Dolar AS Bakal Digdaya 6 Bulan ke Depan, Saatnya 'Diternak'?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
04 February 2022 07:20
Dollar
Foto: Freepik

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank sentral Amerika Serikat (AS) atau yang dikenal dengan Federal Reserve (The Fed) memastikan akan bertindak agresif dalam menormalisasi kebijakan moneternya di tahun ini guna meredam inflasi yang sangat tinggi.

"Dengan inflasi jauh di atas 2% dan pasar tenaga kerja yang kuat, Komite (Federal Open Market Committee/FOMC) memperkirakan akan tetap untuk segera menaikkan rentang target suku bunga (Federal Funds Rate/FFR)," tulis pernyataan The Fed dalam pengumuman kebijakan moneter Kamis (27/1) waktu Indonesia.

Tidak hanya itu, The Fed juga diperkirakan bisa menaikkan suku bunga lebih dari 3 kali di tahun ini melihat pernyataan ketua The Fed, Jerome Powell yang menyebut inflasi masih berisiko meninggi.

"Risiko inflasi masih naik dalam pandangan FOMC begitu juga dengan pandangan pribadi saya. Ada risiko cukup besar inflasi yang kita alami saat ini akan berlangsung dalam waktu yang lama. Ada juga risiko inflasi akan semakin tinggi. Kami harus berada pada posisi di mana kebijakan moneter bisa mengatasi semua kemungkinan yang ada," kata Powell dalam konferensi pers usai pengumuman kebijakan moneter, sebagaimana dilansir CNBC International.

Pasca pengumuman tersebut dolar AS menjadi perkasa. Indeks dolar AS melesat ke level tertinggi dalam 19 bulan terakhir.

Hasil survei terbaru yang dilakukan Reuters juga menunjukkan the greenback masih akan mendominasi pasar mata uang.

Survei yang dilakukan pada periode 31 Januari - 2 Februari terhadap 43 analis menunjukkan 33 orang atau lebih dari 75% memperkirakan dolar AS masih akan digaya selama 3 sampai 6 bulan ke depan.

idrFoto: Refinitiv

Lebih detail lagi, sebanyak 14 analis atau 32% memberikan proyeksi spesifik tersebut, kemudian ada 11 analis atau 26% yang memberikan proyeksi 6 sampai 12 bulan. 8 analis atau 19% bahkan memprediksi dolar AS masih akan berkuasa dalam waktu lebih dari 1 tahun.

Hanya 2 orang saja atau 4% yang memprediksi penguatan dolar AS sudah berakhir.

Namun, meski diprediksi masih akan berkuasa, bukan berarti dolar AS akan mencatat penguatan tajam.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Rupiah Siap Tempur Lawan Dolar AS

Survei dari Reuters menunjukkan dolar AS memang masing akan dominan, tetapi penguatannya tidak akan jauh dari level saat ini. Sebab, pelaku pasar sudah price in terhadap agresivitas The Fed.

Pasca pengumuman kebijakan moneter akhir Januari lalu, pasar sudah menakar The Fed akan menaikkan suku bunga hingga 125 basis poin. Spekulasi berhembus The Fed akan menaikkan suku bunga sebanyak 4 kali di tahun ini, 50 basis poin pada bulan Maret, dan tiga kali lagi sisanya masing-masing sebesar 25 basis poin.

Meski sangat agresif, dolar AS tidak serta merta bakal menguat tajam di tahun ini. Reuters juga melalukan survei menanyakan sebesar besar The Fed perlu menaikkan suku bunga agar dolar AS menguat tajam.

Dari 24 analis yang memberikan jawaban, median hasilnya sebesar 62,5 basis poin. Artinya total The Fed perlu menaikkan suku bunga sebesar 187,5 basis poin agar dolar AS bisa menguat tajam.

Kemungkinan The Fed menaikkan suku bunga sebesar itu tentunya sangat kecil, kenaikan 125 basis poin lebih realistis, dan itu sudah di-price in oleh pasar. Hal ini tentunya bisa menguntungkan rupiah.

Sepanjang bulan Januari, pelemahan rupiah kurang dari 1%. Jika pasar sudah price in terhadap kenaikan suku bunga sebesar 125 basis poin, artinya pelemahan rupiah bisa jadi tidak akan jauh dari level saat ini, malah ada potensi berbalik menguat di tahun ini.

Rupiah punya modal yang bagus memasuki tahun 2022, sehingga siap bertempur melawan dolar AS.

Bank Indonesia (BI) pada pengumuman hasil rapat kebijakan moneter 20 Januari lalu memberikan kejutan dengan mulai menaikkan Giro Wajib Minum (GWM) secara bertahap pada Maret, Juni dan September hingga menjadi 6,5% dari saat ini 3,5%. Kebijakan ini tentu akan mengurangi likuiditas di perbankan.

Cheng Hoon Lim, Indonesia Mission Chief, Asia and Pacific Department, IMF dalam konferensi pers, Rabu (26/1) mengatakan kenaikan GWM merupakan langkah awal pengetatan moneter yang dilakukan BI untuk mengantisipasi normalisasi kebijakan yang akan dilakukan The Fed.

"Jadi kami pikir ini adalah langkah pertama menuju normalisasi sistem perbankannya untuk mengantisipasi pengetatan Fed," pungkasnya.

Menurut Chen, Indonesia berada dalam posisi yang kuat dalam menghadapi pengetatan moneter The Fed.

"Posisi eksternal Indonesia sangat kuat. Jadi ketika Fed melakukan pengetatan, kami tidak melihat aliran modal keluar yang signifikan. Karena transaksi berjalan sangat kuat," kata Chen.

Transaksi berjalan (current account) Indonesia tercatat surplus US$ 4,5 miliar di kuartal III-2021 atau 1,5% dari produk domestik bruto (PDB). Surplus tersebut diperkirakan masih akan bertahan di kuartal IV-2021 meski nilainya mengecil.

Surplus transaksi berjalan menjadi modal yang kuat bagi rupiah, sebab arus devisa yang mengalir ke pos ini lebih stabil ketimbang pos transaksi modal dan finansial.
Selain itu, kepemilikan asing di pasar obligasi Indonesia kini berada di bawah 20%, berbeda jauh ketimbang 2013 yang di atas 40%. Sehingga jika terjadi capital outflow kemungkinan tidak akan besar.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular