Kurs Dolar Singapura Turun Nyaris 11 Hari Beruntun, Ada apa?
Jakarta, CNBC Indonesia - Singapura hari ini merilis data inflasi yang melesat ke level tertinggi dalam 8 tahun terakhir. Nyatanya, data tersebut belum mampu mendongkrak kinerja dolar Singapura.
Hingga Senin kemarin, dolar Singapura sudah turun dalam 10 dari 11 hari perdagangan melawan rupiah. Penurunan Mata Uang Negeri Merlion ini bahkan masih berlanjut pada perdagangan Hari ini, Selasa (23/11).
Melansir data Refinitiv, dolar Singapura pagi ini sempat turun 0,3% sebelum pulih dan melemah tipis 0,04% ke Rp 10.438.24/SG$ pada pukul 14:09 WIB di pasar spot.
Dolar Singapura belum mampu bangkit meski inflasi tumbuh 3,2% year-on-year (YoY) di bulan Oktober, jauh lebih tinggi dari bulan sebelumnya 2,5%, dan berada di level tertinggi sejak Maret 2013.
Inflasi inti yang tidak memasukkan beberapa item yang volatil naik 1,5% YoY, lebih tinggi dari sebelumnya 1,2%. Inflasi inti tersebut merupakan yang tertinggi sejak Maret 2019.
Inflasi inti tersebut menjadi perhatian Otoritas Moneter Singapura (Monetary Authority of Singapore/MAS), karena dijadikan acuan dalam menetapkan kebijakan moneter.
Seperti diketahui sebelumnya, pada 14 Oktober lalu MAS menaikkan kemiringan (slope) S$NEER (Singapore dollar nominal effective exchange rate) dari sebelumnya di dekat 0%. Sementara lebar (width) dan titik tengah (centre) masih tetap.
Sejak saat itu hingga 5 November lalu dolar Australia menanjak, sebelum berbalik merosot nyaris 11 hari bertuntun.
Slope berfungsi membuat penguatan/penurunan dolar Singapura lebih cepat/lambat. Ketika slope dinaikkan, maka dolar Singapura bisa menguat lebih cepat, begitu juga sebaliknya.
Salah satu pejabat MAS, Ravi Menon, mengatakan otoritas saat ini sedang mengamati tanda-tanda inflasi semakin meningkat dan siap untuk bertindak guna meredamnya.
Untuk diketahui, di Singapura, tidak ada suku bunga acuan, kebijakannya menggunakan S$NEER. Kebijakan moneter, apakah itu longgar atau ketat, dilakukan dengan cara menetapkan kisaran nilai dan nilai tengah dolar Singapura terhadap mata uang negara mitra dagang utama. Kisaran maupun nilai tengah itu tidak diumbar kepada publik.
"Secara keseluruhan, sata akan mengatakan risiko yang dihadapi perekonomian saat ini beralih ke inflasi. Kami akan mengamati dengan seksama risiko inflasi yang semakin tinggi, dan kami siap untuk bertindak," kata Menon dalam wawancara dengan Bloomberg TV, sebagaimana diwartakan The Straits Times, Selasa (2/11).
MAS memprediksi inflasi inti akan terus mengalami kenaikan hingga beberapa kuartal ke depan. Sehingga ada kemungkinan kebijakan moneter akan diketatkan lagi. Tetapi, nyatanya dolar Singapura masih belum mampu menguat melawan rupiah.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)