Dolar AS Sedang Terpuruk, Rupiah kok Malah Melemah?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
03 February 2022 09:10
Ilustrasi Rupiah dan dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Foto: Ilustrasi Rupiah dan dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS) di awal perdagangan Kamis (3/2) setelah mencatat penguatan 2 hari beruntun. Tekanan bagi rupiah datang dari dalam negeri akibat lonjakan kasus penyakit akibat virus corona (Covid-19). Meski demikian, peluang rupiah untuk menguat masih terbuka lebar, sebab indeks dolar AS sedang jeblok. 

Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan stagnan, kemudian melemah tipis 0,07% ke Rp 14.365/US$ pada pukul 9:04 WIB. Kemarin rupiah sempat "mengamuk" 0,52% di pembukaan perdagangan sebelum terpangkas dan tersisa 0,17% di Rp 14.355/US$ di akhir perdagangan.

Kemarin Satuan Tugas Penanganan Covid-19 melaporkan ada tambahan 17.895 kasus baru menjadi yang tertinggi sejak 25 Agustus tahun lalu. Terus menanjaknya kasus Covid-19 membuat pelaku pasar was-was Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang lebih ketat akan diterapkan lagi. Hal tersebut berisiko menghambat laju pemulihan ekonomi.

Sementara itu, indeks dolar AS pada perdagangan Rabu kembali merosot 0,41% ke. Dengan demikian indeks yang mengukur kekuatan dolar AS ini sudah merosot dalam 3 hari beruntun.

Jebloknya indeks dolar AS tersebut terjadi setelah beberapa pejabat teras bank sentral AS (The Fed) meredakan spekulasi kenaikan suku bunga sebesar 50 basis poin di bulan Maret, menjadi indikasi tidak akan sangat agresif dalam menormalisasi kebijakan moneternya.

Presiden The Fed Philadelphia, Patrick Harker, mengatakan ia mendukung kenaikan suku bunga sebanyak 4 kali di tahun ini, masing-masing sebesar 25 basis poin. Tetapi ia tidak melihat suku bunga bisa dinaikkan sebesar 50 basis poin di bulan Maret nanti.

"Jika inflasi berada di level saat ini dan mulai menurun, saya tidak melihat kenaikan sebesar 50 basis poin. Tetapi jika ada kenaikan tajam inflasi, saya rasa kita perlu bertindak lebih agresif," kata Harker saat wawancara dengan Bloomberg, Selasa (1/2).

Presiden The Fed wilayah St. Loius, James Bullard, salah satu anggota Federal Open Market Committee (FOMC) yang paling hawkish juga mengesampingkan kenaikan suku bunga yang besar di bulan Maret nanti.

Rilis data tenaga kerja versi ADP kemarin menegaskan hal tersebut. ADP melaporkan sepanjang bulan Januari terjadi pengurangan tenaga kerja di luar sektor pertanian sebanyak 301.000 orang, padahal hasil survei Reuters memproyeksikan penambahan sebanyak 207.000 orang.

"Data dari ADP menekankan sikap kurang hawkish dari The Fed," kata Vassili Serebriakov, ahli strategi valuta asing di UBS New York, sebagaimana dilansir CNBC International.

Data ini bisa memberikan gambaran data tenaga kerja versi pemerintah yang akan dirilis Jumat besok, dan menjadi acuan The Fed dalam menetapkan kebijakan moneternya.

"Data tenaga kerja di hari Jumat akan lemah, tetapi pasar sudah siap akan hal tersebut. Saya pikir tidak akan ada perubahan yang besar dari The Fed dalam memutuskan kebijakannya sebab fokusnya tertuju ke inflasi," kata Serebriakov.

Pasca rilis tersebut, pasar melihat probabilitas kenaikan suku bunga sebesar 50 basis poin turun hanya menjadi 6,5%, dibandingkan pada pekan lalu yang sebesar 32%. Alhasil, indeks dolar AS terus merosot, sehingga peluang rupiah menguat terbuka lebar. 

TIM RISET CNBC INDONESIA 


(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kabar Dari China Bakal Hadang Rupiah ke Bawah Rp 15.000/US$?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular