Sukses Bungkam Dolar AS, Rupiah ke Bawah Rp 14.300/US$

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
13 January 2022 15:05
Warga melintas di depan toko penukaran uang di Kawasan Blok M, Jakarta, Jumat (20/7). di tempat penukaran uang ini dollar ditransaksikan di Rp 14.550. Rupiah melemah 0,31% dibandingkan penutupan perdagangan kemarin. Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) semakin melemah. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah sukses menguat melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Kamis (13/1) dan berakhir di bawah Rp 14.300/US$. Ini menjadi kali pertama rupiah mengakhiri perdagangan di bawah level tersebut sejak 3 Januari lalu, atau perdagangan pertama di 2022.

Rupiah membuka perdagangan dengan menguat 0,07% di Rp 14.305/US$, setelah rupiah stagnan sebelum kembali masuk ke zona hijau. Di akhir perdagangan rupiah berada di Rp 14.290/US$, menguat 0,17% di pasar spot. 

Jebloknya indeks dolar AS membuat rupiah mampu menguat. Dalam dua hari terakhir indeks dolar AS malah jeblok lebih dari 1%. Pada perdagangan Rabu kemarin indeks yang mengukur kekuatan dolar AS ini jeblok hingga 0,74% ke 94,915, yang merupakan level terendah sejak 11 November lalu. Sementara sehari sebelumnya juga turun 0,38%.

Indeks dolar AS masih jeblok meski inflasi di Amerika Serikat terus meroket. Inflasi berdasarkan consumer price index (CPI) melesat 7% year-on-year (YoY) di bulan Desember. Inflasi tersebut menjadi yang tertinggi sejak Juni 1982.

Meski inflasi tinggi, nyatanya tidak mampu mendongkrak kinerja dolar AS, sebab The Fed dikatakan sudah berada di puncak hawkish.

"Perekonomian Amerika Serikat sudah siap dengan kenaikan suku bunga di bulan Maret," kata Joe Manimbo, analis pasar senior di Western Union Business Solutions, sebagaimana dilansir CNBC International, Rabu (12/1).

"Masalah bagi dolar adalah pasar sudah berekspektasi tinggi jika The Fed akan hawkish di tahun ini. Jadi tingginya inflasi hanya memperkuat ekspektasi yang sudah price in terhadap nilai dolar AS," tambahnya.

Selain itu, data dari Data dari Commodity Futures Trading Commission (CFTC) menunjukkan posisi beli bersih (net long) pada pekan yang berakhir 4 Januari turun menjadi US$ 18,87 miliar dari pekan sebelumnya US$ 19,15 miliar.

Net long tersebut merupakan posisi dolar AS melawan yen Jepang, euro, poundsterling, franc Swiss, dolar Kanada dan Australia.

dxy

Tidak hanya melawan mata uang tersebut, net long juga turun terhadap mata uang G10 serta emerging market. Data dari CFTC menunjukkan posisi net long terhadap mata uang tersebut turun menjadi US$ 19,479 miliar dari sebelumnya US$ 19,759 miliar.

Artinya, meski The Fed agresif melakukan normalisasi kebijakan moneter, para spekulan justru "membuang" dolar AS.

Pelaku pasar juga melihat testimoni ketua The Fed, Jerome Powell di hadapan Senat, yang dianggap tidak lebih hawkish dari rilis notula rapat kebijakan moneter pekan lalu.
Powell mengatakan perekonomian AS kini sudah kuat menahan kenaikan suku bunga maupun lonjakan kasus penyakit akibat virus corona (Covid-19) varian Omicron.

"Inflasi saat ini jauh lebih tinggi dari target. Perekonomian tidak lagi memerlukan kebijakan moneter akomodatif yang kami terapkan saat ini," kata Powell dalam testimonisnya, sebagaimana dilansir Reuters, Selasa (11/1).

Pasar sebelumnya memperkirakan Powell bisa lebih hawkish dari notula rapat kebijakan moneter yang dirilis pekan lalu. Dalam notula tersebut terungkap beberapa pejabat The Fed melihat nilai neraca (balance sheet) bisa segera dikurangi setelah suku bunga dinaikkan.

TIM RISET CNBC INDONESIA 


(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kabar Dari China Bakal Hadang Rupiah ke Bawah Rp 15.000/US$?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular