
Semua Bakal Digital, Begini Masa Depan Perbankan RI

Jakarta, CNBC Indonesia - Istilah 'bank digital' menjadi perbincangan hangat sepanjang tahun ini. Narasi tersebut bahkan membuat harga saham-saham bank mini (dengan modal inti di bawah Rp 5 triliun) yang ingin go digital sempat melambung tinggi diborong oleh investor pasar modal RI.
Bila menilik gambaran secara luas, dampak revolusi industri 4.0 yang menandai transformasi digital--dengan teknologi disruptif macam artificial intelligence, cloud computing, blockchain, hingga biometrics--saat ini turut mempengaruhi bisnis perbankan.
Salah satu dampak yang paling kentara adalah soal pemanfaatan data untuk meningkatkan kualitas produk. Istilah "data is the new oil" atau data sebagai minyak baru, yang diperkenalkan oleh matematikawan dan pebisnis data science asal Britania Raya Clive Humby pada 2006 silam, masih menemukan gemanya hingga saat ini.
Artinya, data yang diolah oleh sistem pemrograman komputer tertentu (analisis big data, misalnya) dapat dianggap sebagai minyak baru bagi ekonomi digital/internet hari ini.
Dalam konteks perbankan, pertukaran data akan semakin jamak dilakukan seiring perkembangan open banking dengan memanfaatkan teknologi API (Application Programming Interface). Secara sederhana, teknologi API adalah sebuah interface (antarmuka, tampilan visual) dalam suatu software yang dapat menghubungkan aplikasi satu dengan lainnya.
Singkatnya, ke depan, data dapat digunakan sebagai aset bank untuk mengembangkan semacam analisis prediktif dalam upaya peningkatan produk dan layanan keuangan.
Selain soal penggunaan data, dampak revolusi industri 4.0 bagi perbankan juga mencakup perubahan ekspektasi konsumen, jenis kemitraan atau kolaborasi baru dengan ekosistem ekonomi digital, hingga perubahan model bisnis dan teknologi.
Seiring dengan berkembangnya teknologi digital di era revolusi industri 4.0 ini, pagebluk Covid-19 yang dimulai sejak tahun lalu turut mendorong percepatan transformasi digital perbankan.
Pandemi virus Corona yang disertai pembatasan mobilisasi orang atau aktivitas fisik memaksa masyarakat harus beradaptasi dan perlahan melakukan transaksi ekonomi melalui platform daring (dalam jaringan/online) atau digital.
Mengacu pada data Inventure (2020), yang dikutip dalam buku Cetak Biru Transformasi Digital Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang baru diterbitkan, salah satu dampak yang terlihat adalah perubahan transaksi perbankan selama pandemi.
Transaksi-transaksi yang awalnya banyak dilakukan di kantor cabang saat ini dilakukan secara digital atau online melalui mobile banking, internet banking, ataupun call center yang digerakkan oleh artificial intelligence.
Seiring dengan itu, terdapat tren bank yang terus menutup jaringan kantornya. (Grafik di bawah).
Kemudian, pagebluk juga mendorong mendorong konsumen mengurangi transaksi tunai (cash).
Menurut catatan OJK, sebelum pandemi, tren transaksi ke arah cashless transaction atau transaksi non-tunai ini memang sudah meningkat. Akan tetapi pandemi Covid-19 mempercepat proses tersebut dengan alasan untuk mengurangi potensi penularan virus.
Ini terlihat dari tren peningkatan penggunaan layanan perbankan digital selama pandemi Covid-19. (Grafik di bawah ini).
Melihat fenomena tren digitalisasi di atas, OJK akhirnya menerbitkan Cetak Biru Transformasi Digital Perbankan pada akhir Oktober 2021.
Cetak biru tersebut berfokus pada 5 elemen utama yang akan memberikan kebijakan digitalisasi untuk perbankan, yakni soal pedoman implementasi data, teknologi, manajemen risiko, kolaborasi, dan tatanan institusi pada industri perbankan.
Saat ini kita sedang menyaksikan transisi dari perbankan tradisional--yang dicerminkan salah satunya dengan rantai nilai yang terintegrasi secara vertikal, asset heavy, kaku--menuju bank era baru (new-age banks), yang benar-benar terintegrasi dengan digital dan berbasis open platform.
Mengutip OJK, dalam hal ini, bank era baru atau bank digital ditandai dengan struktur organisasi yang ramping dan agile serta memiliki kapabilitas digital yang lebih maju (advanced digital capabilities).
Kemudian, struktur organisasi yang lebih ramping dan agile lebih menitikberatkan pada kolaborasi dan integrasi dengan pihak lain seperti memiliki komunitas marketplace yang besar dan berorientasi pada konsumen.
Lebih lanjut, advanced digital capabilities menitikberatkan pada penggunaan teknologi yang update dan agile dengan scalability yang tinggi, serta model bisnis yang berbasis data dengan proses yang sederhana dan terotomasi dengan bertopang open-platform.
Lalu, bagaimana sebenarnya prospek dan peluang perbankan di era digitalisasi ke depan?
Menyitir penjelasan OJK dalam Cetak Biru Bank Digital, terdapat sejumlah peluang digital bagi perbankan di era revolusi industri 4.0 ini.
Pertama, soal potensi demografis. Indonesia merupakan negara dengan populasi penduduk terbesar keempat di dunia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020, saat ini, lebih dari 70% populasi penduduk Indonesia berada di rentang usia produktif (15 hingga 64 tahun).
Secara lebih rinci, struktur demografi Indonesia didominasi oleh Generasi Z (perkiraan usia sekarang 8-23 tahun), Generasi Milenial (24-39 tahun), dan Generasi X (40-55 tahun) sehingga memiliki segmen konsumen paling prospektif.
Nah, dominasi ketiga generasi tersebut--yang bisa dikatakan generasi melek digital--merupakan peluang emas bagi bank bertransformasi menjadi bank digital.
Kedua, potensi ekonomi digital RI yang kian tumbuh. Menurut Bain, Google, dan Temasek (2020), Indonesia berpeluang menjadi negara dengan perkembangan ekonomi digital terbesar di kawasan Asia Tenggara.
Nilai transaksi ekonomi digital Indonesia merupakan yang tertinggi di kawasan ASEAN, yakni mencapai US$44 miliar. Nilai ekonomi digital RI diprediksi akan mencapai US$124 miliar pada tahun 2025. (Grafik di bawah ini).
Ketiga, potensi penetrasi penggunaan internet. Menurut data We Are Social dan Hootsuite (2021), penetrasi pengguna internet di Indonesia telah mencapai 202,6 juta jiwa atau 73,7% pada Januari 2021. Angka ini meningkat 15,5% dari Januari 2020.
Data tersebut menunjukkan, gelombang digitalisasi terus berkembang di RI yang tercermin dari semakin tingginya tingkat pemanfaatan dan penggunaan internet.
Nah, OJK mencatat, potensi ini merupakan peluang yang menjanjikan bagi para pelaku bisnis digital untuk menciptakan produk dan layanan berbasis teknologi informasi.
Keempat, mengenai populasi masyarakat yang belum punya rekening bank (unbanked) yang masih tinggi.
Berdasarkan hasil riset Bain, Google, dan Temasek (2019), sebagian besar masyarakat Indonesia belum memiliki rekening di bank dan memiliki keterbatasan akses terhadap layanan keuangan (underbanked) dengan jumlah masing-masing mencapai 92 juta jiwa dan 47 juta jiwa.
Angka ini merupakan yang terbesar di Kawasan ASEAN. (Grafik di bawah ini).
Adapun, jumlah masyarakat yang telah memiliki rekening di bank (banked) baru mencapai 42 juta jiwa.
Seperti telah disinggung di atas, dengan dominasi generasi Z, millennial, dan X saat ini, maka kesenjangan yang cukup tinggi antara banked dan underbanked/unbanked ini berpotensi menjadi semacam ceruk yang prospektif bagi perbankan untuk mengubah strategi pemasaran dari konvensional menjadi digital.
Kelima, soal perilaku digital masyarakat yang terbilang semakin intens.
Sebagai gambaran kepemilikan gawai (gadget) seperti mobile phone, smartphone, laptop, tablet, dan smartwatch menjadi salah satu indikator kesiapan masyarakat untuk beralih ke saluran digital.
Menurut laporan We Are Social dan Hootsuite (2021), pengguna internet yang memiliki mobile phone di Indonesia telah mencapai 98,3%, adapun persentase pengguna internet yang memiliki gawai lainnya seperti laptop, tablet, dan smartwatch masing-masing sebesar 74,7%, 18,5%, dan 13,3%.
OJK menjelaskan, digitalisasi perbankan di Indonesia juga didorong oleh peningkatan penetrasi internet dan penggunaan gawai di masyarakat yang memungkinkan semakin banyak masyarakat mengakses aplikasi daring dalam sehari-hari, seperti aplikasi bertukar pesan (chatting), media sosial, aplikasi belanja online (shopping apps), hingga aplikasi perbankan (banking apps).
Mengacu pada data We Are Social dan Hootsuite (2021), sebagian besar pengguna internet berusia antara 16 hingga 64 tahun mengakses aplikasi chatting, media sosial, dan aplikasi belanja online dengan persentase di atas 90%.
Sementara, penggunaan banking apps baru sebesar 39,2%. Kendati demikian, angka ini meningkat dari tahun 2020 yang hanya sebesar 33%. Dus, peningkatan ini menunjukkan bahwa semakin banyak pengguna internet yang mulai beralih menggunakan banking apps dalam bertransaksi keuangan.
Berkaitan dengan itu, potensi digital perilaku digital masyarakat turut mendorong peningkatan tren yang tercermin dari tren kenaikan transaksi e-commerce (e-niaga), digital banking, dan uang elektronik dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir (Grafik di bawah ini).
Nah, berdasarkan pemaparan mengenai potensi perbankan di era internet alias digital saat ini, menarik untuk dinantikan manuver-manuver apa yang akan dilakukan perbankan RI dalam memanfaatkan peluang emas tersebut.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(adf/adf)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article OJK Rilis Cetak Biru Transformasi Digital Bank RI, Cek Isinya
