
Naas! Rupiah Balik Melemah di Menit-Menit Akhir, Ada Apa ya?

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah harus menghentikan tren penguatan melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Rabu (12/1). Padahal, sejak awal perdagangan rupiah sudah berada di zona hijau dan baru berbalik masuk ke zona merah di menit-menit akhir.
Melansir data Refintiv, rupiah membuka perdagangan dengan menguat 0,07% ke Rp 14.290/US$. Penguatan rupiah sempat terapresiasi lagi menjadi 0,1% ke Rp 14.285/US$ yang menjadi level terkuat hari ini.
Setelahnya rupiah menghabiskan waktu berada di bawah Rp 14.300/US$, sebelum akhirnya berbalik melemah. Di penutupan perdagangan rupiah berada di Rp 14.315/US$, melemah 0,1% di pasar spot.
Sebelum perdagangan hari ini rupiah sudah membukukan penguatan 3 hari beruntun dengan total persentase 0,63%.
Penguatan tersebut cukup tajam sehingga memicu aksi ambil untung (profit taking) yang membuat rupiah melemah. Apalagi nanti malam ada rilis data inflasi yang bisa menentukan seberapa agresif bank sentral AS (The Fed) akan menormalisasi kebijakan moneternya.
Inflasi berdasarkan consumer price index (CPI) di Amerika Serikat pada bulan November tumbuh 6,8 (yoy) menjadi yang tertinggi sejak 1982 lainnya. Di bulan Desember, CPI diperkirakan masih naik lagi menjadi 7% (yoy).
Di awal perdagangan hari ini rupiah mampu menguat tajam akibat indeks dolar AS jeblok 0,39% ke 95,612 pada perdagangan Selasa. Level tersebut merupakan penutupan terendah dalam 2 bulan terakhir.
Kemerosotan tersebut terjadi merespon testimoni ketua bank sentral AS (The Fed), Jerome Powell di hadapan Senat, yang dianggap tidak lebih hawkish dari rilis notula rapat kebijakan moneter pekan lalu.
Selain itu, Data dari Commodity Futures Trading Commission (CFTC) menunjukkan posisi beli bersih (net long) pada pekan yang berakhir 4 Januari turun menjadi US$ 18,87 miliar dari pekan sebelumnya US$ 19,15 miliar.
Net long tersebut merupakan posisi dolar AS melawan yen Jepang, euro, poundsterling, franc Swiss, dolar Kanada dan Australia.
Tidak hanya melawan mata uang tersebut, net long juga turun terhadap mata uang G10 serta emerging market. Data dari CFTC menunjukkan posisi net long terhadap mata uang tersebut turun menjadi US$ 19,479 miliar dari sebelumnya US$ 19,759 miliar.
Penurunan tersebut terjadi meski pada bulan Desember lalu The Fed mengumumkan mempercepat tapering atau pengurangan nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) hingga berakhir pada Maret 2022.
Tidak hanya itu, bank sentral paling powerful di dunia ini juga memproyeksikan kenaikan suku bunga sebanyak 3 kali di tahun ini.
Pelaku juga melihat The Fed bisa menaikkan suku bunga di bulan Maret. Terbaru berdasarkan data dari perangkat FedWatch milik CME Group, pasar melihat probabilitas lebih dari 90% The Fed akan menaikkan suku bunga di bulan Maret. Probabilitas tersebut mengalami kenaikan signifikan dari bulan lalu yang masih di kisaran 50%.
Tetapi hal tersebut tidak serta merta membuat pelaku pasar memborong dolar AS, malah dalam beberapa pekan terakhir the greenback justru "dibuang," terlihat dari penurunan posisi spekulatifnya.
![]() |
Rupiah memang melemah pada hari ini, tetapi jika posisi spekulatif dolar AS terus menurun ada peluang rupiah akan kembali menguat, bahkan di tahun ini. Sebab, pergerakan indeks dolar AS cenderung mengikuti posisi spekulatifnya.
Gambar di atas menunjukkan posisi spekulatif dolar AS (garis oranye) dan indeks dolar AS (garis ungu). Terlihat pergerakan keduanya cenderung searah, sehingga jika posisi net long terus terpangkas, bahkan jika sampai berbalik menjadi net sell maka dolar AS bisa jadi akan terpuruk.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Rupiah Ngeri! 3 Hari Melesat 3% ke Level Terkuat 3 Bulan
