
The Fed Diyakini Lebih Agresif, Rupiah Surut ke Rp 14.300/US$

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah sepanjang pekan ini konsisten melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) di tengah tingginya inflasi di Negara Adidaya di tengah program pengurangan pembelian obligasi (tapering off).
Mata Uang Garuda berada di level Rp 14.300 per dolar AS pada Jumat (27/11/2021), atau melemah dari posisi penutupan Kamis sebesar 0,22%. Sepanjang pekan, rupiah juga terhitung melemah, yakni sebesar 0,46% (65 poin). Sepekan sebelumnya, kurs rupiah juga melemah, sebesar 0,48%, ke Rp 14.233/dolar AS.
Pelemahan terjadi konsisten selama 5 hari beruntun sepekan ini, dengan posisi stagnan hanya pada Rabu tatkala dolar AS menguat berkat kabar positif dari data klaim tunjangan pengangguran sepekan di angka 199.000, atau terendah lebih dari 50 tahun. Pertumbuhan ekonomi kuartal III-2021 juga direvisi naik menjadi 2,1%.
Akibatnya, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah tenor 10 tahun naik menjadi 1,68% hari ini, dari posisi pekan lalu 1,55%. Kenaikan imbal hasil mengindikasikan penurunan harga di pasar karena aksi jual dan secara bersamaan membuat ekspektasi kupon obligasi lebih tinggi ke depan. Hal ini akan memicu aksi beli obligasi pemerintah AS sehingga dolar AS menguat.
Penguatan rupiah terjadi lebih karena faktor eksternal, di mana indeks dolar AS, yang merekam kinerja Green Back terhadap mata uang mitra dagang utama Negara Adidaya tersebut menguat dari level 95 pekan lalu menjadi 96 pekan ini.
Penguatan dolar AS terjadi di tengah meningkatnya spekulasi bahwa bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) akan menormalisasi kebijakan moneter lebih cepat. Sejak pekan lalu, beberapa pejabat The Fed menyuarakan untuk mempercepat laju tapering yang sudah dimulai bulan ini.
Wacana kenaikan suku bunga lebih awal juga dilontarkan guna meredam kenaikan inflasi yang berada di level tertinggi dalam 30 tahun terakhir. Pelaku pasar kini melihat probabilitas sebesar 80% atas kemungkinan The Fed menaikkan suku bunga pada Juni 2022, atau lebih cepat dari sebelumnya semester II-2022.
Penaikan suku bunga acuan (Fed Funds Rate) bakal memicu aksi buru kupon obligasi pemerintah AS, yang kian menarik mengikuti tren penguatan imbal hasil (yield) US Treasury di pasar sekunder.
Pemodal global pun cenderung memilih surat berharga milik negara Adidaya tersebut, ketimbang instrumen serupa di negara berkembang yang selisih imbal hasilnya (spread) kian mengecil, tetapi menjadi kurang menarik karena premi risiko yang masih tinggi.
Perpindahan alokasi dari negara berkembang ke negara maju ini bakal menekan mata uang di negara berkembang, termasuk rupiah.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ags/ags)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Penutupan Pasar: Rupiah Tertekan Cuma 5 Poin ke Rp 14.295/US$