
Kuat Menahan "Amukan" Dolar AS, Rupiah Melemah Tipis Saja

Jakarta, CNBC Indonesia - Dolar Amerika Serikat (AS) sedang kuat-kuatnya, sementara pasar dalam negeri sedang menunggu pengumuman kebijakan moneter Bank Indonesia (BI). Alhasil, rupiah melemah lagi melawan dolar AS pada perdagangan Rabu (17/11), meski tidak besar.
Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan melemah tipis 0,07%. Depresiasi rupiah bertambah menjadi 0,35% ke Rp 14.270/US$.
Di penutupan perdagangan, rupiah berada di Rp 14.240/US$, atau melemah 0,14% di pasar spot.
Pelemahan rupiah tersebut terbilang kecil jika melihat indeks dolar AS yang kemarin melesat melesat 0,52%, dan siang ini sempat melesat lagi 0,34% ke 96,241, yang merupakan level tertinggi sejak Juli 2020 Sebabnya, data penjualan ritel Amerika Serikat yang lebih tinggi dari ekspektasi.
Departemen Perdagangan AS melaporkan penjualan ritel di bulan Oktober tumbuh hingga 1,7%, jauh lebih tinggi dari bulan sebelumnya 0,8% dan lebih tinggi dari ekspektasi Dow Jones sebesar 1,5%.
Sementara itu, penjualan ritel inti yang tidak memasukkan sektor otomotif dalam perhitungan juga tumbuh 1,7%, lebih tinggi dari bulan sebelumnya 0,7%, dan ekspektasi 1%.
Data penjualan ritel tersebut menunjukkan perekonomian Amerika Serikat masih berada pada jalur pemulihan, di tengah inflasi yang tinggi.
Pada Rabu pekan lalu, Departemen Tenaga Kerja AS melaporkan inflasi berdasarkan consumer price index (CPI) bulan Oktober melesat 6,2% year-on-year (YoY), menjadi kenaikan terbesar sejak Desember 1990.
Sementara inflasi CPI inti yang tidak memasukkan sektor makanan dan energi dalam perhitungan tumbuh 4,6%, lebih tinggi dari ekspektasi 4% dan tertinggi sejak Agustus 1991.
Melihat data tersebut, artinya meski inflasi tinggi daya beli masyarakat AS masih belum terganggu. Sehingga risiko stagflasi atau stagnannya pertumbuhan ekonomi dibarengi inflasi tinggi menjadi minim.
Tingginya inflasi tersebut membuat pasar memprediksi bank sentral AS (The Fed) akan menaikkan suku bunga sebanyak 3 kali di tahun depan, setelah tapering selesai.
The Fed mulai melakukan tapering atau pengurangan nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) sebesar US$ 15 miliar per bulan mulai November ini. Dengan nilai QE saat ini US$ 120 miliar/bulan, butuh waktu 8 bulan hingga QE menjadi nol alias selesai. Setelahnya, The Fed diramal akan menaikkan suku bunga.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Pasar Tunggu Pengumuman Kebijakan Moneter BI
Sementara itu gubernur BI, Perry Warjiyo dan kolega mengadakan Rapat Dewan Gubernur (RDG) mulai hari ini hingga besok.
Sejak pandemi penyakit virus corona (Covid-19) melanda, BI sudah memangkas suku bunga sebesar 150 basis poin menjadi 3,5% yang merupakan rekor terendah dalam sejarah.
Hasil polling Reuters menunjukkan BI diperkirakan akan menahan suku bunga, dan baru akan menaikkan sebesar 25 basis poin pada akhir tahun 2022.
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia juga memperkirakan BI 7 Day Reverse Repo Rate tetap bertahan di 3,5.
Dengan inflasi yang rendah dan nilai tukar rupiah yang cenderung stabil meski The Fed sudah melakukan tapering, maka tekanan bagi BI untuk menaikkan suku bunga bisa dikatakan nihil.
Suku bunga rendah masih diperlukan untuk membantu perekonomian Indonesia bangkit lagi setelah melambat di kuartal III-2021 lalu.
Namun, jika melihat ekspektasi kenaikan suku bunga The Fed sebanyak 3 kali, maka selisih yield akan menyempit, dan berisiko memicu capital outflow dari dalam pasar obligasi di dalam negeri, dan bisa menekan rupiah.
Hal tersebut sudah terlihat di bulan ini, capital outflow di pasar obligasi.
Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, terjadi capital outflow dari pasar obligasi sebesar Rp 23 triliun pada periode 1 - 11 November.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ini Penyebab Rupiah Menguat 4 Pekan Beruntun, Terbaik di Asia
