Jeblok ke Bawah Rp 10.200, Dolar Australia Makin Murah Nih!
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar dolar Australia jeblok melawan rupiah pada perdagangan Jumat (26/11) hingga ke bawah Rp 10.200/AU$ dan berada di level termurah dalam 17 bulan. Memburuknya sentimen pelaku pasar membuat dolar Australia makin terpuruk.
Melansir data Refintiv, dolar Australia pada hari ini sempat merosot 0,87% ke Rp 10.167,3/AU$ yang merupakan level termurah sejak 17 Juli 2020. Sepanjang bulan ini dolar Australia sudah merosot lebih dari 4,5%.
Dolar Australia merupakan mata uang yang dianggap risk-on. Artinya ketika sentimen pelaku pasar bagus maka dolar Australia akan mendapat sentimen positif. Begitu juga sebaliknya.
Memburuknya sentimen pelaku pasar terlihat dari bursa saham Asia yang nyungsep pagi ini, termasuk Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) juga kembali ke zona merah. Indeks Nikkei Jepang dan Hang Seng Hong Kong merosot masing-masing lebih dari 2%. Sementara IHGS juga jeblok lebih dari 2%.
Sentimen pelaku pasar yang memburuk sebenarnya juga membuat rupiah tertekan, tetapi dolar Australia lebih tertekan lagi. Sebabnya, bank sentralnya (Reserve Bank of Australia/RBA) yang mengesampingkan kemungkinan kenaikan suku bunga di tahun depan.
Pada 2 November lalu ketika RBA mengumumkan menghentikan program yield curve control (YCC), yang mempertahankan imbal hasil (yield) obligasi tenor 3 tahun di kisaran 0,1%.
Kebijakan tersebut ditanggapi sebagai sinyal kenaikan suku bunga tahun depan. Tetapi RBA membantah hal tersebut.
"Data dan proyeksi terbaru tidak menjamin kenaikan suku bunga di tahun 2022. Dewan gubernur masih bersabar," kata Gubernur RBA Philip Lowe, saat pengumuman kebijakan moneter, sebagaimana dilansir Reuters, Selasa (2/11).
Dalam acara Australian Business Economists Webinar pekan lalu Lowe kembali menegaskan pernyataannya yang membuat dolar Australia jeblok, yakni tidak akan menaikkan suku bunga di tahun depan.
"Saya ingin mengulangi apa yang saya katakan dua pekan lalu, yakni, data dan proyeksi terbaru tidak menjamin kenaikan suku bunga di 2022," kata lowe sebagaimana dilansir ABC News, Selasa (16/11).
Lowe mengatakan para anggota dewan RBA masih bersabar, bahkan ada kemungkinan suku bunga tidak dinaikkan hingga 2024.
"Masih sangat mungkin kenaikan suku bunga pertama tidak akan terjadi sebelum 2024" tambahnya.
Saat RBA mengesampingkan peluang kenaikan suku bunga di tahun depan, Fitch Solutions justru memperkirakan Bank Indonesia (BI) justru diperkirakan akan menaikkan suku bunga dua kali di 2022 menjadi 4%.
"Kami percaya bahwa tekanan eksternal, terutama dengan berlanjutnya penguatan dolar AS, akan menguji sikap dovish BI pada tahun 2022," kata Fitch Solutions dalam risetnya.
Dengan perbedaan outlook kebijakan moneter tersebut, selisih yield antara Australia dan Indonesia akan melebar yang memberikan keuntungan bagi rupiah.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)