Gandeng Lembaga Swiss, BEI Bakal Dorong Emiten Terapkan ESG

Mentari Puspadini, CNBC Indonesia
16 March 2023 15:46
Pengunjung melintas dan mengamati pergerakan layar elektronik di di Jakarta, Selasa (2/1/2018).
Foto: Muhammad Sabki

Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa Efek Indonesia (BEI) mengumumkan penandatanganann nota kesepahaman (MoU) dengan International Finance Corporation (IFC), didukung Sekretariat Negara Swiss untuk Urusan Ekonomi (SECO) pada hari ini Kamis, (16/3/2023). MoU ini diteken untuk mendorong praktik Environmental, Social and Governance (ESG) di perusahaan terbuka.

Dalam nota kesepahaman ini, BEI dan IFC sepakat untuk bekerja sama melatih para perusahaan tercatat di BEI untuk mengatasi resiko perubahan iklim dan meningkatkan kesetaraan gender. Hal ini agar perusahaan bisa terlihat lebih menarik di mata investor yang berfokus pada aset berkelanjutan.

Kolaborasi ini diawali dengan upacara pembukaan perdagangan BEI dalam rangka "Acara Peluncuran Kolaborasi ESG IFC dan IDX dan Pelatihan Kepemimpinan ESG" yang diselenggarakan pagi ini di Main Hall BEI, Jakarta, Indonesia.

"BEI ingin mengembangkan ekosistem pasar modal Indonesia untuk mengadopsi dan memanfaatkan praktik-praktik berkelanjutan. MoU ini diharapkan dapat memperkuat ekosistem di pasar modal Indonesia di mana bisnis dan keberlanjutan berjalan seiring. Kolaborasi ini akan menjadi platform untuk mendorong ekosistem investasi hijau di Indonesia dan memperkenalkannya kepada penonton internasional", ujar Direktur Keuangan BEI Risa E. Rustam, dalam pembukaannya hari ini.

Peluncuran kolaborasi ini juga menandai dimulainya seri Pengembangan Kapasitas Kepemimpinan ESG. Program ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran akan Standar Kinerja IFC dan Metodologi Tata Kelola Perusahaan.

Program ini juga membantu perusahaan-perusahaan di Indonesia dalam menangani topik-topik penting terkait ESG. Misalnya, tata kelola Lingkungan & Sosial yang efektif dan sistem manajemen risiko, pengungkapan dan transparansi, risiko dan mitigasi iklim, serta gender.

"Dua puluh sekian tahun yang lalu, tidak ada acuan dalam mengelola risiko dalam pembiayaan proyek di negara berkembang, jadi kami membuat seperangkat standar kinerja. Hari ini, apa yang kami pelajari dari pengalaman adalah bahwa keberlanjutan dan profitabilitas bukanlah tujuan bisnis yang terpisah, dan kami melihat investor institusi semakin mengintegrasikan pertimbangan ESG ke dalam keputusan investasi mereka," ujar Penjabat Country Manager IFC untuk Indonesia dan Timor- Leste Randall Riopelle.

Menurut IFC, saat ini negara-negara berkembang masih membutuhkan dana yang untuk pembiayaan ESG agar tercapai SDGs. Setidaknya, negara berkembang masih membutuhkan dana sekitar $2,5 triliun.

Mengingat ada proyeksi tambahan kekurangan sebesar $1,7 triliun akibat COVID-19, IFC memperkirakan terdapat lebih dari $23 triliun peluang investasi pada sektor hijau dan terkait iklim serta mempercepat transisi global menuju ekonomi rendah karbon.

 


(ayh)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Awal Tahun, Bursa Saham Dibuka Melemah

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular