2021 in Review

Ngeri! Masalah Baru Usai Covid-19: Tumpukan Utang Negara

Chandra Dwi, CNBC Indonesia
30 December 2021 09:21
INFOGRAFIS, 10 Negara dengan Hutang Terbanyak di Dunia
Foto: Infografis/Negara dengan Hutang Terbanyak/Edward Ricardo

Jakarta, CNBC Indonesia - Pandemi virus corona (Covid-19) membuat mayoritas negara di dunia terpaksa meningkatkan utangnya demi bertahan hidup dari ganasnya Covid-19, di mana penarikan utang tersebut dilakukan oleh pemerintah, korporasi, dan rumah tangga.

Pada tahun 2020, Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) mencatat utang seluruh dunia mencapai US$ 226 triliun. Dengan asumsi US$ 1 sama dengan Rp 14.265 seperti kurs tengah Bank Indonesia (BI) per 29 Desember 2021, maka utang pemerintah itu mencapai Rp 3.223.890.000.000.000.000.

Secara nominal, utang naik US$ 28 triliun (Rp 399.000 triliun) dibandingkan 2019. Terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), nilai utang itu setara dengan 256%. Naik 28 poin persentase dibandingkan 2019, kenaikan tertinggi sejak Perang Dunia II.

utangSumber: IMF

Khusus utang pemerintah, rasio terhadap PDB ada di 99%. Ini adalah rekor tertinggi sepanjang sejarah.

Hal ini karena pemerintah bekerja mati-matian untuk memulihkan berbagai sektor, baik sektor kesehatan maupun sosial-ekonomi selama masa pandemi.

Saat ekonomi loyo, penerimaan pajak pun cenderung seret. Tidak heran juka pemerintahan di berbagai negara terpaksa berutang untuk menambah biaya kesehatan dan perlindungan sosial-ekonomi.

"Saat ini utang pemerintah berkontribusi hampir 40% dari total utang, porsi terbesar sejak pertengahan 1960-an. Sejak 2007, utang pemerintah terus bertambah karena kebutuhan penanganan krisis keuangan global dan pandemi virus corona," sebut laporan IMF.

Lebih dari kenaikan utang yang US$ 28 triliun tersebut disumbangkan oleh China dan negara-negara maju. Suku bunga rendah dan pasar keuangan yang dalam memudahkan negara-negara ini untuk mengakses pembiayaan.

utangSumber: IMF

Pada tahun depan, pandemi Covid-19 diprediksi akan berakhir oleh sebagian besar pengamat, di mana varian Omicron diperkirakan akan menjadi varian terakhir dari Covid-19).

Hal ini karena beberapa penelitian terkait varian tersebut menunjukkan bahwa gejala varian Omicron cenderung lebih ringan dari varian Covid-19 lainnya, termasuk Delta, meskipun varian Omicron lebih cepat menular.

Pada Kamis pekan lalu, sebuah penelitian di Afrika Selatan (Afsel) menunjukkan bahwa penderita Omicron memiliki peluang 80% bergejala ringan sehingga tidak harus 'mondok' ke rumah sakit.

Selain di Afsel, penelitian serupa yakni di Universitas Edinburg, Inggris menunjukkan bahwa pasien rawat inap akibat Omicron ternyata 68% lebih rendah dari kasus varian Delta.

Hal ini seperti Skenario Spanish Flu yang berpeluang terjadi pada kasus pandemi Covid-19. Meski tingkat penularan Omicron lebih ganas, dengan rasio penularan 1,5 kali dan hanya perlu 3 hari inkubasi menurut Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO), efek yang ditimbulkan lebih rendah bagi manusia sehat.

Studi terbaru dari Afrika Selatan menunjukkan bahwa orang-orang yang terinfeksi Omicron, terutama yang sudah divaksin akan memiliki imun yang lebih kuat dalam menghadapi varian Delta.

Reuters melaporkan bahwa riset tersebut baru dilakukan terhadap sekelompok kecil, hanya 33 orang yang sudah divaksin dan belum. Hasilnya, netralisasi virus Omicron meningkat 14 kali lipat selama 14 hari setelah terinfeksi, dan netralisasi varian naik 4,4 kali lipat.

"Peningkatan netralisasi varian Delta pada individu yang terinfeksi Omicron dapat menurunkan kemampuan Delta untuk menginfeksi kembali individu tersebut," kata para ilmuwan, sebagaimana diwartakan Reuters, Selasa (27/12/2021).

Hasil riset tersebut juga dikatakan konsisten dengan temuan sebelumnya yakni Omicron menggantikan varian Delta karena individu yang terinfeksi memperoleh kekebalan yang menetralisir Delta.

Berdasarkan data dari Worldometer, angka kematian harian akibat Covid-19 di seluruh dunia cenderung landai, yakni di angka 6.912 jiwa per 28 Desember, dibandingkan dengan angka kematian harian pada 23 November (ketika Omicron pertama teridentifikasi) sebanyak 8.513 korban.

Kematian Harian Covid-19Sumber: Worldometer

Artinya, data tersebut secara lugas menunjukkan bahwa kemunculan Omicron justru berujung pada penurunan angka kematian sebesar 18,8%. Hal ini berpeluang mengulang skenario Spanish Flu dan berujung pada usainya pandemi.

Total kasus serius (yang dirawat di rumah sakit) di seluruh dunia pun naik hanya terbatas yakni sebesar 9,1% dari 81.704 pada 23 November menjadi 89.106 kasus pada 28 Desember. Besar dugaan yang dirawat adalah kasus akibat varian Delta yang saat ini masih menyumbang 30% kasus.

Kasus Serius Covid-19Sumber: Worldometer

Meskipun pada tahun depan pandemi diprediksi akan berakhir, tetapi ada ancaman baru yang akan menghampiri pasar global pada tahun depan, yakni utang.

Terlepas dari ancaman pembayaran utang, negara mana saja yang memiliki utang paling besar?

1. Amerika Serikat (US$ 29,03 Triliun)

Amerika Serikat (AS) menjadi negara yang paling besar tingkat utangnya secara nasional, di mana berdasarkan data dari US Debt Clock per Rabu kemarin pukul 17:00 WIB, utang nasional Negeri Paman Sam tersebut mencapai US$ 29,34 triliun atau setara dengan Rp 418.535 triliun (kurs Rp 14.265/US$).

Bertambahnya tingkat utang nasional AS terjadi setelah Kongres AS menyepakati untuk menaikkan plafon utang sekitar dua pekan lalu. Hal tersebut dilakukan guna menghindari AS mengalami gagal bayar (default).

Jika Kongres tidak menaikan plafon utang AS, maka potensi default tersebut akan menjadi yang pertama dalam sejarah AS. Tidak hanya itu, Menteri Keuangan AS, Janet Yellen mengatakan Negeri Paman Sam bisa mengalami resesi yang parah seandainya plafon utang tidak dinaikkan.

Batas utang atau sering disebut plafon utang merupakan acuan untuk menentukan seberapa besar pemerintah AS diizinkan berutang guna memenuhi kewajibannya, termasuk di dalamnya untuk jaminan sosial, tunjangan kesehatan masyarakat, pembayaran bunga utang, serta kewajiban lainnya.

Plafon utang AS sebelumnya lebih dari US$ 28,4 triliun dan habis pada pertengahan Oktober lalu. Sebelum mengalami default, Presiden AS Joe Biden menandatangani Undang-Undang kenaikan plafon utang sementara sebesar US$ 480 miliar dan mampu menghindarkan AS dari gagal bayar hingga pertengahan Desember.

Kini Kongres AS akhirnya secara resmi menaikkan lagi plafon utang sebesar US$ 2,5 triliun, sehingga total menjadi US$ 31,4 triliun. Rancangan Undang-Undang tersebut kini tinggal ditandatangani Presiden Biden.

Dari total utang AS tersebut, sekitar US$ 7,6 triliun, AS berutang kepada asing melalui penerbitan obligasi (Treasury). Porsi kepemilikan asing di Treasury AS menjadi yang paling besar, sementara lainnya dipegang oleh institusi perbankan, lembaga pensiun, perusahaan asuransi, dan lain-lain.

utang

Berdasarkan data dari Kementerian Keuangan AS, hingga Oktober lalu, Jepang masih menjadi negara yang memiliki Treasury terbesar, yakni senilai US$ 1,32 triliun. Artinya AS paling banyak berutang ke Jepang.

Negeri Matahari Terbit memang merupakan kreditur terbesar di dunia selama 30 tahun hingga tahun 2020 lalu. Total utang yang disalurkan Jepang sebesar US$ 3,3 triliun, sebesar 40% dari total tersebut merupakan utang AS.

Selain ke Jepang, AS juga banyak berutang ke China, salah satu negara yang sering diajak berseteru. Data dari Kementerian Keuangan AS menunjukkan China memiliki Treasury senilai US$ 1,065 triliun hingga Oktober lalu.

Di urutan ketiga, ada Inggris yang memiliki Treasury sebesar US$ 579,8 miliar. Dari 30 negara pemegang Treasury terbesar, Indonesia tidak termasuk di dalamnya.

 

2. Jepang (US$ 15,25 Triliun).

Negeri Matahari Terbit tersebut berada di urutan kedua, dengan nilai utang mencapai US$ 15,25 triliun atau setara Rp 217.541 triliun per Rabu kemarin menurut data US Debt Clock.

Sedangkan untuk rasio utang publik terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Jepang sebesar 278% dan rasio utang luar negeri terhadap PDB Jepang mencapai 81%.

Negara dengan nilai perekonomian terbesar ketiga di dunia tersebut memiliki rasio debt to gross domestic product (GDP) terbesar di dunia. Tetapi di sisi lain, Jepang merupakan negara kreditur nomer satu. Bahkan Jepang sudah menjadi negara kreditur terbesar di dunia selama 3 dekade.

Berdasarkan data Kementerian Keuangan Jepang, jumlah aset asing yang dimiliki pemerintah, swasta, dan individual Jepang mencapai US$ 3,3 triliun atau Rp 47.000 triliun di akhir tahun 2020, turun tipis naik 0,1% dari tahun 2019.

 

3. China (US$ 8,319 triliun)

Kemudian ada China, negara dengan nilai perekonomian terbesar kedua di dunia menjadi negara dengan utang terbesar ketiga di dunia secara nominal. Per Rabu kemarin menurut US Debt Clock, utang China mencapai US$ 8,319 triliun (Rp 118.671 triliun).

Rasio utang publik terhadap PDB China sebesar 55% dan rasio utang luar negeri terhadap PDB China mencapai 13%.

Bahkan, ada laporan bahwa China memiliki 'utang tersembunyi' pemerintah lokal di China telah menembus 53 triliun yuan atau setara Rp 117.400 triliun pada 2020 lalu. Utang itu sendiri jauh lebih besar dari utang pemerintah nasional yang belum terbayarkan.

Sedangkan saat ini, China juga sedang dihadapi oleh masalah krisis likuiditas dari perusahaan properti, di mana hal ini dapat mengancam perekonomian Negeri Tirai Bambu tersebut.

Hal ini dimulai pada Agustus lalu, di mana perusahaan pengembang properti terbesar kedua di negara itu, yakni Evergrande Group terancam gagal bayar (default) oleh beberapa lembaga pemeringkat internasional.

Hingga kini, permasalahan likuiditas properti di China tersebut masih berlangsung. Jika tidak diselesaikan segera, maka hal ini akan membuat pemerintah China kewalahan dan dampaknya terhadap perekonomian China.

 

4. Inggris dan Jerman

Berdasarkan data dari US Debt Clock, di urutan ke empat dan kelima ada Inggris dan Jerman, di mana utang nasional Inggris per Rabu kemarin mencapai US$ 3,737 triliun (Rp 53.308 triliun), sedangkan utang nasional Jerman mencapai US$ 3,336 triliun (Rp 47.588 triliun).

Dari rasio utang publik terhadap PDBnya, Inggris mencapai 116% dan Jerman mencapai 90%. Sedangkan dari rasio utang luar negeri terhadap PDBnya, Inggris mencapai 332% dan Jerman mencapai 180%.

Berikut 10 negara dengan nilai utang terbesar di dunia per Rabu (28/12/2021) kemarin.

Lalu bagaimana di Indonesia, apakah utangnya masih aman?

Kementerian Keuangan mencatat total utang pemerintah sebesar Rp 6.713,24 triliun per akhir November 2021. Jumlah ini naik dari bulan sebelumnya yang sebesar Rp 6.687,82 triliun.

"Posisi utang pemerintah per akhir November 2021 berada di angka Rp 6.713,24 triliun dengan rasio utang pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 39,84%," papar dokumen APBN Kita edisi November 2021.

Padahal pada Oktober lalu, utang pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sempat menurun.

Secara nominal, persentase utang pemerintah terhadap PDB terpantau turun. Per akhir kuartal III-2021, rasio utang pemerintah terhadap PDB adalah 36,98%. Setelah mencapai puncaknya pada kuartal IV-2020, angkanya terus menurun.

Dari sisi nominal, utang pemerintah Indonesia adalah yang terbesar kedua di antara negara ASEAN-5. Namun mengingat Indonesia adalah perekonomian terbesar di Asia Tenggara, satu-satunya negara ASEAN di G20, maka rasio utang pemerintah Indonesia terhadap PDB adalah yang terendah.

Sementara itu dari sisi surat berharga negara (SBN), pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan menargetkan pada akhir tahun 2021 akan mencapai Rp 1.144,6 triliun.

"Penerbitan SBN melalui SKB III ini sesuai dengan strategi optimalisasi kebutuhan kas dan koordinasi dengan BI," jelasnya.

Realisasi penerbitan SBN ini diklaim lebih rendah dari proyeksi pemerintah sebelumnya. Pemerintah juga telah membatalkan proses lelang SBN di sisa tahun 2021, di mana lelang SBN terakhir tahun 2021 dilaksanakan pada awal November lalu, yakni lelang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN).

Pembatalan pelaksanaan lelang SBN di sisa tahun 2021 tersebut turut mengurangi penambahan utang hingga lebih dari Rp 300 triliun.

Sehingga, penarikan utang melalui SBN yang awalnya ditetapkan Rp 1.207 triliun dan turun menjadi hanya Rp 878 triliun di outlook 2021. Ini tak lepas dari strategi pembiayaan yang dilakukan pemerintah termasuk kerjasama dengan BI serta mengoptimalkan dana yang ada.

"Kondisi penerbitan SBN 2021 lebih rendah dari 2020. Kalau diamati, dengan strategi pengolahan utang pemerintah terbukti efektif turunkan imbal hasil (yield). Juga didukung oleh optimalisasi Silpa, perbaikan harga komoditas, perbaikan penerimaan sehingga yield diturunkan rata-rata 6,77% turun jadi 6,09%," kata Amir.

Sementara dari utang luar negeri (ULN) swasta (termasuk BUMN) RI, pada Oktober lalu tercatat turun dibandingkan dengan September 2021. Posisi ULN swasta tercatat sebesar US$ 208,4 miliar pada Oktober 2021, menurun dari US$ 209,2 miliar pada bulan sebelumnya.

Secara tahunan, ULN swasta mengalami kontraksi sebesar 1% (year-on-year/yoy) pada Oktober 2021, setelah pada periode sebelumnya tumbuh rendah sebesar 0,4% (yoy). Kontraksi ULN swasta tersebut disebabkan oleh perkembangan ULN lembaga keuangan yang terkontraksi 5,8% (yoy), lebih dalam dari kontraksi 2,7% (yoy) pada September 2021.

Selain itu, pertumbuhan ULN perusahaan bukan lembaga keuangan melambat sebesar 0,3% (yoy) dari 1,3% (yoy) pada bulan sebelumnya.

Berdasarkan sektornya, ULN swasta terbesar bersumber dari sektor jasa keuangan dan asuransi, sektor pengadaan listrik, gas, uap/air panas, dan udara dingin, sektor industri pengolahan, serta sektor pertambangan dan penggalian, dengan pangsa mencapai 76,8% dari total ULN swasta.

ULN tersebut tetap didominasi oleh ULN jangka panjang dengan pangsa mencapai 76,3% terhadap total ULN swasta.

"Struktur ULN Indonesia tetap sehat, didukung oleh penerapan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaannya. ULN Indonesia pada bulan Oktober 2021 tetap terkendali, tercermin dari rasio ULN Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang tetap terjaga di kisaran 36,1%, menurun dibandingkan dengan rasio pada bulan sebelumnya sebesar 37,0%," jelas laporan BI

"Selain itu, struktur ULN Indonesia tetap sehat, ditunjukkan oleh ULN Indonesia yang tetap didominasi oleh ULN berjangka panjang, dengan pangsa mencapai 88,3% dari total ULN. Dalam rangka menjaga agar struktur ULN tetap sehat, Bank Indonesia dan Pemerintah terus memperkuat koordinasi dalam pemantauan perkembangan ULN, didukung oleh penerapan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaannya. Peran ULN juga akan terus dioptimalkan dalam menopang pembiayaan pembangunan dan mendorong pemulihan ekonomi nasional, dengan meminimalisasi risiko yang dapat memengaruhi stabilitas perekonomian," tambah BI.

DJPPR juga memperkirakan bahwa rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) pada tahun depan masih tinggi yaitu 43,1%. Sementara tahun ini diperkirakan 41,4%.

"Proyeksi di 2022 masih di kisaran 43,1% terhadap PDB tapi tentunya kita harapkan bisa turun dibandingkan tahun 2021," Jelas Amir.

Tentunya rasio utang tersebut masih terbilang aman. Bahkan menurut Riko, sesuai perkembangan terkini ada kemungkinan rasio utang terhadap PDB 2021 lebih rendah dari perkiraan.

"Rasio utang terhadap PDB, kita harapkan untuk tahun 2021 ini kalau tertera (di APBN 2021) 41,4%, diharapkan dapat turun karena utang turun," jelasnya.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(chd/chd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Cek Fakta & Data Jokowi Bayar Utang Indonesia Sampai Menyusut

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular