
Rupiah Terpuruk Pekan Ini, Gegara Larangan Ekspor Batu Bara?

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah mampu mencatat penguatan melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Jumat sekaligus mengakhiri pelemahan dalam 4 hari beruntun. Namun, jika dibandingkan dengan mata uang utama Asia lainnya, kinerja rupiah tidak terlalu buruk.
Melansir data Refinitiv, rupiah mengakhiri perdagangan hari ini di Rp 14.355/US$, menguat 0,24%. Sementara dalam sepekan, rupiah mencatat pelemahan 0,74%.
Dengan pelemahan tersebut, rupiah berada di papan tengah klasemen mata uang Asia pekan ini. Hingga sore ini hanya ada 2 mata uang yang menguat melawan dolar AS yakni rupee India dan dolar Taiwan, sementara yang lainnya melemah.
Rupiah berada di urutan ke-lima, dan bath Thailand menjadi yang terburuk dengan pelemahan 1,38%. Mengingat perdagangan di negara lain belum ditutup, posisi tersebut tentunya bisa berubah.
Berikut pergerakan dolar AS melawan mata uang utama Asia dalam sepekan hingga Jumat (7/1) pukul 15:17 WIB.
![]() |
Fakta mayoritas mata uang utama Asia melemah menunjukkan dolar AS sedang kuat-kuatnya di pekan ini. Sebabnya, rilis notula rapat kebijakan moneter bank sentral AS (The Fed) yang menunjukkan normalisasi kebijakan moneter bisa lebih agresif lagi.
Tidak hanya menaikkan suku bunga, beberapa pejabat The Fed melihat nilai neraca (balance sheet) bisa segera dikurangi.
Rilis tersebut memicu kenaikan yield obligasi (Treasury) AS. Dalam 4 hari perdagangan, yield Treasury sudah naik lebih dari 21 basis poin ke 1,7281% yang merupakan level tertinggi sejak April 2021.
"Peserta rapat kebijakan moneter secara umum mencatat bahwa, melihat outlook individual terhadap perekonomian, pasar tenaga kerja dan inflasi, mungkin diperlukan kenaikan suku bunga lebih awal atau dengan laju yang lebih cepat dari yang diperkirakan sebelumnya. Beberapa peserta juga mencatat akan tepat jika segera mulai mengurangi nilai neraca setelah suku bunga dinaikkan," tulis notula The Fed yang dikutip Reuters, Kamis (6/1).
Artinya, tidak hanya kenaikan suku bunga, The Fed juga berpeluang melepas menjual obligasinya dan surat berharga yang dimiliki, sehingga likuiditas bisa terserap. Pengetatan likuiditas bisa berdampak pada terus menanjaknya yield Treasury. Jika itu terjadi, ada risiko aliran modal keluar dari pasar obligasi negara-negara emerging market dan masuk ke Amerika Serikat.
Sementara dari dalam negeri, kebijakan pemerintah Republik Indonesia (RI) melarang ekspor batu bara selama satu bulan dapat membebani neraca dagang.
Akhir pekan lalu, pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memutuskan untuk menghentikan sementara ekspor batu bara selama sebulan.
Langkah ini dilakukan untuk memastikan pasokan batu bara ke pembangkit listrik, yang pasokannya semakin menipis.
"Soal pasokan batu bara, saya perintahkan kepada Kementerian ESDM, Kementerian BUMN, dan PLN segera cari solusi terbaik demi kepentingan nasional. Prioritasnya adalah pemenuhan kebutuhan dalam negeri, untuk PLN, dan industri di dalam negeri. Sudah ada mekanisme DMO (Domestic Market Obligation, kewajiban pemenuhan kebutuhan domestik) yang mewajibkan perusahaan tambang untuk memenuhi pembangkit PLN. Ini mutlak, jangan sama sekali dilanggar untuk alasan apapun," tegas Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Tingginya harga batu bara menjadi salah satu pemicu neraca dagang mampu mencatat surplus selama 19 bulan beruntun.
Surplus tersebut akan membantu transaksi berjalan (current account) Indonesia agar tidak mengalami defisit yang besar bahkan bisa mencatat surplus.
Defisit transaksi berjalan yang tidak besar atau jika bisa surplus akan memberikan dampak positif ke rupiah.
Ketika ekspor batu bara dilarang, surplus tentunya akan menyempit, bahkan tidak menutup kemungkinan kembali defisit. Sebab Penjualan batu bara ke luar negeri tersebut rata-rata tiap bulan ditaksir bernilai US$ 1,4 - 1,7 miliar atau senilai Rp 20 - 24 triliun (kurs Rp 14.350/US$).
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Rupiah Ngeri! 3 Hari Melesat 3% ke Level Terkuat 3 Bulan
