
Rupiah-IHSG Menguat, Tak Takut Normalisasi Kebijakan The Fed?

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah mampu menguat cukup tajam 0,21% melawan dolar Amerika Serikat (AS) ke Rp 14.340/US$ pada perdagangan Senin (13/12). Padahal ada bank sentral AS (The Fed) yang akan mengumumkan kebijakan moneter di pekan ini.
Tidak sekedar pengumuman, tetapi The Fed diperkirakan akan mempercepat laju tapering atau pengurangan nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE), serta memberikan sinyal kenaikan suku bunga yang agresif di tahun depan.
Hal tersebut seharusnya membuat dolar AS perkasa, nyatanya tidak. Selain itu, bursa saham juga berisiko tertekan, tetapi IHSG justru mampu menguat 0,15% pada hari ini.
Apakah pergerakan tersebut menandakan pelaku pasar sudah siap melihat normalisasi kebijakan moneter The Fed yang lebih cepat?
Masih terlalu dini untuk menyatakan hal tersebut, sebab masih belum diketahui seberapa agresif The Fed akan menormalisasi kebijakannya.
Pasar saat ini memperkirakan The Fed akan meningkatkan tapering hingga menjadi US$ 30 miliar per bulan dari sebelumnya US$ 15 miliar, sehingga QE akan menjadi nol atau selesai dalam waktu 4 sampai 5 bulan.
Selain itu, berdasarkan perangkat FedWatch milik CME Group, pasar juga melihat suku bunga kemungkinan dinaikkan 2 hingga 3 kali di tahun depan.
![]() |
Pasar melihat ada probabilitas sebesar 43% The Fed akan menaikkan suku bunga sebesar 25 basis poin (0,25%) menjadi 0,25% - 0,5% pada Juni 2022.
Kemudian The Fed diperkirakan akan menaikkan suku bunga lagi pada bulan September dan Desember 2022, masing-masing sebesar 25 basis poin.
Selain untuk meredam inflasi, kenaikan suku bunga diperkirakan menimbulkan efek samping yang akan memberikan masalah bagi perekonomian AS. Triliuner Jeffrey Gundlach, yang dijuluki sang "raja obligasi", melihat inflasi di AS tidak akan ke bawah 4% di tahun depan.
Gundlach juga melihat inflasi tersebut bisa mencapai 7% dalam beberapa bulan ke depan.
"Kita kemungkinan akan melihat masalah di perekonomian hanya dengan beberapa kali kenaikan suku bunga The Fed - empat kali kenaikan atau lebih. Jika suku bunga berada di 1% atau 1,5%, maka hal tersebut akan merusak perekonomian," kata Gundlach, sebagaimana diwartakan Kitco, Rabu (8/12).
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Pasar Sudah Price In Kenaikan Suku Bunga di AS, Yield Tinggi Untungkan Indonesia
Melihat pergerakan indeks dolar AS yang melemah pada Jumat pekan lalu, pasar diperkirakan sudah price in atau menakar percepatan tapering hingga kenaikan suku bunga sebanyak 3 kali.
"Melihat data inflasi, banyak yang khawatir akan lebih tinggi lagi. Melihat bagaimana dolar AS bergerak, ada kelegaan inflasi tidak setinggi yang dibayangkan," kata Mazen Issa, ahli strategi mata uang senior di TD Securities sebagaimana dilansir Reuters, Jumat 10/12).
Jumat lalu, Departemen Tenaga Kerja AS melaporkan inflasi berdasarkan consumer price index (CPI) di bulan November tumbuh 6,8% year-on-year (yoy) menjadi yang tertinggi sejak 1982.
Issa juga mengatakan pasar saat ini sudah price in atau menakar kenaikan suku bunga The Fed yang membuat dolar AS malah mengalami koreksi. Sebab inflasi tidak setinggi perkiraan dan The Fed kemungkinan tidak akan agresif dalam menaikkan suku bunga.
Selain itu ketika pasar sudah menakar terjadinya percepatan tapering dan kenaikan suku bunga, aliran modal di pasar obligasi Indonesia tidak lagi keluar dalam jumlah yang besar, bahkan kemungkinan terjadi inflow.
Hal ini terlihat dari pergerakan yield obligasi (Surat Berharga Negara/SNB) tenor yang turun 8,5 basis poin sepanjang pekan lalu.
Pergerakan obligasi berbanding terbalik dengan yield. Ketika harga obligasi naik maka yield akan turun, begitu juga sebaliknya. Saat harga naik, artinya ada aksi beli, dan kemungkinan ada capital inflow.
Selisih yield yang cukup lebar menjadi kunci capital inflow.
The Fed memang mungkin menaikkan suku bunga sebanyak 3 kali, tetapi kenaikan tersebut belum tentu membuat imbal hasil (yield) riil menjadi positif.
Yield obligasi AS (Treasury) tenor 10 tahun saat ini berada di kisaran 1,5%, sementara inflasi jauh lebih tinggi.
Sementara inflasi CPI di AS bulan November sebesar 6,8% yoy, artinya, imbal hasil riil, yakni selisih yield dengan inflasi, masih sangat negatif, sekitar -5,3%.
Sementara untuk Indonesia, dengan yield Surat Berharga Negara (SBN) tenor 10 tahun di kisaran 6,3% dan inflasi di bulan November 1,75% (yoy), riil yield masih positif sekitar 4,5%.
Keunggulan riil yield tersebut bisa membuat aliran modal masuk ke pasar obligasi, dan membuat rupiah perkasa.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Rekor! Inflasi AS Tertinggi Sejak 39 Tahun, RI Kudu Waspada?