
Bursa Asia Dibuka Loyo Lagi, Hanya STI-KOSPI yang Bergairah

Jakarta, CNBC Indonesia - Mayoritas bursa Asia dibuka melemah pada perdagangan Selasa (11/1/2022), disinyalir karena investor masih khawatir dengan inflasi global yang semakin meninggi dan adanya potensi pengetatan kebijakan moneter bank sentral Amerika Serikat (AS).
Indeks Nikkei Jepang dibuka melemah 0,39%, Hang Seng Hong Kong terkoreksi 0,43%, dan Shanghai Composite China turun 0,12%.
Sedangkan untuk indeks Straits Times (STI) Singapura dibuka menguat 0,24% dan KOSPI Korea Selatan terapresiasi 0,42% pada pagi hari ini.
Mayoritas pasar saham Asia cenderung mengikuti pergerakan bursa saham AS, Wall Street yang kembali terkoreksi pada perdagangan Senin kemarin waktu setempat.
Indeks Dow Jones ditutup melemah 0,45% ke level 36.068,87 dan S&P 500 turun 0,14% ke posisi 4.670,28. Namun indeks Nasdaq Composite berhasil ditutup menghijau meski hanya tipis-tipis saja, yakni menguat tipis 0,05% ke level 14.942,83.
Gejolak di pasar saham Negeri Paman Sam diakibatkan karena kenaikan imbal hasil (yield) surat berharga pemerintah AS (Treasury) bertenor 10 tahun yang menjadi acuan, masih melanjutkan tren kenaikan dan mendekati level 1,8%. Padahal di akhir tahun lalu, yield Treasury tersebut masih berada di level 1,5%.
Peningkatan yield obligasi ini memicu aksi jual di pasar saham terutama pada saham-saham teknologi yang terkenal sangat sensitif terhadap kenaikan suku bunga, di mana indeks acuan teknologi Wall Street yakni Nasdaq sempat ambruk hingga 2,7%, sebelum akhirnya selamat dari zona koreksi.
Di sisi lain, para pelaku pasar juga masih menantikan rilis data inflasi AS bulan Desember 2021. Sebagai catatan, Indeks Harga Konsumen (IHK) AS pada November 2021 naik 6,8% dan menjadi kenaikan tertingginya dalam 4 dekade terakhir.
Pelaku pasar masih melihat inflasi di AS tetap membandel di penghujung tahun 2021. Konsensus Trading Economics memperkirakan inflasi AS di akhir tahun bakal tembus 7% secara tahunan (year-on-year/YoY).
Dikarenakan inflasi yang tetap tinggi dan seolah enggan turun, The Fed selaku bank sentral AS mulai turun tangan. Injeksi likuiditas lewat pembelian aset (quantitative easing/QE) pun direm (tapering).
Lebih lanjut, otoritas moneter AS tersebut juga bersiap menaikkan suku bunga acuan Federal Funds Rate (FFR) serta mengurangi porsi obligasi pada neraca (balance sheet).
The Fed diperkirakan bakal mulai menaikkan suku bunga acuannya pada Maret 2022 nanti. Jika mengacu pada dot plot The Fed, ada ruang 3x kenaikan FFR di tahun ini.
Namun, Goldman Sachs memiliki pandangan bahwa The Fed akan lebih hawkish dan bisa menaikkan suku bunga hingga 4x.
Dampak ke pasar saham memang akan cenderung negatif karena kenaikan suku bunga membuat borrowing cost naik dan bisa menggerus laba emiten.
Namun secara spesifik, dampak kenaikan suku bunga ke pasar saham akan sangat bergantung pada sektor dan juga jenis saham.
Selain itu, pasar juga memantau perkembangan terbaru seputar virus corona (Covid-19) di global, di mana ilmuwan di beberapa negara kembali menemukan varian baru Covid-19 yang memiliki karakteristik seperti Omicron dan Delta sehingga disebut sebagai Deltacron. Varian ini ditemukan di Siprus dan sudah ada 25 kasus.
"Saat ini ada koinfeksi Omicron dan Delta dan kami menemukan strain ini yang merupakan kombinasi dari keduanya. Penemuan itu dinamai Deltacron karena identifikasi genetik mirip Omicron," kata peneliti Profesor Ilmu Biologi Universitas Siprus, Leondios Kostrikis dalam sebuah wawancara dengan TV lokal, Sigma.
Terkait apakah lebih berbahaya atau tidak, peneliti masih harus melakukan penelitian dan mengumpulkan lebih banyak bukti dan data untuk mengambil konklusi.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(chd/vap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Bursa Asia Mayoritas Dibuka Hijau, KOSPI Memimpin!
