Bukan Tapering, Musuh Rupiah Yang Lebih "Ngeri" Segera Tiba!
Jakarta, CNBC Indonesia - Pengumuman kebijakan moneter bank sentral Amerika Serikat (AS) atau yang dikenal dengan Federal Reserve (The Fed) menjadi momen yang paling ditunggu di akhir tahun ini. Maklum saja, The Fed mengumumkan tapering yang pernah menjadi kabar sangat buruk di tahun 2013.
Di tahun itu, pasar finansial bergejolak hebat, capital outflow terjadi di negara emerging market, mata uang selain dolar AS rontok, indeks saham hingga aset safe haven seperti emas berguguran. Kejadian tersebut taper tantrum.
Rupiah menjadi salah satu yang kena dampak hebat, terus mengalami pelemahan hingga tahun 2015 dengan persentase hingga 50%.
Maka wajar pengumuman The Fed Kamis (4/11) dini hari waktu Indonesia atau Rabu waktu Amerika Serikat sangat dinanti.
Sesuai prediksi pasar, The Fed mengumumkan tapering atau pengurangan nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) senilai US$ 15 miliar setiap bulannya, dan dimulai November ini.
Rinciannya, sebesar US$ 10 miliar untuk pembelian obligasi (Treasury) yang saat ini senilai US$ 80 miliar per bulan, dan US$ 5 miliar untuk pembelian efek beragun aset yang saat ini sebesar US$ 40 miliar per bulan.
Pasar bisa tenang, taper tantrum tidak terjadi. Malah pengumuman tapering disambut baik, bursa saham AS melesat mencetak rekor tertinggi sepanjang masa, dan menjalar ke bursa Asia dan Eropa.
Dari pasar valuta asing (valas), rupiah memang mengalami pelemahan pada hari ini, tetapi masih dalam batas wajar sebesar 0,28% ke Rp 14.335/US$.
Namun ke depannya bukan berarti rupiah bebas dari tekanan. Musuh yang lebih "mengerikan" bagi rupiah akan segera tiba, yakni kenaikan suku bunga The Fed.
Mayoritas analis yang disurvei Reuters pada periode 29 Oktober - 2 November memprediksi mata uang emerging market akan melemah di tahun depan, atau yang terbaik bergerak sideways atau mendatar.
Para analis tersebut melihat harga komoditas yang meroket bisa memicu kenaikan inflasi lagi yang sudah sangat tinggi dan membuat bank sentral, termasuk The Fed Menaikkan suku bunga.
"Bagi mata uang emerging market, yang terburuk masih belum tiba, sebab tantangan pelambatan pertumbuhan ekonomi dan tingginya inflasi masih akan ada di 2022, sementara yield obligasi AS (Treasury) tenor 10 tahun diperkirakan akan terus menanjak di tahun depan," kata Phoenix Kalen, kepala riset emerging market Societe Generale, sebagaimana diwartakan Reuters, Rabu (3/11).
Terus menanjaknya yield Treasury merupakan respon pasar terhadap kemungkinan The Fed menaikkan suku bunga di tahun depan.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> The Fed Bisa Naikkan Suku Bunga 2 Kali Tahun Depan
(pap/pap)