
Saham Teknologi Memberatkan Pergerakan Bursa Asia

Jakarta, CNBC Indonesia - Mayoritas bursa Asia ditutup melemah pada perdagangan Senin (24/1/2022), karena investor cenderung berhati-hati jelang rapat komite pengambil kebijakan bank sentral Amerika Serikat (AS).
Hanya indeks Nikkei Jepang dan Shanghai Composite China yang ditutup di zona hijau pada hari ini. Nikkei ditutup menguat 0,24% ke level 27.588,369 dan Shanghai berakhir naik tipis 0,04% ke posisi 3.524,46.
Sedangkan sisanya ditutup di zona merah pada hari ini. Indeks Hang Seng Hong Kong ditutup ambles 1,24% ke level 24.656,46, KOSPI Korea Selatan ambrol 1,49% ke 2.792, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) merosot 1,06% ke 6.655,166, dan Straits Times Singapura berakhir melemah 0,35% ke 3.283,35.
Indeks KOSPI memimpin pelemahan bursa Asia pada hari ini, diperberat oleh saham-saham teknologi, karena investor khawatir dengan potensi pengetatan kebijakan moneter bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed).
Saham raksasa teknologi Korea Selatan seperti Samsung Electronics melemah 0,66%, sedangkan saham LG Chem ambles 3,31%, dan saham Naver merosot 1,35%.
Tak hanya di Korea Selatan saja, koreksi saham teknologi juga memperberat indeks Hang Seng pada hari ini, di mana saham Alibaba Group ambruk 6,3% dan menjadi pemberat utama Hang Seng, setelah adanya laporan yang mengatakan bahwa afiliasi keuangannya yakni Ant Group digosipkan terkena skandal korupsi.
Pengawas anti-korupsi terkemuka di China berjanji untuk menyelidiki dan mempidanakan setiap perilaku korupsi yang ditemukan di balik monopoli platform internet China.
Namun, indeks Nikkei berhasil ditutup menghijau karena investor cenderung merespons positif dari naiknya data aktivitas manufaktur pada Desember 2021.
Data aktivitas manufaktur Jepang yang tercermin pada Indeks Manajer Pembelian (Purchasing Manager's Index/PMI) versi Jibun Bank/Markit periode Desember tahun lalu naik sedikit menjadi 54,6, dari sebelumnya pada November 2021 di angka 54,3.
Kembali naiknya PMI manufaktur Negeri Sakura terjadi setelah data output industri tercatat melonjak sejak Juli 2008.
Saat angka PMI di atas 50, artinya dunia usaha berada di fase ekspansi. Sebaliknya kalau masih di bawah 50, industriawan sedang mengalami kontraksi.
Mayoritas pasar saham Asia kembali mengikuti pergerakan bursa saham AS, Wall Street yang masih ditutup terkoreksi pada perdagangan Jumat akhir pekan lalu.
Pada perdagangan akhir pekan lalu, Dow Jones ditutup ambles 1,3%, S&P 500 ambruk 1,89%, dan Nasdaq Composite anjlok 2,72%.
Pemicu koreksi dalam pasar ekuitas AS adalah masih khawatirnya pelaku pasar potensi pengetatan kebijakan moneter bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed), di mana bank sentral paling powerful di dunia tersebut akan menaikkan suku bunga lebih awal.
Saat suku bunga naik, biaya untuk berbagai jenis pinjaman terancam akan lebih mahal. Dikhawatirkan ini akan menghambat ekspansi perusahaan setelah fase pemulihan ekonomi awal.
Pada hari ini pula, sikap investor global cenderung wait and see jelang pertemuan Komite Pasar Terbuka Federal (Federal Open Market Committee/FOMC) The Fed yang akan dimulai pada Selasa hingga Rabu waktu AS.
Dengan inflasi di AS yang terus memanas, pasar memperkirakan The Fed bakal agresif dalam mengetatkan kebijakan moneternya.
Berdasarkan data CME Fedwatch, pelaku pasar mengantisipasi bahwa The Fed bakal menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bp), paling cepat pada Maret 2022 dengan probabilitas 88,7%.
The Fed diperkirakan bakal menaikkan suku bunga acuan 4-5 kali pada tahun 2022. Setelah itu The Fed juga diprediksi akan menempuh kebijakan moneter kontraktif dengan mereduksi ukuran neracanya (balance sheet).
TIM RISET CNBC INDONESIA
(chd/chd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Bursa Asia Mayoritas Dibuka Hijau, KOSPI Memimpin!
