Rupiah Terbaik Ketiga di Asia, Ada Bantuan dari MH Thamrin?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
26 January 2022 15:09
Uang Edisi Khusus Kemerdekaan RI ke 75 (Tangkapan Layar Youtube Bank Indonesia)
Foto: Uang Edisi Khusus Kemerdekaan RI ke 75 (Tangkapan Layar Youtube Bank Indonesia)

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah menguat tajam melawan dolar Amerika Serikat (AS) di awal perdagangan Rabu (26/1). Sayanganya penguatan tersebut gagal dipertahankan hingga akhir perdagangan. Melihat sentimen negatif dari luar dan dalam negeri, penguatan rupiah di awal perdagangan kemungkinan merupakan bantuan dari Bank Indonesia (BI) yang berpusat di Jalan MH Thamrin Jakarta.

Rupiah langsung melesat 0,35% ke Rp 14.300/US$ di pembukaan perdagangan. Sayangnya tidak berselang lama penguatan rupiah terpangkas, meski masih bertahan di zona hijau.

Menjelang penutupan perdagangan rupiah stagnan di Rp 14.350/US$, dan berakhir juga di level tersebut.

Mayoritas mata uang utama Asia memang melemah melawan dolar AS pada hari ini, hal ini menguatkan indikasi jika BI melakukan intervensi guna menstabilkan nilai tukar rupiah yang sudah melemah sejak awal pekan, meski tipis-tipis saja. Rupiah yang stagnan hari ini menjadi yang terbaik ketiga di Asia, hanya kalah dari yuan China dan baht Thailand yang menguat tipis 0,06%.

Berikut pergerakan dolar AS melawan mata uang utama Asia hingga pukul 15:00 WIB.

idr

Tekanan rupiah cukup besar akibat sentimen negatif dari dalam negeri. Apalagi, akan ada bank sentral AS (The Fed) yang akan mengumumkan kebijakan moneternya Kamis dini hari waktu Indonesia besok.

Bank Indonesia kemungkinan melakukan intervensi guna menstabilkan rupiah jelang pengumuman kebijakan moneter The Fed.

BI memiliki cukup banyak melakukan intervensi. Cadangan devisa di bulan Desember tercatat sebesar US$ 144,9 miliar, yang bisa digunakan untuk menstabilkan rupiah dengan melakukan triple intervention, yakni intervensi di pasar Domestic Non-Delivery Forward (DNDF), di pasar spot, sampai ke pasar Surat Berharga Negara (SBN).

Pada pekan lalu, BI memberikan kejutan dengan mulai menaikkan Giro Wajib Minum (GWM) secara bertahap pada Maret, Juni dan September hingga menjadi 6,5% dari saat ini 3,5%. Kebijakan ini tentu akan mengurangi likuiditas di perbankan.

Cheng Hoon Lim, Indonesia Mission Chief, Asia and Pacific Department, IMF dalam konferensi pers, Rabu (26/1) mengatakan kenaikan GWM merupakan langkah awal pengetatan moneter yang dilakukan BI untuk mengantisipasi normalisasi kebijakan yang akan dilakukan The Fed

"Jadi kami pikir ini adalah langkah pertama menuju normalisasi sistem perbankannya untuk mengantisipasi pengetatan Fed," pungkasnya.

Menurut Chen, Indonesia berada dalam posisi yang kuat dalam menghadapi pengetatan moneter The Fed.

"Posisi eksternal Indonesia sangat kuat. Jadi ketika Fed melakukan pengetatan, kami tidak melihat aliran modal keluar yang signifikan. Karena transaksi berjalan sangat kuat," kata Chen.

Cheng menyampaikan, kini adalah waktu yang tepat bagi Indonesia mulai menormalkan kembali kebijakannya. Termasuk bagi Bank Indonesia (BI) yang kebijakannya sangat longgar dalam dua tahun terakhir.

"Indonesia berada dalam posisi yang baik untuk secara bertahap menormalkan kebijakannya dan secara bertahap menyesuaikan sikap moneternya ketika Fed mengetatkan," ujarnya.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Sentimen Negatif Datang dari Segala Penjuru

Sementara itu sentimen negatif dari luar negeri terlihat dari jebloknya bursa saham AS (Wall Street). Saat sentimen pelaku pasar sedang memburuk yang terlihat dari merosotnya bursa saham dolar AS yang menjadi pilihan karena menyandang status aset aman (safe haven).

Jebloknya Wall Street bisa menjadi indikasi kekhwatiran pelaku pasar akan bank sentral AS (The Fed) yang akan sangat agresif dalam mengetatkan kebijakan moneternya.

The Fed akan mengumumkan kebijakan moneternya dalam waktu kurang dari 24 jam, dan bisa memberikan dampak yang signifikan ke pergerakan rupiah besok.

Semakin memperburuk sentimen, ketegangan di perbatasan Ukraina kembali tereskalasi.

Rusia masih menempatkan lebih dari 100.000 pasukan di perbatasan Ukraina. Hal ini membuat negara-negara barat protes keras, karena menilai Rusia sedang bersiap untuk melakukan invasi di wilayah eks Uni Soviet tersebut. AS balas menggertak dengan menyiagakan 8.500 personel angkatan bersenjata untuk diterjunkan ke Eropa sewaktu-waktu.

Sementara itu dari dalam negeri, kasus penyakit akibat virus corona (Covid-19 kembali mengalami penambahan yang signifikan.

Kemarin, Satuan Tugas Penanganan Covid-19 mengumumkan ada tambahan 4.878 kasus konfirmasi positif, tertinggi dalam lebih dari 4 bulan terakhir, tepatnya sejak 11 September lalu.

DKI Jakarta membukukan tambahan kasus harian terbanyak yakni 2.190, sehingga kemungkinan status Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) bakal dinaikkan semakin besar. Kenaikan status menjadi level 3 bisa terjadi pekan depan, dan tentunya memberikan sentimen negatif bagi rupiah.

Sentimen negatif dari luar dan dalam negeri tersebut seharusnya memberikan tekanan bagi rupiah yang bisa membuat rupiah terpuruk. Tetapi nyatanya rupiah berakhir stagnan.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular