Jakarta, CNBCÂ Indonesia -Â Rupiah kembali melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Kamis (4/11) hingga menyentuh level terlemah dalam lebih dari dua bulan terakhir. Pengumuman kebijakan moneter bank sentral AS (The Fed) menjadi penggerak utama pasar valuta asing (valas) pada hari ini.
Melansir data Refinitiv, rupiah sempat jeblok hingga 0,35% ke Rp 14.345/US$, level tersebut merupakan yang terlemah sejak 30 Agustus lalu.
Rupiah bukannya tanpa perlawanan, di awal perdagangan rupiah sempat menguat 0,56% ke Rp 14.215/US$, tetapi hanya sebentar saja sebelum tertahan di zona merah sepanjang perdagangan.
Di penutupan, rupiah melemah 0,28% ke Rp 14.335/US$ di pasar spot. Rupiah kini sudah melemah 4 hari bertuntun dengan total 1,27%.
Dini hari tadi, The Fed mengumumkan tapering sesuai dengan prediksi pasar yakni sebesar US$ 15 miliar setiap bulannya dari saat ini US$ 120 miliar per bulan.
Selain itu, The Fed juga masih menegaskan tingginya inflasi di AS hanya bersifat sementara, yang menjadi indikasi suku bunga baru akan dinaikkan pada tahun 2023, tidak di tahun depan. Alhasil pasca pengumuman tersebut indeks dolar AS merosot 0,25% ke 93,852.
Dengan demikian, tapering The Fed kali ini tidak memicu gejolak di pasar seperti tahun 2013 atau yang dikenal dengan taper tantrum. Saat itu, nilai tukar rupiah merosot tajam. Sementara pada hari ini, meski rupiah melemah tetapi masih dalam batas yang wajar.
Artinya, The Fed sukses meredam taper tantrum.
Salah satu kunci kesuksesan The Fed meredam terjadinya taper tantrum yakni komunikasi yang baik dengan pasar. Powell sejak awal tahun ini sudah memberikan sinyal akan melakukan tapering, sehingga pasar sudah bersiap jauh-jauh hari. Pergerakan semua aset sudah memperhitungkan terjadinya tapering.
Berbeda dengan 2013, pasar dibuat kaget dengan keputusan The Fed yang akhirnya memicu capital outflow dari negara emerging market, hingga terjadi taper tantrum.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Tapering Sudah Tak Penting, Rupiah Diprediksi Menguat
Bank Indonesia (BI) menyebut pelemahan rupiah hanya bersifat sementara, dan pelaku pasar tidak perlu cemas berlebihan.
Hal ini disampaikan oleh Kepala Departemen Pengelolaan Moneter BI, Hariyadi Ramelan kepada CNBC Indonesia, Kamis (4/11/2021).
"Situasi pelemahan diperkirakan temporer seiring wait and see kebijakan moneter negara maju. Stabilitas nilai tukar rupiah diyakini tetap terjaga ditopang kondisi fundamental yang kuat dan attractiveness aset keuangan domestik yang relatif tinggi dibandingkan emerging market lainnya," jelasnya.
"Penyebab pelemahan nilai tukar dipengaruhi antisipasi FOMC dan MPC BoE yang diyakini akan mengurangi stimulus dan mulai menormalisasi kebijakan moneternya," jelasnya.
Kondisi tersebut direspons dengan mengalirnya dana keluar Indonesia, khususnya di aset keuangan pada surat berharga negara (SBN). Meski demikian, Hariyadi mengungkapkan hal tersebut masih cukup baik dibandingkan dengan negara berkembang lainnya yang alami pelemahan nilai tukar lebih dalam.
Sementara itu, ekonom dari Trimegah Sekuritas, Fakhrul Fulvian, mengatakan isu tapering tidak penting lagi bagi aset-aset Indonesia. Yang paling penting saat ini dikatakan adalah stabilnya harga komoditas, dan memprediksi rupiah akan menguat di sisa tahun ini.
"Untuk aset-aset Indonesia, kami melihat tapering sudah tidak penting lagi. Stabilitas pasar komoditas menjadi yang paling penting saat ini, Kami mempertahankan proyeksi yield obligasi tenor 10 tahun akan mencapai 5,8% dan rupiah ke Rp 14.000/US$ di tahun ini," kata Fakhrul.
Harga komoditas memang meroket belakangan ini. Dua komoditas ekspor utama Indonesia, minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan batu bara melesat ke rekor tertinggi sepanjang masa. CPO saat ini masih berada di dekat rekor tertinggi sepanjang masa, kisaran 5.300 ringgit per ton, dan sepanjang tahun ini melesat lebih dari 40%.
Sementara itu baru bara sempat meroket lebih dari 240% dan mencapai rekor tertinggi sepanjang masa US$ 280/ton pada 5 Oktober lalu.
Tetapi setelahnya, harga batu bara menjadi sorotan. Sejak mencapai rekor tertinggi sepanjang tersebut, harganya sudah jeblok lebih dari 51% hingga Selasa lalu.
Namun, pada perdagangan Rabu kemarin, harga batu bara acuan ICE Newcastle Australia untuk kontrak 2 bulan ke depan sukses melesat 14,33% ke US$ 156,75/ton.
Sebelumnya kenaikan harga CPO dan Batu bara membuat neraca perdagangan Indonesia bisa mencatat surplus hingga 17 bulan beruntun, pendapatan pajak negara juga melonjak. Sehingga stabilitas harga batu bara menjadi penting, agar bisa mendongkrak kinerja rupiah.
TIM RISET CNBC INDONESIA