Pekan Ini, Rupiah Hobinya Melemah Tipis-Tipis!
Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah kembali melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Kamis (25/11). Tetapi seperti kebiasaannya di pekan ini, pelemahannya tipis, yakni 0,07% saja.
Melansir data dari Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan stagnan di Rp 14.285/US$. Tetapi tidak lama langsung melemah hingga 0,21% ke Rp 14.285/US$ yang menjadi level terlemah hari ini.
Di penutupan perdagangan rupiah berada di Rp 14.265/US$. Sepanjang pekan ini rupiah melemah 3 kali, semuanya sebesar 0,07%. Hanya Rabu kemarin Mata Uang Garuda stagnan.
Dolar AS punya banyak "bekingan" yang membuat rupiah sulit menguat, mulai data ekonomi yang bagus, dan inflasi di yang tinggi serta rilis notula rapat kebijakan moneter bank sentral AS (The Fed). Semuanya menguatkan spekulasi pengetatan moneter yang lebih cepat.
Departemen Perdagangan AS kemarin malam melaporkan inflasi yang dilihat dari personal consumption expenditure (PCE) melesat 5% year-on-year (YoY) di bulan Oktober. Rilis tersebut menjadi yang tertinggi sejak November 1990.
Inflasi inti PCE yang tidak memasukkan item energi dan makanan dalam perhitungan tumbuh 4,1% YoY, lebih tinggi dari bulan September 3,6% YoY, dan sesuai dengan prediksi Reuters. Inflasi yang menjadi acuan The Fed dalam menetapkan kebijakan moneter ini berada di level tertinggi sejak Januari 1991.
Sementara itu data ekonomi lain yang dirilis kemarin menunjukkan belanja konsumen di bulan Oktober dilaporkan naik 1,3% dari bulan sebelumya yang naik 0,6%. Belanja konsumen merupakan tulang punggung perekonomian AS, berkontribusi sekitar 70% dari total produk domestik bruto (PDB).
Kemudian klaim tunjangan pengangguran mingguan mengalami penurunan menjadi 199.000 orang yang merupakan level terendah dalam lebih dari 50 tahun terakhir.
Pasca rilis tersebut, perangkat GDPNow milik The Fed Atlanta menunjukkan PDB berpeluang tumbuh 8,6% di kuartal IV tahun ini, lebih tinggi dari proyeksi sebelumnya 8,2%.
Kemudian rilis notula rapat kebijakan moneter The Fed yang menunjukkan para anggota dewan siap menaikkan suku bunga lebih awal jika inflasi terus meningkat.
"Banyak anggota melihat komite pembuat kebijakan moneter harus menyiapkan penyesuaian laju pembelian aset dan menaikkan suku bunga lebih cepat dari yang perkirakan saat ini jika inflasi terus lebih tinggi di atas target bank sentral," tulis notula tersebut, sebagaimana dilansir CNBC International, Rabu (24/11).
Pasca rilis serangkaian data dan notula tersebut, pelaku pasar kini melihat ada probabilitas sebesar 80% The Fed akan menaikkan suku bunga di bulan Juni 2022, lebih cepat dari sebelumnya semester II-2022.
Hal tersebut terlihat dari perangkat FedWatch milik CME Group, dimana ada probabilitas sebesar 19,5% saja The Fed mempertahankan suku bunga di 0% - 0,25%. Sementara probabilitas menaikkan suku bunga lebih dari 80%, yang dibagi menjadi beberapa basis poin kenaikan.
Untuk kenaikan 25 basis poin (0,25%) menjadi 0,25% - 0,5% probabilitasnya paling tinggi, yakni sebesar 43,4%. Kemudian kenaikan 50 basis poin pelauangnya sebesar 30%.
Alhasil, rupiah kembali melemah tipis pekan ini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)