
Neraca Dagang Bisa Surplus 18 Bulan, Rupiah ke Rp 14.100/US$?

Jakarta, CNBCÂ Indonesia -Â Sepanjang pekan lalu rupiah mampu menguat 0,64% melawan dolar AS ke Rp 14.233/US$ berdasarkan data Refinitiv. Laju penguatan rupiah sempat tersendat pasca rilis data inflasi Amerika Serikat.
Departemen Tenaga Kerja AS pada Rabu (10/11/2021) melaporkan inflasi berdasarkan consumer price index (CPI) bulan Oktober melesat 6,2% year-on-year (YoY), menjadi kenaikan terbesar sejak Desember 1990. Sementara inflasi CPI inti yang tidak memasukkan sektor makanan dan energi dalam perhitungan tumbuh 4,6%, lebih tinggi dari ekspektasi 4% dan tertinggi sejak Agustus 1991.
Tingginya inflasi di AS tersebut membuat yield obligasi AS (Treasury) tenor melesat 13 basis poin di hari Rabu. Kenaikan yield tersebut merupakan respon pelaku pasar yang mengantisipasi kemungkinan bank sentral AS (The Fed) menaikkan suku bunga lebih cepat guna meredam inflasi.
Berdasarkan perangkat FedWatch miliki CME Group, pasar kini melihat ada probabilitas The Fed akan menaikkan suku bunga sebanyak 3 kali di tahun depan.
Rupiah yang mampu menguat di hari Jumat (12/11/2021) menjadi sinyal sudah lepas dari tekanan pasca rilis data CPI AS, dan berpeluang melanjutkan penguatan di pekan ini.
Pada hari ini, data neraca dagang Indonesia akan menjadi perhatian. Badan Pusat Statistik (BPS) akan merilis data perdagangan internasional Indonesia periode Oktober 2021.
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan ekspor tumbuh 46,06% dibandingkan Oktober 2020 (year-on-year/yoy). Melambat dibandingkan September yang tumbuh 47,64%.
Sedangkan impor diperkirakan tumbuh 58,35%. Jauh lebih tinggi ketimbang bulan sebelumnya yang tumbuh 40,31%.
Meski impor tumbuh lebih cepat ketimbang ekspor, tetapi neraca perdagangan diperkirakan masih surplus US$ 3,89 miliar. Kalau terwujud, maka neraca perdagangan Indonesia akan mengalami surplus selama 18 bulan beruntun alias 1,5 tahun.
Surplus neraca perdagangan akan sangat membantu kinerja transaksi berjalan. Saat transaksi berjalan semakin sehat, maka nilai tukar rupiah akan lebih stabil.
Bank Indonesia (BI) akan menggelar Rapat Dewan Gubernur (RDG) untuk menentukan suku bunga acuan. Konsensus sementara yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan BI 7 Day Reverse Repo Rate bertahan di 3,5%.
Dengan stabilnya rupiah, dan inflasi yang rendah BI memang tidak memiliki tekanan untuk menaikkan suku bunga. Dengan suku bunga dipertahankan di rekor terendah, diharapkan perekonomian tumbuh lebih tinggi di kuartal IV-2021 setelah melambat di kuartal sebelumnya.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Analisa Teknikal
