2 Tahun 'Sembunyi', January Effect Bakal Nongol Kali Ini?
Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup menghijau pada sesi I di perdagangan hari pertama 2022, Senin (3/12/2021). Penguatan IHSG turut ditopang oleh masuknya dana investor asing hingga siang ini.
Menurut data Bursa Efek Indonesia (BEI), IHSG naik 0,84% ke posisi 6.637 hingga pukul 11.30 WIB, dengan nilai transaksi Rp 5,43 triliun dan volume perdagangan 13,06 miliar saham. Investor asing melakukan aksi beli bersih Rp 182,69 miliar di pasar reguler.
Sepanjang 2021, IHSG sukses tumbuh dua digit, yakni 10,08%. Adapun sepanjang Desember lalu, di tengah sentimen positif soal window dressing dan Santa Claus rally, IHSG berhasil naik 0,73%.
Window dressing adalah aktivitas mempercantik portofolio para fund manager dengan memburu saham-saham unggulan (blue chip) atau yang berkapitalisasi pasar besar (big cap).
Sementara, istilah Santa Claus rally menunjukkan kecenderungan harga saham naik pada pekan terakhir Desember--mengacu pada tren di bursa saham Amerika Serikat (AS). Pada pekan terakhir di Desember 2021, IHSG berhasil menghijau sebanyak 3 kali dan hanya sekali melemah, dengan persentase kenaikan 0,28%.
Nah, seringkali tren window dressing dan Santa rally yang terjadi selama Desember akan diikuti dengan sentimen positif lainnya, yang bernama January effect alias efek Januari.
January effect merupakan sebuah fenomena di mana bursa saham AS cenderung menguat pada Januari.
Ada beberapa alasan yang mendasari terjadinya fenomena January effect, salah satunya adalah penggunaan bonus akhir tahun oleh masyarakat AS untuk berinvestasi di pasar saham.
Selain itu, January effect juga dipicu oleh faktor psikologis, yakni anggapan investor bahwa Januari merupakan bulan terbaik untuk memulai sebuah program investasi. Ada juga masyarakat yang merealisasikan resolusi tahun barunya untuk mulai berinvestasi sehingga dorongan beli di pasar saham meningkat dan menyebabkan harga terkerek naik.
Fenomena January effect di AS kemudian menjalar hingga ke pasar saham Tanah Air. Bahkan bisa dibilang, Januari merupakan bulan yang manis bagi investor saham di Indonesia.
Menurut data yang dihimpun Tim Riset CNBC Indonesia, dalam 10 tahun terakhir (2012-2021), IHSG berhasil menguat sebanyak tujuh kali selama Januari, dengan tiga sisanya berakhir di zona merah.
Ini menunjukkan, sentimen positif January effect seringkali turut mendorong kinerja indeks saham secara umum.
Lantas, bagaimana dengan potensi January effect pada tahun ini?
Secara umum, pasar modal menyongsong tahun ini dengan semangat positif, di tengah adanya optimisme soal pemulihan ekonomi yang terus berlanjut.
Sejumlah sektor, terutama yang sensitif terhadap pertumbuhan ekonomi, berpotensi melanjutkan kinerja positifnya tahun ini.
Di tahun 2022, harapan ekonomi akan melanjutkan tren pemulihan terbuka. Para pelaku pasar optimis ekonomi RI bisa tumbuh dengan laju 5% seperti sebelum pandemi. Dengan proyeksi tersebut, beberapa analis memperkirakan IHSG bakal mencatatkan kinerja yang positif tahun ini.
Baik analis lokal maupun asing sepakat bahwa IHSG dapat memberikan return positif tahun ini. Macquarie Sekuritas, misalnya, memproyeksikan laba emiten (Earning Per Share/EPS) bisa tumbuh 20-25% sehingga target IHSG bisa menyentuh level 7.400 di tahun 2022.
Kemudian, prediksi dari Tim Riset Valbury Sekuritas menyebut IHSG dapat bergerak di rentang 7.295 untuk proyeksi paling konservatif. Sementara, untuk proyeksi dengan skenario moderat dan optimis target IHSG berada di 7.572 dan 7.850.
Tone bullish juga disampaikan oleh Mirae Sekuritas yang memperkirakan IHSG bisa tembus level 7.600 bahkan 8.000 di tahun 2022.
Tidak hanya itu, BRI Danareksa Sekuritas juga memprediksi IHSG bisa mencapai level 7.300-7.500 poin di tengah semakin percaya dirinya masyarakat dengan kondisi pandemi yang tengah masih berlangsung.
Namun, ada beberapa hal yang sebenarnya masih perlu diperhatikan oleh investor dan pelaku pasar terutama soal pandemi dan inflasi.
Virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19 terus bermutasi. Terbaru adalah varian Omicron yang dalam kurun waktu kurang dari dua bulan sudah menyebar ke lebih dari 100 negara.
Varian ini pertama kali ditemukan di Afrika Selatan di minggu terakhir November tahun lalu.
Kasus varian Omicron di dunia hingga kini tercatat mencapai 408 ribu di lebih dari 130 negara, melesat 123% hanya dalam sepekan. Pada pekan lalu kasus terkonfirmasi Omicron dunia tercatat sebesar 183 ribu kasus.
Sementara di Indonesia, jumlah kasus Covid-19 Omicron sekarang 152 kasus dengan tingkat kesembuhan mencapai 23%.
Penularan yang tinggi dari virus mematikan ini tentu menjadi risiko bagi pemulihan ekonomi yang diharapkan berlanjut hingga tahun ini lantaran bisa memantik aksi lockdown besar-besaran jika kasus terus bertambah signifikan.
Kemudian dari sisi inflasi, kenaikan harga di level produsen dan konsumen yang tak kunjung mereda bisa mencekik perekonomian.
Saat inflasi tinggi, bank sentral akan cenderung mengetatkan kebijakan moneternya sehingga suku bunga akan dinaikkan. Ketika suku bunga dinaikkan pasar saham cenderung melemah. Dua faktor di atas masih menjadi risiko terbesar bagi ekonomi dan aset-aset keuangan berisiko seperti saham.
Selain itu, catatan saja, January effect tidak terlihat dalam dua tahun terakhir di tengah pagebluk Covid-19. Sepanjang Januari 2020, IHSG ambles 5,71% secara bulanan (mom), sedangkan selama Januari 2021, IHSG turun 1,95% secara mom.
Karenanya, selain adanya tren historis yang mengindikasikan January effect kemungkinan masih bisa menunjukkan tajinya pada tahun ini, sejumlah sentimen negatif di atas bisa saja menggagalkan tren itu untuk kali ketiga secara beruntun.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(adf/adf)