Jakarta, CNBC Indonesia - Maskapai penerbangan BUMN, PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA) menelan kerugian bersih senilai US$ 1,33 miliar atau setara dengan Rp 19,01 triliun (kurs Rp 14.300/US$) pada periode laporan keuangan yang berakhir pada 30 September 2021.
Kerugian ini membengkak 25% dari periode yang sama di tahun sebelumnya US$ 1,07 miliar atau Rp 15,30 triliun.
Kinerja keuangan Garuda ini belum tertera di Bursa Efek Indonesia (BEI) tetapi sudah disampaikan dalam dokumen paparan Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo dalam Rapat Kerja Menteri BUMN dengan Komisi VI, Selasa lalu (9/11/2021), saat menjabarkan kondisi keuangan Garuda Indonesia yang dinilai secara teknis dapat dikatakan bangkrut (technically bankrupt).
Total aset yang dimiliki Garuda disebutkan mencapai US$ 6,93 miliar atau sekitar Rp 99,10 triliun, sementara liabilitas (kewajiban, termasuk utang) mencapai US$ 9,76 miliar (Rp 140 triliun). Dengan demikian ada ekuitas negatif US$ 2,8 miliar (Rp 40 triliun).
Manajemen perusahaan, pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya saat ini sedang mencari jalan keluar terkait masa depan terbaik dari maskapai ini.
Kementerian BUMN sudah meminta kepada Kementerian Keuangan untuk mencairkan dana Investasi Pemerintah-Pemulihan Ekonomi Nasional (IP-PEN) senilai Rp 7,5 triliun yang sudah dianggarkan untuk Garuda.
Secara total dana tersebut sebenarnya dianggarkan Rp 8,5 triliun, akan tetapi Rp 1 triliun dikatakan sudah dicairkan pada tahun 2020 lalu.
Untuk itu Kementerian BUMN telah melakukan negosiasi ulang dengan Kemenkeu yang dipimpin Menteri Keuangan Sri Mulyani mengenai parameter pencairan dana tersebut yang berbeda, baik dalam hal skema setoran PEN maupun KPI (key performance index) yang ditargetkan.
Kartika Wirjoatmodjo, menjelaskan bahwa di awal proses restrukturisasi dibutuhkan dana US$ 90 juta atau setara Rp 1,28 triliun (asumsi kurs Rp 14.200/US$) sebagai bentuk jaminan dari pemerintah.
Sedangkan senilai US$ 437 juta atau setara Rp 6,20 triliun dibutuhkan untuk modal baru perusahaan ketika proses restrukturisasi selesai nantinya.
Opsi penyelesaian lain yang juga sedang berusaha ditempuh oleh Kementerian BUMN selaku pemegang saham Garuda adalah proses restrukturisasi utang-utangnya lewat jalur pengadilan yang rencananya akan dilakukan di Inggris menggunakan UK scheme.
NEXT: Daftar Panjang Maskapai yang 'Digilas' Virus Corona
Selain Garuda Indonesia yang saat ini kesusahan dalam melaksanakan bisnis, secara global selama pandemi hampir seluruh maskapai di dunia kinerja dan kondisi keuangannya tertekan, bahkan beberapa di antaranya telah menyatakan bangkrut.
Berikut ini beberapa maskapai besar yang telah memutuskan menyerah melawan pandemi atau sedang berusaha memperbaiki neraca keuangan seperti yang dilakukan Garuda.
Virgin Australia merupakan maskapai terbesar kedua di Australia dan Oceania setelah Qantas dan merupakan yang memiliki operasi terbesar untuk maskapai yang menggunakan nama Virgin.
Maskapai ini secara resmi mengajukan permohonan administrasi sukarela pada 21 April 2020. Pada tanggal 26 Juni 2020, Deloitte yang menangani kasus tersebut mengumumkan bahwa mereka telah setuju untuk menjual Virgin Australia ke perusahaan ekuitas Swasta Amerika, Bain Capital adan telah disetujui oleh kreditur pada 4 September 2020.
Thai Airways yang merupakan maskapai nasional Thailand mengumumkan rencana untuk merestrukturisasi perusahaan di bawah pengadilan kebangkrutan. Akan tetapi dilaporkan The Strait Times, Perdana Menteri Thailand Prayut Chan-o-cha mengumumkan bahwa Pemerintah Thailand, yang memiliki saham mayoritas di maskapai itu, tidak akan mengizinkan maskapai itu untuk menyatakan kebangkrutan secara resmi.
AirAsia X, maskapai penerbangan berbiaya rendah sempat memberhentikan sementara seluruh operasinya. Anak perusahaannya AirAsia Japan bahkan menutup operasi pada 5 Oktober 2020 karena permintaan yang turun.
Philippine Airlines yang merupakan maskapai nasional Filipina telah mengajukan perlindungan kebangkrutan Bab 11 di pengadilan AS pada 3 September 2021. Langkah tersebut telah tercium sejak beberapa waktu lalu, karena perusahaan membutuhkan beberapa bulan untuk bernegosiasi dengan kreditur dan investor untuk mengajukan kebangkrutan yang telah diatur sebelumnya untuk persetujuan pengadilan.
LATAM Airlines Group yang merupakan maskapai terbesar di Amerika Selatan mengajukan kebangkrutan Bab 11 di Amerika Serikat untuk perusahaan dan anak perusahaannya di Chili, AS, Ekuador, Kolombia, dan Peru pada 26 Mei 2020. Pada 17 Juni 2020 LATAM Airlines Group mengumumkan akan menghentikan operasi anak perusahaannya, LATAM Argentina, dengan semua pesawat dikembalikan ke lessor dan semua karyawan segera diberhentikan.
Avianca yang merupakan maskapai nasional Kolombia dan merupakan maskapai penerbangan terbesar kedua di Amerika Latin mengajukan kebangkrutan Bab 11 di New York City dan melikuidasi anak perusahaannya Avianca Peru pada 11 Mei 2020.
Alitalia yang merupakan maskapai nasional Italia berhenti beroperasi pada 15 Oktober 2021 setelah bertahun-tahun mengalami kesulitan keuangan. Operasi dan asetnya kemudian dialihkan ke maskapai negara baru ITA Airways.
South African Airways (SAA) yang merupakan maskapai nasional Afrika Selatan sudah sejak lama diselamatkan pemerintah Afsel dan menerima beberapa miliar rand (mata uang Afsel) bantuan pemerintah pada awal 2020. Mirip dengan Garuda, akibat utang yang menumpuk dan kerugian pendapatan terkait pandemi, banyak yang berkomentar bahwa maskapai itu secara efektif "sudah kolaps" apalagi ketika pemerintah menolak permintaan bantuan lagi sebesar R10 miliar atau setara dengan Rp 9,43 triliun (kurs Rp 9.435/ZAR) pada pertengahan April.
Akan tetapi setelah sekitar 17 bulan berjuang dalam perlindungan kebangkrutan untuk menangani situasi keuangannya, SAA menerima R 7,8 miliar (Rp 7,36 triliun) dari pemerintah dan dapat melanjutkan operasi pada akhir September 2021 dengan armada yang jauh lebih kecil.
Virgin Atlantic mengajukan perlindungan pailit dari kreditur di AS Pada 4 Agustus 2020. Maskapai asal Inggris tersebut mencari perlindungan di bawah pasal 15 dari kode kebangkrutan Amerika Serikat, yang memungkinkan untuk melindungi aset di negara tersebut.
Beberapa maskapai lain juga mengalami kondisi pelik dan akhirnya diakuisisi oleh maskapai yang lebih besar seperti maskapai Air Transit yang berkantor pusar di Montreal, Kanada yang dibeli oleh maskapai nasional Kanada, Air Canada. Pembelian tersebut sebenarnya telah dibicarakan sejak tahun 2019 di harga CA$ 720 juta, akan tetapi angka tersebut turun drastis menjadi CA$180 juta akibat kondisi pandemi.
Hanjin, Induk Korean Air yang merupakan maskapai nasional Korea Selatan, mengumumkan tawaran pengambilalihan maskapai rival Asiana Airlines yang memiliki pangsa pasar domestik 20% dan internasional 25% yang bisnisnya terganggu akibat pandemi. Hanjim menawarkan 1,81 triliun won atau setara dengan Rp 2,18 triliun (kurs Rp 12/won) pada bulan November tahun lalu.
Pada Maret 2021, Korean Air mengumumkan akan menunda M&A dengan Asiana Airlines karena penundaan persetujuan antimonopoli dari Pemerintah dan enam otoritas asing (Amerika Serikat, Cina, Jepang, Vietnam, Taiwan, dan Thailand).
TIM RISET CNBC INDONESIA