
Rupiah Bisa Tembus Rp 14.000/US$ di November, Ini Syaratnya!

Jakarta, CNBC Indonesia - Pada bulan Oktober lalu, rupiah menjadi mata uang terbaik kedua di Asia dengan penguatan 1%. Rupiah hanya kalah dari mata uang tetangga, ringgit Malaysia yang menguat 1,10%.
Namun memasuki bulan November, rupiah justru terpuruk. Awal pekan kemarin, rupiah merosot 0,56% dan pada perdagangan hari ini, Selasa (2/11) turun lagi meski tipis 0,04% ke Rp 14.250/US$.
Salah satu pemicu penguatan rupiah pada bulan lalu yakni meroketnya harga batu bara dan minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO).
Batu bara dan CPO merupakan komoditas ekspor utama Indonesia, Kenaikan harganya membuat neraca perdagangan mencatat surplus, dan pendapatan pajak negara melonjak, sehingga memberikan dampak positif ke rupiah.
Harga batu bara acuan Ice Newcastle Australia untuk kontrak 2 bulan ke depan mencatat mencetak rekor tertinggi sepanjang masa US$ 280/ton pada 5 Oktober lalu.
Sejak akhir 2020 hingga ke rekor tersebut, total harga batu bara meroket lebih dari 240%. Sementara harga CP di Bursa Derivatif Malaysia melesat sekitar 40% ke atas 5.300 ringgit per ton.
Harga CPO saat ini masih stabil di dekat rekor tertinggi sepanjang masa, tetapi tidak dengan batu bara yang harganya kacau balau.
Kemarin, harga batu bara acuan Ice Newcastle Australia untuk kontrak dua bulan ke depan ambrol 10,26% di US$ 139/ton.
Jika dilihat dari rekor tertinggi sepanjang masa, harga batu bara sudah ambrol lebih dari 50%!
Alhasil, salah satu tenaga rupiah untuk menguat menjadi lenyap.
Selain itu pelaku pasar saat ini menanti pengumuman kebijakan moneter bank sentral AS (The Fed) pada Kamis (2/11) dini hari waktu Indonesia.
Jumat lalu, rilis data inflasi AS berdasarkan personal consumption expenditure (PCE) yang kembali menanjak membuat rupiah terpuruk kemarin, sebab The Fed diperkirakan lebih agresif dalam melakukan tapering atau pengurangan nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE).
Departemen Tenaga Kerja AS kemarin melaporkan inflasi PCE tumbuh 4,4% year-on-year (YoY) di bulan September, menjadi yang tertinggi sejak tahun 1991, dan naik dari bulan sebelumnya 4,3% YoY.
Kemudian inflasi inti PCE tumbuh 3,6% YoY, sama dengan pertumbuhan bulan Agustus, tetapi juga berada di level tertinggi dalam 30 tahun terakhir.
Inflasi PCE merupakan acuan The Fed dalam menetapkan kebijakan moneter. Inflasi PCE yang terus meningkat membuat The Fed membuat The Fed kemungkinan lebih agresif dalam melakukan tapering, bahkan bisa jadi akan menaikkan suku bunga di tahun depan.
Mayoritas anggota dewan The Fed memang melihat suku bunga bisa naik di tahun 2022, dan bisa menjadi mimpi buruk bagi rupiah.
"Anda melihat pergerakan besar (indeks dolar AS) di hari Jumat akibat data PCE dan Anda melihat sedikit kemunduran saat ini," kata Joseph Trevisani, analis di FXStreet.com.
Trevisani juga mengatakan tidak ada yang tahun pasti apa yang akan dilakukan The Fed, sehingga kemana arah dolar AS masih belum jelas.
The Fed hampir pasti akan mengumumkan tapering, tetapi seberapa agresif masih belum diketahui. Pasar saat ini memprediksi tapering akan sebesar US$ 15 miliar setiap bulan dari level saat ini US$ 120 miliar per bulan. Sehingga perlu waktu 8 bulan hingga QE menjadi nol atau selesai.
Pasar sebenarnya sudah menakar akan terjadinya tapering, dan rupiah juga siap. Sebab kondisi fundamental dalam negeri yang jauh lebih bagus ketimbang 2013, ketika tapering membuat rupiah terpuruk.
Meski demikian, jika The Fed agresif dalam melakukan tapering, spekulasi The Fed akan menaikkan suku bunga di tahun depan akan menguat. Hal ini yang bisa membuat rupiah terpukul.
Artinya, rupiah sebenarnya punya peluang menguat di bulan ini, dengan syarat The Fed tidak agresif dalam melakukan tapering. Peluang penguatan akan lebih besar jika harga batu bara bisa stabil.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Secara Teknikal, Rupiah Tidak Boleh Lewati Rp 14.300/US$
