Cadev RI Merosot US$ 1 Miliar, BI Sudah Siap "Hadapi" Fed?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
07 January 2022 11:31
Jerome Powell
Foto: Gubernur BI Perry Warjiyo Saat Pengumuman Hasil Rapat Dewan Gubernur Bulanan Bulan Desember 2021. (Tangkapan Layar via Youtube Bank Indonesia)

The Fed sebenanrnya sudah mulai menormalisasi kebijakan moneternya dengan melakukan tapering off atau pengurangan nilai program pembelian obligasi dan surat berharga (quantitative easing/QE) pada bulan November lalu. Nilai QE sebesar US$ 120 miliar awalnya ajan dikurangi sebesar US$ 15 miliar setiap bulannya.

Tetapi, hanya sebulan berselang, The Fed bertindak lebih agresif, nilai tapering ditambah menjadi US$ 30 miliar setiap bulannya. Sehingga QE yang awalnya direncanakan selesai pertengahan 2022, berubah menjadi bulan Maret tahun ini.

Tidak hanya itu, bank sentral pimpinan Jerome Powell ini juga mengindikasikan suku bunga bisa naik 3 kali di tahun ini. Dan pasar memperkirakan Maret akan menjadi kenaikan pertama.

Tetapi, nyatanya The Fed bisa jauh lebih agresif dari itu. Dalam notula rapat kebijakan moneter bulan Desember yang dirilis pekan ini terungkap, beberapa pejabat The Fed melihat nilai neraca (balance sheet) bisa segera dikurangi setelah suku bunga dinaikkan. Normalisasi kebijakan The Fed saat ini jauh lebih agresif ketimbang tahun 2013, di setelah QE selesai ada jeda sekitar 1 tahun sebelum menaikkan suku bunga lebih lama lagi sebelum nilai neraca dikurangi. 

Pengurangan nilai neraca artinya The Fed menjual obligasi dan surat berharga yang dimiliki atau dibeli saat melakukan QE, sehingga likuiditas di pasar akan terserap. 

"Peserta rapat kebijakan moneter secara umum mencatat bahwa, melihat outlook individual terhadap perekonomian, pasar tenaga kerja dan inflasi, mungkin diperlukan kenaikan suku bunga lebih awal atau dengan laju yang lebih cepat dari yang diperkirakan sebelumnya. Beberapa peserta juga mencatat akan tepat jika segera mulai mengurangi nilai neraca setelah suku bunga dinaikkan," tulis notula The Fed yang dikutip Reuters, Kamis (6/1).

Pasar merespon notula tersebut, yield obligasi Treasury (AS) melesat, yang menjadi indikasi pasar melihat kenaikan suku bunga pasti terjadi. Dalam 4 hari perdagangan, yield Treasury sudah naik lebih dari 21 basis poin ke 1,7281% yang merupakan level tertinggi sejak April 2021.

Kenaikan yield tersebut berisiko memicu capital outflow dari pasar obligasi Indonesia yang bisa menekan rupiah. Oleh karena itu, BI kemungkinan besar perlu melakukan intervensi guna menstabilkan nilai tukar rupiah agar tidak terpuruk seperti tahun 2013 lalu, saat rupiah merosot hingga 50% hingga tahun 2015.

Namun, kondisi saat ini berbeda dengan 2013, cadangan devisa Indonesia jauh lebih tinggi, sehingga BI punya lebih banyak amunisi guna menstabilkan rupiah.

Selain itu, kepemilikan asing atas SBN saat ini sudah di bawah 20%, berbeda dengan 2013 yang lebih dari 40%. Sehingga jika terjadi capital outflow, kemungkinan tidak akan sebesar 2013.

TIM RISET CNBC INDONESIA

(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular