Sepekan Naik 11%, Sayangnya Masa Depan Batu Bara Suram!

Feri Sandria, CNBC Indonesia
28 November 2021 11:15
Aktivitas Bongkar Muat Batu Bara
Foto: Aktivitas Bongkar Muat Batu Bara di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Senin (22/11/2021). (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Setelah anjlok dalam 4 pekan beruntun, harga batu bara akhirnya mulai bangkit dalam dua pekan terakhir. Meski demikian, masa depan batu bara tampaknya tetap akan suram, sebab banyak negara bersama-sama membangun aliasi dan pakta untuk secara perlahan mengurangi penggunaannya karena emisi yang ditimbulkan adalah salah satu pemicu pemanasan global.

Melansir data dari Refinitiv, harga batu bara acuan ICE Newcastle melesat 11,4% ke US$ 176/ton di pekan ini, setelah pekan lalu juga menguat 7,5% ke level US$ 158/ton. Sementara 4 pekan sebelum itu, secara beruntun harganya jeblok nyaris 40%.

Meski mengalami kenaikan dalam dua pekan harga batu bara saat ini masih 37% di bawah rekor tertinggi sepanjang masa US$ 280/ton yang dicapai 5 Oktober lalu.

Masa depan yang suram ditambah dengan intervensi dari China membuat harga batu bara yang sebelumnya terus meroket berbalik nyungsep, sebelum berhasil menguat minggu ini karena faktor teknikal.

Setidaknya ada dua faktor yang menyebabkan lonjakan harga batu bara dalam dua pekan ini. Satu, rebound atas koreksi 51,03% setelah menyentuh titik puncak, di mana harganya jatuh hingga ke US$ 137,1/ton pada 2 November 2021.

kedua, ada harapan permintaan batu bara akan naik, utamanya di China. Sektor properti di Negeri Panda, yang sedang babak belur dihajar krisis utang, mendapat stimulus dari pemerintah. Misalnya, pemerintahan Presiden Xi Jinping memerintahkan perbankan untuk menggenjot penyaluran kredit ke sektor properti untuk mengurangi tekanan arus kas Evergrande cs.

Kebangkitan sektor properti akan meningkatkan kebutuhan terhadap baja. Industri baja adalah industri yang padat energi, dan sumber energi itu datang dari batu bara.

Meski dalam dua pekan harga batu bara mengalami kenaikan signifikan, hal ini tidak mencerminkan prospeknya dalam jangka panjang yang oleh sebagian besar ekonom dan analisĀ dinilaiĀ akan semakin suram.

Suramnya masa depan batu bara terlihat dari Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai perubahan iklim atau yang dikenal COP26 memutuskan "mengurangi secara bertahap" penggunaan batu bara. Duet China dan India membuat keputusan tersebut melunak dibandingkan rencana awal yakni "menghapuskan secara bertahap" penggunaan batu bara.

China dan India merupakan konsumen batu bara terbesar di dunia, sehingga masih memerlukannya untuk memutar roda perekonomian. Selain itu, dua raksasa ekonomi dunia tersebut memperjuangkan nasib negara-negara berkembang yang napasnya di batu-bara.

Setidaknya dalam jangka pendek batu bara jadi jalan utama bagi negara berkembang menuju pemulihan pasca pandemi. Negara berkembang menguasai kurang lebih 80% total produksi batu bara dunia. Sehingga tidak bisa dengan mudah melepaskan batu bara dari ekonomi negara berkembang.

Meski demikian, misi semua negara sama yakni menghentikan penggunaan batu bara di masa depan. Presiden China, Xi Jinping mengatakan akan mulai mengurangi penggunaan batu bara mulai tahun 2026.

Hal senada juga diungkapkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat memberikan pengarahan kepada komisaris dan direksi PT Pertamina (Persero) dan PT PLN (Persero) di Istana Kepresidenan, Selasa (16/11/2021).

Jokowi menekankan, selama pertemuan di G20 maupun COP26 beberapa waktu lalu, arah sektor energi ke depan sudah bisa ditebak.

"Suatu saat energi fosil, penggunaan mineral fosil itu pada suatu titik akan disetop," kata Jokowi seperti dikutip dari video yang diunggah kanal Youtube Sekretariat Presiden, Sabtu (20/11/2021).

Tebaru, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir ikut angkat bicara terkait masa depan batu bara dan mengatakan penggunaan batu bara akan dihentikan dan diganti dengan Energi Baru Terbarukan (EBT).

"Batu bara nanti stop, enggak boleh lagi karena listrik hijau. Ganti ke matahari, angin, geotermal, dan lain-lain. Tapi batu bara kita sayang kalau tidak bisa diproses lebih jauh," kata dia dalam Orasi Ilmiah 'Globalization and Digitalization: Strategi Bumn Pasca Pandemi', Sabtu (27/11/2021)

Erick menilai, ketika batu bara diproses dalam gasifikasi, akan menghasilkan metanol. Adapun metanol bisa dimanfaatkan sebagai pengganti gas LPG.

"Hari ini kita masih impor metanol. LPG yang sekarang subsidinya sampai Rp 60 triliun. Itu impor. Sampai kapan kita mau impor terus? Sedangkan batu bara kalau diproses gasifikasi jadi DME. Harga DME lebih murah," terang Erick.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular