Awas! Ini 3 Bahaya Mengancam Asia, Termasuk RI?

Chandra Dwi, CNBC Indonesia
Senin, 10/01/2022 12:15 WIB
Foto: Reuters

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Asia pada tahun ini diperkirakan bakal menghadapi rintangan yang tidak mudah.  Menurut ekonom senior dari bank swasta Swiss UBP di Asia, Carlos Casanova, setidaknya ada beberapa hal yang perlu di cermati oleh pelaku pasar di Benua Kuning.

Casanova menekankan, faktor-faktor tersebut bahkan dapat menimbulkan ancaman di pasar keuangan Asia secara keseluruhan.

Yang pertama adalah masih terkait penyebaran virus corona (Covid-19) varian Omicron yang membuat banyak negara kembali dihadapi oleh lonjakan kasus positif.


Dalam beberapa laporan penelitian, varian ini memang dinilai tak semengerikan dengan varian Delta dalam hal tingkat keparahan penyakit. Namun varian ini terbukti jauh lebih menular.

Di pekan pertama Januari 2022, kasus infeksi harian Covid-19 global mengalami kenaikan yang tajam. Jika di akhir Desember kasus harian masih di kisaran 1 juta, per 8 Januari 2022 rerata kasus harian dalam sepekan sudah naik 2x menjadi 2,2 juta.

Senada dengan kenaikan kasus Covid-19 global, kasus harian di Indonesia juga meningkat. Kasus infeksi harian Covid-19 di Tanah Air sejak November sudah konsisten berada di bawah 500 kasus. Namun di pekan lalu kasus Covid-19 kembali menyentuh angka 500 kasus per hari.

Kenaikan kasus infeksi Covid-19 juga sejalan dengan naiknya kasus Covid-19 Omicron di Tanah Air. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan (Kemenkes), tercatat penambahan kasus sebanyak 57 orang, sehingga total konfirmasi Omicron sebanyak 318 orang per Jumat (7/1/2022).

Penambahan 57 orang terdiri dari 7 orang transmisi lokal dan 50 orang pelaku perjalanan luar negeri. Secara keseluruhan, kasus transmisi lokal Omicron berjumlah 23 orang, sementara kasus dari pelaku perjalanan luar negeri berjumlah 295 orang.

Kenaikan kasus Covid-19 membuat pemerintah kembali mengambil langkah tegas dengan meningkatkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) untuk mengendalikan agar penularan tidak semakin meningkat dan meluas.

Kedua, yakni potensi kembali melambatnya perekonomian China pada tahun ini, karena beberapa faktor seperti masih terganggunya rantai pasokan, krisis likuiditas perusahaan properti China, hingga tindakan keras terhadap perusahaan teknologi.

Ketiga sekaligus yang terakhir, yakni terkait dengan potensi diperketatnya kebijakan moneter bank sentral Amerika Serikat (AS).

Bank sentral AS atau The Fed sempat membuat investor kembali khawatir pekan lalu. Pelaku pasar merespons negatif dari notula rapat edisi Desember 2021 yang mengisyaratkan bahwa para anggotanya siap untuk mengetatkan kebijakan moneter lebih agresif dari yang diperkirakan sebelumnya.

The Fed mengindikasikan siap untuk mulai menaikkan suku bunga dan mengurangi pembelian obligasi atau tapering.

"Pasar perlu mencermati kasus Omicron global yang kembali meningkat. Selain itu, kami memperkirakan pertumbuhan ekonomi China akan kembali melambat sekitar 5%. Ditambah, risalah rapat The Fed menunjukkan bahwa laju penurunan akan lebih cepat dari yang diperkirakan," kata Casanova kepada CNBC "Squawk Box Asia" pada Jumat (8/1/2022) lalu.

Namun, Casanova menjelaskan bahwa pasar keuangan di negara berkembang Asia berada pada posisi yang baik. Mereka hanya akan lebih terpengaruh oleh faktor-faktor ini, terutama jika The Fed bergerak secara agresif dalam hal kebijakan moneternya. "Akan ada kompresi tingkat riil antara pasar negara berkembang di Asia dan AS," kata Casanova.

Situasi tersebut dapat menyebabkan adanya arus keluar (outflow) di pasar obligasi di kawasan ini, terutama negara-negara yang ekonomi sedang rentan.

Pada  2013, The Fed memicu apa yang disebut "taper tantrum" ketika mulai menghentikan program pembelian asetnya. Investor panik dan memicu aksi jual di pasar obligasi serta menyebabkan imbal hasil (yield) Treasury melesat.

Akibat dari adanya taper tantrum, pasar negara berkembang di Asia mencatatkan outflow modal yang cukup besar dan membuat mata uang mereka terdepresiasi serta memaksa bank sentral di negara berkembang Asia untuk menaikkan suku bunga untuk melindungi struktur modal mereka.

Tapi, Casanova pun mengatakan bahwa besarnya risiko yang menghampiri pasar keuangan negara berkembang tergantung pada bagaimana The Fed melakukan normalisasi kebijakannya dalam beberapa bulan mendatang.

"Apa yang kami hindari adalah situasi, di mana mereka lebih proaktif dalam mengurangi neraca mereka pada saat yang sama ketika mereka menerapkan tiga kenaikan suku bunga pada tahun 2022," kata Casanova.


(chd)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Iran Dibombardir Israel, Bursa Asia & IHSG "Kebakaran"