Tapering? Siapa Takut!

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
19 November 2021 11:35
Ilustrasi Rupiah dan dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Ilustrasi Rupiah dan Dolar AS (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) mencatat surplus pada kuartal III-2021. Bukan sembarang surplus, tetapi menjadi rekor baru.

Bank Indonesia (BI) melaporkan, NPI membukukan surplus US$ 10,69 miliar pada kuartal III-2021. Ini adalah rekor tertinggi sejak kuartal II-2011 atau lebih dari 10 tahun lalu.

"Kinerja NPI tersebut ditopang oleh transaksi berjalan yang mencatat surplus, berbalik dari triwulan sebelumnya yang tercatat defisit, serta surplus transaksi modal dan finansial yang makin meningkat," sebut keterangan tertulis BI, Jumat (19/11/2021).

Ya, biasanya transaksi berjalan atau current account memang mengalami defisit. Indonesia pun terlanjur akrab dengan istilah Current Account Deficit (CAD).

Namun pada kuartal III-2021, tidak ada lagi CAD (setidaknya untuk saat ini). Transaksi berjalan pada kuartal III-2021 mencatat surplus US$ 4,5 miliar atau 1,49% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Jauh membaik ketimbang kuartal sebelumnya yang minus US$ 2 miliar (0,68% PDB) dan menjadi yang tertinggi sejak kuartal IV-2009.

"Kinerja transaksi berjalan terutama dikontribusikan oleh surplus neraca barang yang makin meningkat, didukung oleh kenaikan ekspor non-migas sejalan dengan masih kuatnya permintaan dari negara mitra dagang dan berlanjutnya kenaikan harga komoditas ekspor utama di pasar internasional. Selain itu, defisit neraca jasa tercatat lebih rendah, antara lain disebabkan oleh perbaikan kinerja jasa transportasi yang didukung oleh meningkatnya penerimaan jasa freight sejalan dengan peningkatan aktivitas ekspor. Di sisi lain, defisit neraca pendapatan primer meningkat akibat kenaikan pembayaran imbal hasil investasi langsung yang dipengaruhi oleh perbaikan kinerja korporasi berbasis Sumber Daya Alam (SDA)," lanjut laporan BI.

Harga komoditas memang sangat mendongrak kinerja ekspor Indonesia. Ambil contoh dua komoditas utama andalan ekspor Tanah Air, batu bara dan minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO).

Sepanjang kuartal III-2021, harga CPO meroket 65,08% secara point-to-point. Pada periode yang sama, harga CPO melesat 23,85%.

Dari 'kamar' sebelah, yaitu transaksi modal dan finansial, juga membukukan surplus yang semakin tinggi. Pada kuartal III-2021, transaksi modal dan finansial mencatat surplus sebesar US$ 6,1 miliar (2% PDB), lebih tinggi dari capaian surplus pada kuartal sebelumnya sebesar US$ 1,6 miliar (0,6% PDB).

"Surplus tersebut bersumber dari aliran masuk neto (net inflows) investasi langsung yang tetap terjaga sebesar US$ 3,3 miliar. Investasi lainnya juga mengalami surplus, setelah mengalami defisit pada triwulan sebelumnya, yang dipengaruhi oleh penurunan pembayaran neto pinjaman luar negeri, peningkatan penempatan simpanan non-residen (asing) di dalam negeri, serta tambahan alokasi Special Drawing Rights (SDR). Selain itu, investasi portofolio selama triwulan III 2021 juga mencatat net inflows yaitu sebesar US$ 1,1 miliar, meskipun menurun dari triwulan sebelumnya yang sebesar US$ 4 miliar sejalan dengan ketidakpastian pasar keuangan global yang masih berlangsung," papar keterangan BI.

Halaman Selanjutnya --> Yakinlah, Rupiah Tidak Akan Lemah!

NPI adalah fundamental yang menentukan nasib Indonesia di tengah percaturan ekonomi dunia. Ketika NPI kuat dan sehat, maka ekonomi Indonesia tidak akan mudah 'digoyang' ketika ada guncangan eksternal.

Wa bil khusus, NPI menggambarkan pasokan valas atau devisa di perekonomian nasional. Kala pasokan devisa ini memadai, yang dicerminkan oleh suprlus, maka nilai tukar rupiah bakal lebih stabil.

Lebih khusus lagi yang menentukan arah rupiah adalah transaksi berjalan. Sebab, transaksi berjalan mencerminkan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa. Pasokan devisa dari pos ini lebih berjangka panjang, berkesinambungan, ketimbang dari transaksi modal dan finansial.

Oleh karena itu, Gubernur BI Perry Warjiyo yakin bahwa rupiah bakal stabil, bahkan bisa menguat. Ini karena fundamental rupiah kini lebih kokoh.

"Secara fundamental, semua faktor mendukung pergerakan nilai tukar rupiah yang stabil bahkan apresiasi. Satu, defisit transaksi berjalan tetap rendah. Dua prospek ekonomi yang membaik. Tiga perbedaan yield (imbal hasil) Surat Berharga Negara dan US Treasury Bonds tetap menarik," papar Perry.

Surplus NPI dan transaksi berjalan ini menjadi modal kuat bagi rupiah (dan perekonomian Indonesia pada umumnya) untuk menghadapi tren perubahan arah kebijakan moneter dunia. Bank sentral di berbagai negara, termasuk Amerika Serikat (AS), mulai mengrangi stimulus moneter seiring tekanan inflasi dan pemulihan ekonomi usai 'dibantai' oleh pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19).

Mulai bulan ini, bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) mulai mengurangi pembelian surat berharga. Pengurangan injeksi likuiditas ini sering disebut tapering off.

Pada 2013, The Fed melakukan hal serupa yang membuat perekonomian dunia kalang kabut. Kala itu, fundamental ekonomi Indonesia belum sekuat sekarang sehingga rupiah pun melemah tajam. Sepanjang 2013, rupiah terdepresiasi 26,27% di hadapan dolar AS.

Delapan tahun lalu, NPI membukukan defisit US$ 7,32 miliar, terparah sepanjang sejarah. Sedangkan transaksi berjalan minus 3,19% PDB, juga paling dalam sepanjang sejarah.

Fundamental yang rapuh itu membuat rupiah tidak bisa berbuat banyak. Mata uang Nusantara tidak berdaya saat terjadi 'huru-hara' di pasar keuangan dunia karena tapering.

Namun sekarang situasinya berbeda. Tapering sudah dimulai, tetapi rupiah tetap stabil.

Sejak akhir 2020 hingga kemarin, rupiah hanya melemah 1,32% di hadapan dolar AS. Rupiah jadi salah satu mata uang terbaik di Asia.

Tapering? Siapa takut...

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular