4 Hari Berlari Kencang, Rupiah Akhirnya Terpleset
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah akhirnya melemah tipis melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Senin (27/12) setelah membukukan penguatan 4 hari beruntun. Selama periode positif tersebut, rupiah membukukan penguatan lebih dari 1%. Alhasil, mata uang Garuda diterpa aksi ambil untung (profit taking) yang membuatnya melemah tipis.
Melansir data dari Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan menguat 0,07% ke Rp 14.210/US$, melansir data Refinitiv. Apresiasi bertambah menjadi 0,14% ke Rp 14.200/US$. Namun level tersebut menjadi tembok tebal, rupiah setelahnya berbalik melemah tipis 0,04% ke Rp 14.225/US$.
Sempat mencoba bangkit, sayangnya rupiah harus menutup perdagangan di level tersebut.
Koreksi yang dialami rupiah juga terkait dengan indeks dolar AS yang bangkit pada perdagangan hari ini setelah turun dalam 4 hari beruntun. Sore ini, indeks yang mengukur kekuatan dolar AS tersebut naik tipis 0,05%.
Pergerakan indeks dolar AS tersebut bisa menjadi kabar baik bagi rupiah. Sebab, mengalami pelemahan 4 hari beruntun meski inflasi di Amerika Serikat kembali melesat.
Departemen Perdagangan AS pekan lalu melaporkan inflasi PCE di bulan November melesat 5,7% year-on-year (yoy). Inflasi di bulan November tersebut merupakan pertumbuhan tertinggi sejak Juli 1982.
Sementara inflasi inti PCE tumbuh 4,7%, tertinggi sejak September 1983.
Inflasi PCE merupakan acuan bank sentral AS (The Fed) dalam menetapkan kebijakan moneter. Dengan inflasi yang semakin tinggi maka The Fed kemungkinan akan semakin agresif menaikkan suku bunga.
Peluang kenaikan sebanyak 3 kali di tahun depan jadi semakin besar. Tetapi rupiah nyatanya masih cukup kuat, yang bisa memberikan gambaran pelaku pasar sudah menakar kenaikan sebanyak 3 kali.
Hal tersebut bisa menjadi kabar baik di tahun depan, selama virus corona varian Omicron tidak memicu lockdown yang luas dan pelambatan ekonomi global.
Untuk saat ini, 3 hasil studi menunjukkan virus corona varian Omicron menyebabkan pasien yang terinfeksi harus dirawat di rumah sakit lebih rendah ketimbang varian lainnya. Artinya, pasien yang positif Omicron menunjukkan gejala yang lebih ringan ketimbang varian lainnya.
Studi tersebut dilakukan di Afrika Selatan yang merupakan asal Omicron, di Inggris yang saat ini kasusnya sedang meledak, dan di Skotlandia.
Selain studi yang menunjukkan Omicron tidak menyebabkan gejala yang berat, Kamis lalu Balai Obat dan Makanan (Food and Drug Administration/FDA) AS menyetujui peredaran obat Covid-19 besutan Pfizer. Studi menunjukkan bahwa pil tersebut memiliki efektivitas hingga 89% untuk meringankan gejala Covid-19 sehingga penderita tak perlu mondok di rumah sakit. Pada Kamis, izin serupa diterbitkan bagi Merck.
Sehingga muncul ekspektasi jika Omicron tidak akan memberikan dampak yang signifikan terhadap perekonomian global, sentimen pelaku pasar pun membaik dan mendongkrak kinerja rupiah.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)