Listrik Batu Bara Rekor & Produksi RI Naik, Benaran Kiamat?

Feri Sandria, CNBC Indonesia
Selasa, 21/12/2021 16:25 WIB
Foto: Pemerintah China menutup jalan raya dan sekolah di sejumlah kota karena polusi udara akibat asap batu bara pada Jumat (5/11). REUTERS/Muyu Xu

Jakarta, CNBC Indonesia - Badan Energi Internasional (International Energy Agency/IEA) kembali menyerukan tindakan tegas dan segera bagi pemerintah untuk mengatasi emisi karbon dari batu bara. Hal ini karena tahun ini jumlah listrik yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil tersebut diperkirakan akan mencapai rekor tertinggi.

Dalam laporan tahunannya terkait batu bara, grup yang berbasis di Paris mengatakan listrik global yang dibangkitkan dari pembakaran batu bara akan melonjak sebesar 9 persen pada 2021 ke level tertinggi sepanjang masa 10.350 terawatt-jam, setelah sempat turun di dua tahun ke belakang, pada 2019 dan 2020.

"Batubara adalah sumber utama emisi karbon global terbesar, dan banyaknya pembangkit listrik tenaga batu bara secara historis tahun ini adalah tanda yang mengkhawatirkan tentang seberapa melenceng [pemerintah negara-negara] dunia dalam upayanya untuk menurunkan emisi menuju nol bersih," kata Eksekutif Direktur IEA Fatih Birol.


"Tanpa tindakan tegas dan segera oleh pemerintah untuk mengatasi emisi batu bara - dengan cara yang adil, terjangkau, dan aman bagi mereka yang terkena dampak - kita hanya akan memiliki sedikit peluang, jika memang ada, membatasi pemanasan global hingga 1,5 °C."

Kebangkitan batu bara termal menambah kesulitan yang dihadapi pemerintah dalam mencoba beralih ke bentuk energi lain yang lebih bersih. Bahkan ketika energi terbarukan seperti angin dan matahari berkembang pesat, batu bara tetap masih 'melawan dan berjuang' untuk mengimbangi meningkatnya permintaan listrik.

IEA mengatakan rekor permintaan batu bara dalam pembangkit listrik didorong oleh pemulihan ekonomi dari pandemi. Hal ini menyebabkan permintaan listrik melebihi pasokan dari energi terbarukan dan energi rendah karbon.

Kenaikan harga gas alam yang memecahkan rekor juga membantu bertambahnya konsumsi batu bata, membuatnya lebih murah dan lebih menguntungkan bagi perusahaan utilitas untuk membakar fosil yang tersedimentasi tersebut menjadi listrik.

Permintaan batu bara secara keseluruhan - termasuk penggunaannya dalam pembuatan baja, semen, dan kegiatan industri lainnya - diperkirakan oleh IEA akan tumbuh sebesar 6 persen pada tahun 2021 menjadi lebih dari 8 miliar ton.

Harga batu bara yang telah melonjak tajam tahun ini, menjadi rejeki nomplok bagi Indonesia yang merupakan produsen utama batu bara.

Harga batu bara kontrak berjangka ICE Newcastle mencapai rekor tertinggi di harga US$ 280 per ton pada awal Oktober tahun ini didukung oleh permintaan yang kuat dari China, di mana produksi tidak dapat menutupi seluruh permintaan karena aturan keselamatan ketat terbaru yang memaksa banyak tambang ditutup.

Dihadapkan dengan kekurangan daya dan pemadaman listrik, Beijing kemudian memerintahkan industri batu bara domestiknya untuk "habis-habisan" dan meningkatkan produksi. Keputusan tersebut membawa harga kembali turun di kisaran US$ 150 per ton, tetapi mereka tetap jauh di atas rata-rata lima tahun.

Produksi dalam negeri meningkat tahun depan

Di tengah gempuran dunia terhadap batu bara, bahkan rencana transisi energi dari energi fosil ke energi terbarukan, nyatanya pemerintah Indonesia masih membutuhkan penerimaan dari sumber energi fosil yang dianggap paling kotor ini.

Hal ini ditunjukkan dari target produksi batu bara nasional yang dinaikkan menjadi kisaran 637 juta sampai 664 juta ton pada 2022. Target ini meningkat dibandingkan target produksi 2021 sebesar 625 juta ton. Bahkan, produksi batu bara hingga akhir 2021 ini diperkirakan tidak mencapai target tersebut karena tingginya curah hujan sejak pertengahan tahun.

Target produksi batu bara pada 2022 tersebut diungkapkan oleh Sunindyo Suryo Herdadi, Direktur Pembinaan Program Mineral dan Batu Bara Direktorat Jenderal Minerba Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Dalam siaran pers Selasa (21/12), Sunindyo menyebutkan kebutuhan batu bara untuk domestik diperkirakan naik menjadi 190 juta ton pada 2022 dari target 2021 sebesar 137,5 juta ton. Adapun untuk realisasi tahun ini, hingga 10 Desember tercatat produksi batu bara untuk keperluan domestik baru mencapai 121,3 juta ton atau 88,2% dari target.

Meski produksi batu bara tahun depan meningkat, Presiden Jokowi yang hadir pada konferensi iklim COP26 di Glasgow awal November lalu telah menyampaikan komitmen Indonesia dalam mengatasi perubahan iklim.

Jokowi menyebut, perubahan iklim adalah ancaman besar bagi kemakmuran dan pembangunan global. Maka dari itu, dibutuhkan kerja sama seluruh negara mengatasi hal tersebut.


(fsd/fsd)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Alasan Produsen Batu Bara Ramai-Ramai Incar Bisnis LNG & EBT