Joss! Rupiah Balik Hajar Dolar AS, Bisa Ke Rp 14.300/US$?
Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah sukses berbalik menguat melawan dolar Amerika Serikat (AS) di pertengahan perdagangan Selasa (21/12). Penguatan rupiah juga cukup besar, dan berpeluang berlanjut di sisa perdagangan hari ini.
Melansir data dari Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan stagnan di Rp 14.375/US$. Setelahnya rupiah sempat melemah tipis 0,03% ke Rp 14.380/US$, sebelum akhirnya berbalik ke zona hijau.
Pada pukul 12:00 WIB, rupiah berada di Rp 14.345/US$, menguat 0,21% di pasar spot.
Tanda-tanda rupiah bisa melanjutkan penguatan terlihat dari pergerakannya di pasar non-deliverable forward (NDF) yang lebih kuat siang ini ketimbang beberapa saat sebelum pembukaan perdagangan pagi tadi. Meski demikian, rupiah belum akan menembus Rp 14.300/US$.
Periode | Kurs Pukul 8:54 WIB | Kurs Pukul 11:54 WIB |
1 Pekan | Rp14.373,50 | Rp14.326,6 |
1 Bulan | Rp14.386,00 | Rp14.356,0 |
2 Bulan | Rp14.447,50 | Rp14.400,0 |
3 Bulan | Rp14.477,00 | Rp14.447,0 |
6 Bulan | Rp14.620,00 | Rp14.590,0 |
9 Bulan | Rp14.765,00 | Rp14.732,0 |
1 Tahun | Rp14.945,00 | Rp14.896,1 |
2 Tahun | Rp15.529,20 | Rp15.500,7 |
NDF adalah instrumen yang memperdagangkan mata uang dalam jangka waktu tertentu dengan patokan kurs tertentu pula. Sebelumnya pasar NDF belum ada di Indonesia, hanya tersedia di pusat-pusat keuangan internasional seperti Singapura, Hong Kong, New York, atau London.
Pasar NDF seringkali mempengaruhi psikologis pembentukan harga di pasar spot. Oleh karena itu, kurs di NDF tidak jarang diikuti oleh pasar spot.
Dolar AS memang sedang mengalami tekanan sejak awal pekan kemarin mengikuti penurunan yield obligasi AS (Treasury) setelah stimulus fiskal di Negeri Paman Sam kemungkinan besar tidak akan cair. Stimulus berupa paket investasi tersebut disebut Build Back Better.
Senator Joe Manchin, yang menjadi kunci politik guna meloloskan paket investasi Presiden AS Joe Biden senilai US$ 1,75 triliun atau lebih dari Rp 25.000 triliun (kurs Rp 14.375/US$), menyatakan tidak akan mendukung paket tersebut. Goldman Sachs pun langsung memangkas proyeksi pertumbuhan AS.
"Pelemahan dolar AS terjadi akibat masalah Build Back Better. Stimulus yang lebih sedikit membuat pertumbuhan ekonomi lebih lemah, dan yield Treasury menurun. Hal itu cukup menekan dolar AS," kata Kyle Rodda, analis di IG markets, sebagaimana dilansir Reuters.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)