga minyak dan gas, serta logam utama yang digunakan untuk segala hal mulai dari pembuatan mobil dan elektronik hingga peralatan dapur dan konstruksi.

Dilansir ABC News, Berikut beberapa dampak ekonomi yang dapat dirasakan apabila perrtikan di Ukraina tidak berakhir damai atau Rusia memperoleh sanksi ekonomi.

Minyak dan gas

Dalam jangka pendek, diakui secara luas bahwa perang Rusia-Ukraina, bahkan dalam skal yang sangat terbatas, akan memicu kenaikan harga minyak dan gas secara besar-besaran, terutama di Eropa.

Rusia memasok sekitar 30% minyak Eropa dan 35% gas alamnya, yang mana logistiknya dapat diputus jika terjadi konflik.

Analis energi penyedia jasa keuangan yang berbasis di Belanda, Rabobank, percaya bahwa hal itu dapat mendorong harga minyak naik dari level yang sudah meningkat sekitar US$ 90 per barel menjadi US$ 125, dengan harga gas juga ikut naik.

Makanan dan pupuk

Komoditas utama lainnya juga akan terdampak baik itu akibat perang atau sanksi ekonomi, dengan Rusia merupakan produsen gandum terbesar di dunia dan Ukraina di sekitar lima besar. Produksi besar jelai, jagung dan bunga matahari juga ikut terpengaruh.

Sementara negara-negara lain, termasuk Australia, mungkin dapat mengkompensasi sebagian dari hilangnya pasokan, mereka mungkin menghadapi hambatan lain yakni pupuk.

Rabobank memperkirakan 23% amonia, 17% kalium, 14% urea, dan 10% fosfat dikirim dari Rusia.

Pada saat China telah memesan banyak output urea dan fosfat untuk keperluan domestik, kehilangan produk Rusia akan menyebabkan kekurangan lebih lanjut dan kenaikan harga bahan pupuk utama.

Logam dan manufaktur

Rantai pasokan manufaktur juga tidak akan kebal dari konflik atau sanksi terhadap Rusia.

Pangsa ekspor nikel global Rusia diperkirakan sekitar 49%, paladium 42%, aluminium 26%, platinum 13%, baja 7%, dan tembaga 4%.

"Menghilangkan setengah dari ekspor nikel global untuk peralatan dapur, ponsel, peralatan medis, transportasi, bangunan, dan listrik; paladium untuk catalytic converter, elektroda, dan elektronik; dan seperempat aluminium untuk kendaraan, konstruksi, mesin, dan pengemasan akan menghasilkan tekanan besar pada harga," Rabobank memperingatkan.

Dalam beberapa hal, perdamaian yang tidak bersahabat dengan sanksi jangka panjang bisa menjadi prospek yang lebih mengancam pasokan dan biaya komoditas ini daripada gangguan dari perang singkat dan tajam. Tentu saja, perang dan sanksi juga bisa terjadi bersamaan.

Pasar keuangan

Rabobank memperkirakan bahwa baik perang atau sanksi berat dapat menyebabkan pelarian ke pasar keuangan yang aman, mendorong harga obligasi naik dan suku bunga lebih rendah.

Ini mungkin menjadi penyeimbang yang menarik untuk tren saat ini menuju kenaikan suku bunga di banyak negara maju. Namun, gambarannya akan diperumit oleh inflasi yang lebih tinggi yang didorong oleh potensi kekurangan komoditas yang diuraikan di atas.

Seberapa banyak bank sentral bersedia untuk melihat melalui inflasi yang disebabkan oleh sumber asing di luar kendali mereka belum benar-benar diuji pada periode saat ini karena Fed bersiap untuk menaikkan suku bunga AS pada bulan Maret.

Di sisi mata uang, Rabobank mengharapkan bahwa dolar AS, yen Jepang, franc Swiss, dan emas akan menjadi tujuan utama jika terjadi konflik. Rubel Rusia akan merosot jika terjadi perang atau sanksi, dan euro juga kemungkinan tidak akan disukai.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular