
Dolar AS Bakal Moncer di 2022, Baca Ini Dulu Sebelum Borong!

Jakarta, CNBC Indonesia - Dollar Amerika Serikat (AS) masih menjadi mata uang favorit, dan di 2022 diperkirakan masih akan mendominasi. Meski demikian, melihat pergerakannya melawan rupiah di pekan ini, belum tentu juga dolar AS akan membukukan penguatan tajam sepanjang 2022.
Melansir data Refinitiv, kemarin dolar AS melemah 0,35% melawan rupiah. Sementara pada perdagangan hari ini, Selasa (11/1) pagi rupiah sempat melesat 0,31% ke Rp 14.260/US$, sebelum mengakhiri perdagangan di Rp 14.300/US$ menguat t0,04% saja. Meski penguatannya tipis, rupiah sukses mencetak penguatan 3 hari beruntun melawan dolar AS.
Dolar AS masih melemah melawan rupiah padahal bank sentral AS (The Fed) mengindikasikan bisa sangat agresif dalam mengetatkan kebijakan moneter di tahun ini.
Tidak hanya itu, bank sentral pimpinan Jerome Powell ini juga memproyeksikan kenaikan suku bunga sebanyak 3 kali di tahun ini.Dalam rapat kebijakan moneter Desember lalu, The Fed mempercepat tapering atau pengurangan nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) hingga berakhir pada Maret 2022.
Ternyata tidak sampai di sana, dalam notula yang dirilis pekan lalu, beberapa pejabat The Fed melihat nilai neraca (balance sheet) bisa segera dikurangi setelah suku bunga dinaikkan.
The Fed menjadi bank sentral yang paling jor-joran dalam menggelontorkan stimulus moneter. Sejak penyakit akibat virus corona (Covid-19) dinyatakan sebagai pandemi pada Maret 2020, The Fed membabat habis suku bunganya menjadi 0-0,25%, dan QE sebesar US$ 120 miliar per bulan.
Sejak saat itu hingga akhir Desember 2021, The Fed sudah membanjiri perekonomian Amerika Serikat dengan duit sekitar US$ 4,5 triliun atau sekitar Rp 64.350 triliun (kurs Rp 14.300/US$).
![]() |
Hal tersebut tercermin dari neraca The Fed yang hingga 29 Desember lalu mencapai US$ 8,76 triliun, dibandingkan posisi awal Maret 2020 lalu US$ 4,24 triliun. Semakin besar QE yang digelontorkan maka neraca The Fed akan membengkak.
Kini, dengan adanya kemungkinan The Fed mengurangi neracanya, dengan menjual obligasinya, maka likuiditas di perekonomian akan kembali terserap, dan diharapkan mampu meredam tingginya inflasi.
Notula tersebut memberikan kejutan di pasar finansial, The Fed ternyata jauh lebih agresif dalam menormalisasi kebijakan moneternya.
Dengan demikian, The Fed akan menjadi bank sentral utama yang paling terdepan dalam mengetatkan kebijakan moneter. Hal tersebut yang membuat dolar AS diperkirakan akan mendominasi di tahun ini.
Survei yang dilakukan Reuters pada periode 4 - 6 Januari menunjukkan dari 49 analis valuta asing (valas) sekitar dua per tiga menyatakan dalam jangka pendek perbedaan suku bunga akan menjadi penggerak utama di pasar valas. Hanya 2 analis saja yang melihat varian baru virus corona yang akan memicu volatilitas.
Selain itu, lebih dari 80% analis yang disurvei menyatakan akan ada peningkatan volatilitas di pasar valas dalam 3 bulan ke depan, baik itu mata uang utama maupun emerging market.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Yield Tinggi Masih Jaga Kinerja Rupiah
Volatilitas tinggi memang hampir pasti akan terjadi, sebab The Fed berpeluang menaikkan suku bunga di bulan Maret, dan setelahnya akan mengurangi nilai neracanya. Hal tersebut dilakukan guna meredam inflasi di Amerika Serikat.
Pelaku pasar kini melihat probabilitas lebih dari 90% The Fed akan menaikkan suku bunga di bulan Maret, berdasarkan data dari perangkat FedWatch milik CME Group.
"The Fed sepertinya akan merasakan tekanan dari inflasi yang tinggi dan terdorong untuk memulai siklus kenaikan suku bunga di bulan Maret," kata Elsa Lignos, Kepala Strategi Valas Global di RBC Capital Markets, sebagaimana dilansir CNBC International, Senin (10/1).
Meski The Fed sangat hawkish, nyatanya rupiah masih mampu bertahan dari tekanan dolar AS. Hal ini tidak lepas dari imbal hasil (yield) obligasi Indonesia yang masih relatif tinggi ketimbang di Amerika Serikat.
Saat ini yield Treasury tenor 10 tahun berada di 1,75%. Jika tahun ini The Fed menaikkan suku bunga sebanyak 3 kali sebesar 75 basis poin, hitung-hitungan kasar yield Treasury juga akan ikut naik 75 basis poin sehingga menjadi sekitar 2,5%.
Sementara inflasi di tahun depan, The Fed memperkirakan sebesar 2,6%, lagi-lagi hitungan kasar, riil yield di AS masih akan negatif sekitar 0,1%.
Itu jika inflasi bisa diredam oleh The Fed, jika masih tetap tinggi tentunya riil yield akan negatif semakin dalam. Hal ini yang membuat dolar AS sulit menguat tajam.
Inflasi berdasarkan consumer price index (CPI) di Amerika Serikat pada bulan November tumbuh 6,8 (yoy) menjadi yang tertinggi sejak 1982 lainnya. Di bulan Desember, CPI diperkirakan masih naik lagi menjadi 7% (yoy).
Bandingkan dengan Indonesia, yield Surat Berharga Negara (SBN) tenor 10 tahun di kisaran 6,4% dan inflasi di bulan November 1,75% (yoy), riil yield masih positif sekitar 4,5%.
Direktur Riset BRI Research Institute, Anton Hendranata memprediksi inflasi domestik di tahun 2022 bisa menyentuh 2,8% -3,3%. Meskipun inflasi di tahun depan diperkirakan akan meningkat, riil yield masih akan tetap positif.
Selisih yield tersebut masih akan mampu menjaga kinerja rupiah melawan dolar AS di tahun ini. Belum lagi ada Bank Indonesia (BI) yang selalu menjaga stabilitas rupiah melalui triple intervention.
TIM RISET CNCB INDONESIA
(pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Rupiah Dekati Rp 15.000/US$, Begini Kondisi Money Changer