Rekor! Inflasi AS Tertinggi Sejak 39 Tahun, RI Kudu Waspada?

Feri Sandria, CNBC Indonesia
11 December 2021 13:45
Biden
Foto: AP/Evan Vucci

Jakarta, CNBC Indonesia - Inflasi AS mencapai level tertinggi dalam nyaris empat dekade pada November, akibat permintaan konsumen yang kuat diperparah dengan kendala pasokan terkait pandemi.

Departemen Tenaga Kerja AS mengatakan indeks harga konsumen-yang mengukur besaran yang dibayarkan konsumen untuk barang dan jasa-naik 6,8% pada November dari bulan yang sama tahun lalu. Kenaikan tersebut adalah laju tercepat sejak 1982, selain itu kenaikan tersebut merupakan yang keenam bulan berturut-turut di mana inflasi mencapai 5%.

Core Price Indeks (CPI), yang tidak menghitung inflasi di kategori makanan dan energi yang volatil, naik 4,9% pada November dari tahun sebelumnya. Itu adalah peningkatan yang lebih tajam dari kenaikan 4,6% pada Oktober, dan juga laju tertinggi sejak 1991 di Amerika Serikat.

Kenaikan harga terbesar adalah untuk kendaraan baru, yang mencapai 11,1% pada bulan November, dengan beberapa harga terkait energi menunjukkan tanda-tanda pelonggaran.

Tren kenaikan harga di bulan November terjadi sebelum munculnya varian Omicron, yang menimbulkan ancaman baru dari pandemi yang sudah memasuki tahun kedua. Kenaikan harga yang tajam ini merupakan hasil dari ekonomi AS yang berkembang pesat di tengah mulai pulihnya ekonomi global dari pandemi dan menyebabkan ketidakseimbangan dalam rantai pasok.

Berkurangnya pasokan di tengah permintaan akan barang dan jasa yang tinggi, menyebabkan harga ikut meroket beberapa bulan terakhir.

Pada basis bulanan, CPI bulan November meningkat 0,8% dari bulan sebelumnya, hampir sama dengan kenaikan 0,9% di bulan Oktober.

Tingginya laju Inflasi AS menjadi sinyal kuat bagi pejabat Federal Reserve segera mempercepat tapering, membuka jalan untuk menaikkan suku bunga tahun depan untuk mengekang inflasi agar terkendali.

Kekurangan pekerja yang tersedia juga mempengaruhi inflasi dan ekonomi secara keseluruhan, mendorong perusahaan untuk menaikkan harga untuk mengimbangi biaya tenaga kerja yang lebih tinggi.

Inflasi juga diperparah oleh perusahaan masih berjuang dan kesusahan untuk mendapatkan pasokan material, meskipun kendala pasokan menunjukkan tanda-tanda mereda sebelum varian Omicron muncul. Kekurangan semikonduktor yang menghambat produksi mobil, merupakan salah satu yang paling nyata.

Para ekonom umumnya melihat tekanan inflasi dari kendala pasokan akan berkurang pada tahun 2022 karena pekerja akan balik dan pabrik diharapkan kembali beroperasi secara lancar, permintaan konsumen untuk barang ikut mereda dengan produksi meningkat.

Inflasi yang saat ini terjadi di Amerika Serikat bisa menjadi isu negatif bagi pasar keuangan dalam negeri. Hal ini dikarenakan laju inflasi tinggi tersebut - ditambah data klaim pengangguran yang turun - merupakan indikasi bahwa ekonomi AS mulai kembali pulih sehingga The Fed akan segera mempercepat pengurangan suntikan stimulus ekonomi. Jika tapering dipercepat oleh The Fed, pasar keuangan RI dapat menyebabkan aliran modal akan keluar dari negara emerging market (pasar negara berkembang) dan kembali ke Negeri Paman Sam.

Berkaca pada kejadian 2013 lalu, ketika The Fed yang dipimpin Ben Bernanke melakukan tapering, muncul spekulasi kenaikan suku bunga The Fed di pasar finansial hingga di tahun 2015.

Menurut catatan CNBC Indonesia, sejak pengumuman tapering Juni 2013 nilai tukar rupiah terus merosot hingga puncak pelemahan pada September 2015.

Di akhir Mei 2013, kurs rupiah berada di level Rp 9.790/US$ sementara pada 29 September 2015 menyentuh level terlemah Rp 14.730/US$, artinya terjadi pelemahan lebih dari 50%. IHSG saat awal taper tantrum juga mengalami aksi jual. Pada periode Mei-September 2013 IHSG jeblok hingga 23%.

Akan tetapi pelaku pasar berkeyakinan tapering yang akan dilakukan oleh The Fed kali ini tidak akan berdampak besar terhadap kondisi perekonomian RI, seperti tahun 2013 lalu.

Direktur PT Syailendra Capital Fajar R. Hidajat, misalnya, mengatakan kepada CNBC Indonesia pada November lalu, efek tapering pada 2021 tidak akan seperti tapering pada 2013 hingga 2015.

Ia mengatakan, tapering pada 2021 akan memberikan upsite. Sementara pada market akan mengalami sedikit volatilitas, terutama pada Semester I-2022.

Senada, Head of Investment Information PT Mirae Asset Sekuritas Indonesia, Roger mengungkapkan, dampak tapering terhadap pasar saham di Indonesia dinilai tidak akan terlalu signifikan.

Pasalnya, investor cenderung lebih mencermati laporan keuangan di kuartal ketiga dan data perekonomian domestik yang mulai menunjukkan pemulihan seperti indeks PMI Indonesia yang berada di level tertinggi 57,2.


(fsd/fsd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Inflasi di Amerika Ngeri, The Fed Terpaksa Kerek Suku Bunga?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular