Dolar AS Bakal Digdaya 6 Bulan ke Depan, Saatnya 'Diternak'?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
04 February 2022 07:20
Uang Edisi Khusus Kemerdekaan RI ke 75 (Tangkapan Layar Youtube Bank Indonesia)
Foto: Uang Edisi Khusus Kemerdekaan RI ke 75 (Tangkapan Layar Youtube Bank Indonesia)

Survei dari Reuters menunjukkan dolar AS memang masing akan dominan, tetapi penguatannya tidak akan jauh dari level saat ini. Sebab, pelaku pasar sudah price in terhadap agresivitas The Fed.

Pasca pengumuman kebijakan moneter akhir Januari lalu, pasar sudah menakar The Fed akan menaikkan suku bunga hingga 125 basis poin. Spekulasi berhembus The Fed akan menaikkan suku bunga sebanyak 4 kali di tahun ini, 50 basis poin pada bulan Maret, dan tiga kali lagi sisanya masing-masing sebesar 25 basis poin.

Meski sangat agresif, dolar AS tidak serta merta bakal menguat tajam di tahun ini. Reuters juga melalukan survei menanyakan sebesar besar The Fed perlu menaikkan suku bunga agar dolar AS menguat tajam.

Dari 24 analis yang memberikan jawaban, median hasilnya sebesar 62,5 basis poin. Artinya total The Fed perlu menaikkan suku bunga sebesar 187,5 basis poin agar dolar AS bisa menguat tajam.

Kemungkinan The Fed menaikkan suku bunga sebesar itu tentunya sangat kecil, kenaikan 125 basis poin lebih realistis, dan itu sudah di-price in oleh pasar. Hal ini tentunya bisa menguntungkan rupiah.

Sepanjang bulan Januari, pelemahan rupiah kurang dari 1%. Jika pasar sudah price in terhadap kenaikan suku bunga sebesar 125 basis poin, artinya pelemahan rupiah bisa jadi tidak akan jauh dari level saat ini, malah ada potensi berbalik menguat di tahun ini.

Rupiah punya modal yang bagus memasuki tahun 2022, sehingga siap bertempur melawan dolar AS.

Bank Indonesia (BI) pada pengumuman hasil rapat kebijakan moneter 20 Januari lalu memberikan kejutan dengan mulai menaikkan Giro Wajib Minum (GWM) secara bertahap pada Maret, Juni dan September hingga menjadi 6,5% dari saat ini 3,5%. Kebijakan ini tentu akan mengurangi likuiditas di perbankan.

Cheng Hoon Lim, Indonesia Mission Chief, Asia and Pacific Department, IMF dalam konferensi pers, Rabu (26/1) mengatakan kenaikan GWM merupakan langkah awal pengetatan moneter yang dilakukan BI untuk mengantisipasi normalisasi kebijakan yang akan dilakukan The Fed.

"Jadi kami pikir ini adalah langkah pertama menuju normalisasi sistem perbankannya untuk mengantisipasi pengetatan Fed," pungkasnya.

Menurut Chen, Indonesia berada dalam posisi yang kuat dalam menghadapi pengetatan moneter The Fed.

"Posisi eksternal Indonesia sangat kuat. Jadi ketika Fed melakukan pengetatan, kami tidak melihat aliran modal keluar yang signifikan. Karena transaksi berjalan sangat kuat," kata Chen.

Transaksi berjalan (current account) Indonesia tercatat surplus US$ 4,5 miliar di kuartal III-2021 atau 1,5% dari produk domestik bruto (PDB). Surplus tersebut diperkirakan masih akan bertahan di kuartal IV-2021 meski nilainya mengecil.

Surplus transaksi berjalan menjadi modal yang kuat bagi rupiah, sebab arus devisa yang mengalir ke pos ini lebih stabil ketimbang pos transaksi modal dan finansial.
Selain itu, kepemilikan asing di pasar obligasi Indonesia kini berada di bawah 20%, berbeda jauh ketimbang 2013 yang di atas 40%. Sehingga jika terjadi capital outflow kemungkinan tidak akan besar.

TIM RISET CNBC INDONESIA

(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular