
Heru Hidayat Dituntut Hukuman Mati, Begini Awal Mula Kasusnya

Jakarta, CNBC Indonesia - Terpidana kasus korupsi PT ASABRI (Persero), Heru Hidayat resmi dijatuhkan hukuman mati oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Selasa (7/12/2021) kemarin.
Pria yang sebelumnya menjabat sebagai Presiden Komisaris PT Trada Alam Minera Tbk (TRAM) ini disebut secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi bersama mantan Direktur Utama Asabri, Adam Damiri dan Sonny Widjaja yang menyebabkan negara mengalami kerugian senilai Rp 22,7 triliun.
Awal mulanya, dalam sidang kasus korupsi lainnya yang juga menjerat Heru Hidayat yakni korupsi PT Asuransi Jiwasraya dan dari penelusuran Bursa Efek Indonesia (BEI), modus yang dilakukan Heru terkait manipulasi perdagangan saham supaya harganya naik sangat signifikan. Tapi secara fundamental perusahaan tersebut tidak memiliki kinerja baik, merugi bahkan tidak layak investasi.
Dalam kasus Jiwasraya, Heru Hidayat telah dituntut pidana penjara seumur hidup dan diharuskan mengembalikan uang pengganti kerugian negara senilai Rp 10,72 triliun.
Sama dengan kasus Jiwasraya, pada skandal korupsi Asabri, komplotan tersebut menempatkan dana ke saham-saham 'gorengan'. Hal ini dilakukan dengan harga yang telah dimanipulasi sehingga bernilai tinggi. Tujuannya adalah untuk menunjukkan bahwa kinerja portofolio investasi Asabri terlihat baik.
Kemudian saham-saham non-likuid itu sendiri dimanipulasi sedemikian rupa agar terlihat ramai transaksi dengan cara melakukan transaksi semu yakni saham dijual dan dibeli oleh pihak yang sama dengan nominee (nama alias) yang berbeda agar tidak terdeteksi oleh regulator.
Tuntutan mati yang diajukan Jaksa kepada Heru Hidayat dalam kasus Asabri salah satunya dikarenakan besarnya kerugian yang ditanggung oleh negara yang juga mengakibatkan begitu banyak orang seperti anggota TNI, Polri dan ASN/PNS di Kemenhan yang menjadi peserta di PT. ASABRI menjadi korban.
Tuntutan hukuman mati ini sendiri merupakan yang pertama kali dalam kasus yang terkait dengan transaksi dan manipulasi di pasar modal Indonesia.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) sebelumnya membeberkan delapan alasan pemberatan pidana dan mengapa Heru Hidayat layak dituntut mati. Adapun alasan pemberatan pidana tersebut yakni:
Pertama, perbuatan terdakwa dalam perkara ini telah berakibat pada kerugian keuangan negara sangat besar seluruhnya sebesar Rp 22.788.566.482.083,00 di mana atribusi dari kerugian keuangan negara tersebut dinikmati terdakwa sebesar Rp.12.643.400.946.226.
Nilai kerugian keuangan negara dan atriubusi yang dinikmati oleh terdakwa sangat jauh di luar nalar kemanusiaan dan sangat mencederai rasa keadilan masyarakat.
Kedua, sebelumnya, terdakwa juga telah dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana korupsi berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) dengan nilai kerugian keuangan negara yang juga sangat fantastis yaitu telah merugikan keuangan sebesar Rp.16.807.283.375.000,00 dengan atribusi yang dinikmati oleh terdakwa seluruhnya sebesar Rp.10.728.783.375.000.,00.
Ketiga, bahwa skema kejahatan yang telah dilakukan oleh terdakwa baik dalam perkara a quo maupun dalam perkara korupsi sebelumnya pada PT Asuransi Jiwasraya, sangat sempurna sebagai kejahatan yang complicated dan sophisticated, karena dilakukan dalam periode waktu sangat panjang dan berulang-ulang, melibatkan banyak skema termasuk kejahatan sindikasi yang menggunakan instrumen pasar modal dan asuransi, menggunakan banyak pihak sebagai nominee dan mengendalikan sejumlah instrumen di dalam sistem pasar modal, menimbulkan korban baik secara langsung dan tidak langsung yang sangat banyak dan bersifat meluas.
Secara langsung, akibat perbuatan terdakwa telah menyebabkan begitu banyak korban anggota TNI, Polri dan ASN/PNS di Kemenhan yang menjadi peserta di PT ASABRI, hal ini juga termasuk dalam perkara korupsi pada PT ASABRI termasuk pula korban-korban yang meluas terhadap ratusan ribu nasabah pemegang polis pada PT Asuransi Jiwasraya yang tentu juga berdampak sangat besar dan serius bagi keluarganya.
Keempat, perbuatan terdakwa telah mencabik-cabik rasa keadilan masyarakat dan telah menghancurkan wibawa negara karena telah menerobos sistem regulasi dan sistem pengawasan di pasar modal dan asuransi dengan sindikat kejahatan yang sangat luar biasa berani, tak pandang bulu, serta tanpa rasa takut yang hadir dalam dirinya dalam memperkaya diri secara melawan hukum.
Kelima, terdakwa tidak memiliki sedikitpun empati dengan beriktikad baik mengembalikan hasil kejahatan yang diperolehnya secara sukarela serta tidak pernah menunjukkan bahwa perbuatan yang dilakukannya adalah salah, bahkan sebaliknya dengan sengaja berlindung pada suatu perisai yang sangat keliru dan tidak bermartabat bahwa transaksi di pasar modal adalah perbuatan perdata yang lazim dan lumrah.
Keenam, terdakwa dalam persidangan tidak menunjukkan rasa bersalah apalagi suatu penyesalan sedikitpun atas pebuatan yang telah dilakukannya, telah jelas mengusik nilai-nilai kemanusiaan kita dan rasa keadilan sebagai bangsa yang sangat menjunjung nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan.
Ketujuh, mengacu pada pengertian umum sebagaimana misalnya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), yang mengartikan "pengulangan" sebagai proses, cara, perbuatan mengulang".
Jika tersebut, maka terdapat 2 (dua) konstruksi perbuatan terdakwa yang relevan dimaknai sebagai pengulangan yaitu:
a) terdakwa telah melakukan dua perbuatan korupsi yaitu dalam perkara korupsi PT AJS dan perkara korupsi PT ASABRI, di mana keduanya bisa dipandang sebagai suatu niat dan objek yang berbeda, meskipun periode peristiwanya bersamaan (PT AJS sejak 2008 s.d. 2018 dan PT ASABRI sejak tahun 2012 s.d. 2019)
b) dalam perkara korupsi pada PT ASABRI dilakukan oleh terdakwa dilakukan sejak periode sejak tahun 2012 s.d. 2019 yang berdasarkan karakteristik perbuatannya dilakukan secara berulang dan terus menerus yaitu pembelian dan penjualan saham yang mengakibatkan kerugian bagi PT ASABRI.
Kedelapan, selanjutnya terkait dengan dakwaan tidak menyebut Pasal 2 ayat (2), menurut penuntut umum frase "Keadaan tertentu" sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2) adalah pemberatan pidana dan bukan sebagai unsur perbuatan, hal ini dicantumkan secara tegas dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (2) dalam UU Nomor 20 Tahun 2001, yaitu "Yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi..."
Dalam Penjelasan Umum UU Nomor 20 tahun 2001 juga dinyatakan bahwa:
"Dalam rangka mencapai tujuan yang lebih efektif untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi, Undang-undang ini memuat ketentuan pidana yang berbeda dengan Undang-undang sebelumnya, yaitu menentukan ancaman pidana minimum khusus, pidana denda yang lebih tinggi, dan ancaman pidana mati yang merupakan Pemberatan Pidana"
Dengan demikian, tidak dicantumkannya Pasal 2 ayat (2) seharusnya tidaklah menjadi soal terhadap dapat diterapkannya pidana mati karena hanya sebagai alasan pemberatan pidana, karena cukup terpenuhinya keadaan-keadaan tertentu yang dimaksud dalam pasal 2 ayat (2), maka penjatuhan pidana mati dapat diterapkan.
Keadaan tertentu sebagaimana dalam Pasal 2 ayat (2) berdasarkan karakteristiknya yang bersifat sangat jahat, maka terhadap fakta-fakta hukum yang berlaku bagi terdakwa sangat tepat dan memenuhi syarat untuk dijatuhi pidana mati.
Maka dengan alasan pertimbangan tersebut, JPU membacakan tuntutan terhadap terdakwa dengan amar putusan sebagai berikut:
- Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melanggar Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan kedua primair Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
- Menghukum terdakwa dengan pidana mati;
- Membayar uang pengganti sebesar Rp 12.643.400.946.226 dengan ketentuan jika terdakwa tidak membayar uang pengganti paling lama dalam waktu 1 bulan sesudah putusan berkekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh Jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.
(chd/chd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Nikmati Rp12,6 T, Heru Hidayat Dituntut Hukuman Mati!
