
IHSG Bikin Panik, Perdagangan Bursa Saham Bisa Dihentikan?

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat turun hingga di atas 1,5% pada perdagangan Selasa kemarin (18/1/2022) di tengah peningkatan kasus Covid-19 yang masih membayangi.
Koreksi tersebut berbarengan dengan merosotnya bursa saham di Asia dan diikuti pula dengan bursa utama di Eropa dan Amerika Serikat (AS).
Menurut data Bursa Efek Indonesia (BEI), IHSG akhirnya berhasil memangkas koreksinya pada penutupan perdagangan Selasa, setelah selama perdagangan intraday IHSG sempat terkoreksi 1,6%.
Indeks bursa saham acuan Tanah Air tersebut ditutup melemah 0,47% ke level 6.614,059.
Meski IHSG sempat ambruk, tetapi investor asing tak bosan-bosannya memburu saham-saham di RI pada hari ini, di mana asing kembali mencatatkan pembelian bersih (net buy) sebesar Rp 170 miliar di pasar reguler.
'Lautan Merah' Bursa Asia, Eropa, hingga AS
Sementara, mayoritas bursa Asia juga ditutup terkoreksi pada perdagangan Selasa seiring investor kembali mencerna sentimen dari pengetatan kebijakan moneter bank sentral AS Federal Reserve (The Fed) dan bank sentral negara maju lainnya di tengah inflasi yang meninggi.
Hanya indeks Shanghai Composite China yang bertahan di zona hijau pada hari ini. Shanghai ditutup melesat 0,8% ke level 3.569,91.
Sementara sisanya berbalik melemah pada Selasa, usai sempat menghijau di tengah perdagangan.
Indeks Nikkei Jepang ditutup melemah 0,27% ke level 28.257,25, Hang Seng Hong Kong terkoreksi 0,43% ke 24.112,779, Straits Times (STI) Singapura terpangkas 0,24% ke 3.280,04, KOSPI Korea Selatan merosot 0,89% ke 2,864.24
Indeks saham eropa, FTSE 100 Index (London) dan indeks di bursa saham Frankfurt, masing-masing turun 0,63% dan 1,01%.
Kemudian, indeks bursa saham utama AS alias Wall Street kompak turun tajam pada Selasa kemarin waktu AS atau Rabu dini hari waktu Indonesia. Ini seiring hasil laporan keuangan Goldman Sachs yang mengecewakan dan membebani saham keuangan.
Selain itu, saham teknologi melanjutkan aksi jual sejak awal tahun ini di tengah imbal hasil obligasi pemerintah (Treasury AS) mencapai level tertinggi era Covid.
Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) tergelincir 1,51%, menjadi ditutup di 35.368,47. S&P 500 merosot 1,84% menjadi 4.577,11, dan Nasdaq Composite anjlok 2,60% menjadi 14.506,90, mencapai level terendah dalam tiga bulan.
Penurunan drastis secara tiba-tiba IHSG pada Selasa kemarin tentu turut kecemasan pasar yang masih dihantui pandemi Covid-19.
Kemarin, Satuan Tugas Penanganan Covid-19 mengumumkan ada tambahan 1.362 kasus baru di Indonesia. Dengan begitu, total kasus konfirmasi mencapai 4.273.783 kasus.
Sejak awal tahun ini, memang terjadi tren kenaikan kasus harian Covid-19. Setidaknya sejak 11 Januari 2022, kasus harian Covid-19 tidak pernah lebih rendah dari 600 kasus.
Angka tersebut lebih tinggi ketimbang pertambahan kasus harian Covid-19 sepanjang Desember 2021, yang berada di rentang 92 - 311 kasus.
Terakhir kali angka kasus harian Covid-19 berada di atas 1.362 kasus (per Selasa kemarin) adalah pada 8 Oktober 2021 (1.384 kasus).
Hanya saja, kondisi IHSG saat ini masih jauh dari kejadian terburuk pada tahun 2020 lalu, saat pandemi mulai menggedor pasar saham global, termasuk Indonesia.
Bahkan, sepanjang 2021, IHSG mencatat kenaikan 10,08% secara point-to-point, pencapaian terbaik sejak 2017. Tidak hanya itu, sepanjang 2021 juga IHSG sempat menyentuh level tertinggi sepanjang masa di 6.723,39 pada penutupan pasar 23 November 2021.
Kisah Kelam 2020
Rontoknya IHSG kemarin memang cukup mengejutkan. Di tengah harapan membaiknya pasar keuangan, kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) yang lebih ketat justru membuat indeks mendadak berbalik arah. Koreksi 1,6% pada pertengahan perdagangan kemarin cukup membuat pasar panik. Meski demikian, IHSG masih jauh dari yang pernah dialami sepanjang 2020.
Sebelum berhasil kembali ke level di atas 6.000-an saat ini, IHSG sempat mengalami masa gelap, yakni ketika anjlok sangat dalam sepanjang tahun lalu. Tepatnya pada Maret 2020, seiring Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengumumkan virus corona sebagai pandemi.
Kala itu, IHSG yang mengawali 2020 di level 6.300, akhirnya meninggalkan level 6.000 pada akhir Januari hingga akhirnya terjun bebas hingga ke 3.937,63 pada 24 Maret 2020. Angka tersebut menjadi yang terendah setidaknya sejak 4 Juni 2012 ketika IHSG ditutup di 3.654,58.
Kecemasan akan perlambatan ekonomi global akibat wabah virus corona saat itu akhirnya membuat pelaku pasar melakukan aksi jual di bursa saham, dan masuk ke aset-aset yang dianggap aman (safe haven) seperti obligasi AS (Treasury) dan emas.
Akhirnya, krisis kesehatan pun berubah menjadi krisis ekonomi.
Menurut catatan CNBC Indonesia sebelumnya, aktivitas dan mobilitas penduduk yang berkurang drastis sama saja dengan menghentikan roda ekonomi. Produksi terhambat, permintaan pun seret. Ekonomi terpukul di dua sisi sekaligus, penawaran (supply) dan permintaan (demand).
Dari sinilah pandemi virus corona yang awalnya adalah masalah kesehatan menjelma menjadi krisis sosial-ekonomi. Hantaman pandemi membuat ekonomi dunia rontok, jatuh ke 'jurang' resesi untuk kali pertama sejak Krisis Keuangan Global 2009.
Tidak hanya Indonesia, pada 23 Maret 2020, indeks S&P 500 di Wall Street, Amerika Serikat (AS), menyentuh titik terlemah sejak 2016.
Pihak regulator, termasuk BEI pun, mengambil tindakan untuk mencegah amblesnya IHSG terlalu dalam.
Sejak Maret 2020, untuk menahan penurunan bursa saham domestik, BEI menerbitkan berbagai relaksasi seperti pelarangan transaksi short selling, perubahan batasan auto rejection hingga mekanisme pre-opening, hingga pemberlakukan kebijakan penghentian/pembekuan perdagangan sementara selama 30 menit atau trading halt bila IHSG turun 5% dalam sehari.
Adapun, perdagangan saham di bursa RI tercatat tujuh kali mengalami penghentian sementara perdagangan (trading halt) sejak Maret 2020. Pada 2020, pertama kalinya IHSG ambrol hingga lebih dari 5% adalah pada 9 Maret 2020 atau sepekan setelah mengumumkan kasus Covid-19 pertama di RI.
Asal tahu saja, penghentian sementara perdagangan ini dilakukan sesuai dengan Surat Keputusan Direksi PT Bursa Efek Indonesia Nomor: Kep-00024/BEI/03-2020 tanggal 10 Maret 2020 perihal Perubahan Panduan Penanganan Kelangsungan Perdagangan di Bursa Efek Indonesia dalam Kondisi Darurat.
Menurut data BEI, pada 9 Maret 2020, IHSG ditutup anjlok 6,58% ke posisi 5.136,81. Setelah itu, IHSG beberapa kali terjun.
Pada 19 Maret 2020 IHSG ambles 5,20%, kemudian secara berturut-turut, pada 12 Maret 2020 (-5,01%), 10 September 2020 (-5,01%), 17 Maret 2020 (-4,99%), 23 Maret 2020 (-4,90%), dan 16 Maret 2020 (-4,42%).
Seiring dengan sejumlah kebijakan penanganan pandemi Covid-19 dan stimulus ekonomi yang diberikan pemerintah serta adanya sejumlah sentimen positif terutama di dalam ekonomi makro, IHSG perlahan keluar dari level terendah hingga akhirnya mengakhiri 2020 dengan ditutup di posisi 5.979,07.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(adf)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article IHSG Jebol Nyaris 3%, Perdagangan Akan Dihentikan?