Ternyata Ini Alasan Emiten Batu Bara Caplok Tambang Mineral
Jakarta, CNBC Indonesia - Minat investor untuk mulai berinvestasi di korporasi yang menerapkan Lingkungan, Sosial, dan Tata Kelola Perusahaan atau Environmental, Social and Corporate Governance (ESG) membuat korporasi juga mulai menyesuaikan portofolio bisnisnya.
Misalnya saja pada emiten di sektor pertambangan batu bara, sejalan dengan komitmen pemerintah untuk terus menurunkan tingkat emisi karbon secara gradual, mulai melakukan ekspansi usaha di luar core business-nya untuk menyesuaikan dengan harapan investor.
Seperti halnya yang dilakukan oleh emiten pertambangan milik Grup Astra, PT United Tractors Tbk (UNTR) yang mulai aktif melakukan akuisisi tambang non-batu bara sebagai strategi pengembangan bisnisnya.
"Akuisisi aset tambang non-coal memang merupakan salah satu strategi pengembangan usaha kami," kata Sara K. Loebis kepada CNBC Indonesia, Senin (29/11/2021).
"[Alasannya karena] Pertimbangan ESG, portofolio kami perlu makin berimbang ke arah non-coal," lanjut dia.
Saat ini aset tambang mineral yang dimiliki United Tractor adalah tambang emas Martabe yang berada di Sumatera Utara. Tambang ini dioperasikan oleh anak usahanya PT Danusa Tambang Nusantara (DTN) dengan kepemilikan 95%.
Sedangkan bisnis utama perusahaan selama ini adalah kontraktor pertambangan PT Pamapersada Nusantara yang dijalankan oleh PT Pamapersada Nusantara. Kontraktor pertambangan ini masih berfokus pada tambang batu bara.
Selanjutnya adalah pertambangan batu bara di bawah anak usahanya PT Tuah Turangga Agung yang mengelola sembilan konsesi di Kalimantan dan Sumatera.
Hal yang sama juga dilakukan emiten pertambangan milik Patrick Walujo dan Glenn Sugita, PT Delta Dunia Makmur Tbk (DOID).
Perusahaan ini berinvestasi di perusahaan pertambangan tembaga Indokal Limited yang merupakan anak usaha Asiamet Resources Limited. Rencananya perusahaan akan mengakuisisi 51% saham di perusahaan ini.
Perseroan sebelumnya telah menandatangani Heads of Agreement dengan Asiamet, yang bersifat tidak mengikat (nonbinding), yang bertujuan untuk menyepakati hak eksklusif Perseroan selama 90 hari sejak tanggal perjanjian untuk menyelesaikan proses uji tuntas.
Bahkan, di luar bisnis pertambangan perusahaan juga melakukan investasi di perusahaan pembangkit listrik tenaga surya, SUN Energy.
Dalam keterbukaan informasinya, perusahaan akan berpartisipasi dalam pendanaan seri A SUN Energy dengan nilai mencapai US$ 3 juta atau kisaran Rp 4,26 miliar dan atau sekitar 1,42% dari nilai pendanaan tersebut.
Investasi yang sama juga dilakukan oleh PT TBS Energi Utama Tbk (TOBA) melalui anak usahanya PT Toba Bara Energi (TBAE). Dari putaran pendanaan tersebut, SUN Energy memperoleh dana US$ 25 juta atau Rp 360 miliar.
Pengembangan bisnis di luar batu bara ini, menurut pengamat pasar modal sekaligus Founder Bageur Stock Andy Wibowo Gunawan mengatakan faktor ESG dewasa ini mulai menjadi pertimbangan emiten untuk mengembangkan bisnisnya sejalan dengan apetite dari investor yang menanamkan modalnya.
"Memang faktor ESG cukup mendominasi dalam keputusan emiten-emiten pertambangan untuk slowly but sure mengembangkan portofolionya ke sektor energi bersih karena banyak investor terutama Private Equity yang memiliki kebijakan investasi ke perusahaan-perusahaan yang lebih ramah lingkungan," terang Andy.
Meski demikian, penggunaan sumber bahan bakar fosil ini juga masih akan memiliki permintaan, namun seiring dengan perkembangan teknologi, nantinya penggunaan batu bara juga akan mulai beralih ke produk turunnya, salah satunya gas alam yang berasal dari baru bara atau Coal to Bed Methane (ABM).
"Selain itu, saya juga melihat Pemerintah Indonesia turut mendukung sektor energi terbarukan dengan berbagai kebijakan yang memudahkan emiten-emiten pertambagan untuk mengembangkan bisnisnya ke energi terbarukan," terangnya.
Sektor pertambangan di luar batu bara memang menjadi daya tarik baru bagi investor asing. Pertambangan lainnya yang juga menjadi primadona adalah tambang nikel dan ini akan membawa dana asing untuk masuk ke dalam negeri untuk masuk ke sektor ini.
Presiden Direktur PT Schroder Investment Management Indonesia (Schroders) Michael Tjandra Tjoa mengatakan potensi investasi makin besar dengan karena adanya new economy dari segi komoditas nikel. Mengingat Indonesia merupakan salah satu negara produsen nikel di dunia.
Nikel akan dilirik oleh investor sebagai energi masa depan seiring dengan juga mulai berkembangnya investasi yang mengedepankan ESG.
"Produsen nikel terbesar ini akan dilihat, dipilih oleh investor karena ini menjadi the future energy karena kita masuk ke ESG maka kebutuhan nikel di kemudian hari sangat diperlukan di dunia. Sehingga semua nanti kita liat bahwa direct investment akan masuk ke Indonesia, masuk dalam sektor ini. Ini akan menjadi suatu hal yang menarik bagi market di Indonesia," kata Michael dalam acara Indonesia Knowledge Forum (IKF) X - 2021, Kamis (7/10/2021)
Di Bursa Efek Indonesia (BEI), saat ini sudah tersedia indeks mengukur kinerja harga dari saham-saham yang memiliki penilaian ESG yang baik, yakni indeks IDX ESG Leaders.
Penilaian emiten yang masuk dalam indeks ini adalah emiten yang menerapkan ESG yang baik dan tidak terlibat pada kontroversi secara signifikan serta memiliki likuiditas transaksi serta kinerja keuangan yang baik. Penilaian konstituen indeks ini dilakukan oleh Sustainalytics, perusahaan asal Belanda yang khusus memberikan penilaian ESG.
Indeks ini diluncurkan pada akhir 2020 lalu dengan harapan bisa memacu praktik terkait lingkungan, sosial dan tata kelola emiten dalam penerapan investasi berkelanjutan di Indonesia.
IDX ESG Leaders ini memuat 30 saham yang memiliki penilaian ESG yang baik. Konstituennya akan dilakukan evaluasi setiap awal Maret dan September untuk evaluasi mayor dan evaluasi minor dilakukan pada Juni dan Desember.
Upaya pengembangan investasi berkelanjutan dan peningkatan praktik ESGini sudah ditunjukkan dengan bergabungnya BEI menjadi anggota United Nations Sustainable Stock Exchange (SSE) Initiative sejak April 2019, dan melalui berbagai inisiatif yang telah dituangkan dalam Rencana Aksi Keuangan Berkelanjutan.
Selain meluncurkan indeks bertema ESG, sebagai bentuk keterlibatan aktif dalam pengembangan investasi berkelanjutan, BEI juga akan mempublikasikan nilai risiko ESG dari Perusahaan Tercatat yang disediakan oleh Sustainalytics.
Penilaian risiko ESG Perusahaan Tercatat ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi perusahaan dalam meningkatkan penerapan ESG.
Menurut data perdagangan terakhir di BEI per 29 November 2021, indeks ini mengalami penurunan 0,31% secara year to date (ytd) di saat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami penguatan 10,52% di periode yang sama.
Namun, kinerja ini tak memiliki selisih yang besar dengan kinerja indeks 45 saham paling likuid di BEI atau LQ45 yang hanya menguat 1,69%.
(mon/hps)