Analisis

Rupiah Bisa Tembus Rp 14.000/US$ di November, Ini Syaratnya!

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
02 November 2021 17:25
Uang Edisi Khusus Kemerdekaan RI ke 75 (Tangkapan Layar Youtube Bank Indonesia)
Foto: Uang Edisi Khusus Kemerdekaan RI ke 75 (Tangkapan Layar Youtube Bank Indonesia)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pada bulan Oktober lalu, rupiah menjadi mata uang terbaik kedua di Asia dengan penguatan 1%. Rupiah hanya kalah dari mata uang tetangga, ringgit Malaysia yang menguat 1,10%.

Namun memasuki bulan November, rupiah justru terpuruk. Awal pekan kemarin, rupiah merosot 0,56% dan pada perdagangan hari ini, Selasa (2/11) turun lagi meski tipis 0,04% ke Rp 14.250/US$.

Salah satu pemicu penguatan rupiah pada bulan lalu yakni meroketnya harga batu bara dan minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO).

Batu bara dan CPO merupakan komoditas ekspor utama Indonesia, Kenaikan harganya membuat neraca perdagangan mencatat surplus, dan pendapatan pajak negara melonjak, sehingga memberikan dampak positif ke rupiah.

Harga batu bara acuan Ice Newcastle Australia untuk kontrak 2 bulan ke depan mencatat mencetak rekor tertinggi sepanjang masa US$ 280/ton pada 5 Oktober lalu.

Sejak akhir 2020 hingga ke rekor tersebut, total harga batu bara meroket lebih dari 240%. Sementara harga CP di Bursa Derivatif Malaysia melesat sekitar 40% ke atas 5.300 ringgit per ton.

Harga CPO saat ini masih stabil di dekat rekor tertinggi sepanjang masa, tetapi tidak dengan batu bara yang harganya kacau balau.

Kemarin, harga batu bara acuan Ice Newcastle Australia untuk kontrak dua bulan ke depan ambrol 10,26% di US$ 139/ton.

Jika dilihat dari rekor tertinggi sepanjang masa, harga batu bara sudah ambrol lebih dari 50%!

Alhasil, salah satu tenaga rupiah untuk menguat menjadi lenyap.

Selain itu pelaku pasar saat ini menanti pengumuman kebijakan moneter bank sentral AS (The Fed) pada Kamis (2/11) dini hari waktu Indonesia.

Jumat lalu, rilis data inflasi AS berdasarkan personal consumption expenditure (PCE) yang kembali menanjak membuat rupiah terpuruk kemarin, sebab The Fed diperkirakan lebih agresif dalam melakukan tapering atau pengurangan nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE).

Departemen Tenaga Kerja AS kemarin melaporkan inflasi PCE tumbuh 4,4% year-on-year (YoY) di bulan September, menjadi yang tertinggi sejak tahun 1991, dan naik dari bulan sebelumnya 4,3% YoY.

Kemudian inflasi inti PCE tumbuh 3,6% YoY, sama dengan pertumbuhan bulan Agustus, tetapi juga berada di level tertinggi dalam 30 tahun terakhir.

Inflasi PCE merupakan acuan The Fed dalam menetapkan kebijakan moneter. Inflasi PCE yang terus meningkat membuat The Fed membuat The Fed kemungkinan lebih agresif dalam melakukan tapering, bahkan bisa jadi akan menaikkan suku bunga di tahun depan.

Mayoritas anggota dewan The Fed memang melihat suku bunga bisa naik di tahun 2022, dan bisa menjadi mimpi buruk bagi rupiah.

"Anda melihat pergerakan besar (indeks dolar AS) di hari Jumat akibat data PCE dan Anda melihat sedikit kemunduran saat ini," kata Joseph Trevisani, analis di FXStreet.com.

Trevisani juga mengatakan tidak ada yang tahun pasti apa yang akan dilakukan The Fed, sehingga kemana arah dolar AS masih belum jelas.

The Fed hampir pasti akan mengumumkan tapering, tetapi seberapa agresif masih belum diketahui. Pasar saat ini memprediksi tapering akan sebesar US$ 15 miliar setiap bulan dari level saat ini US$ 120 miliar per bulan. Sehingga perlu waktu 8 bulan hingga QE menjadi nol atau selesai.

Pasar sebenarnya sudah menakar akan terjadinya tapering, dan rupiah juga siap. Sebab kondisi fundamental dalam negeri yang jauh lebih bagus ketimbang 2013, ketika tapering membuat rupiah terpuruk.

Meski demikian, jika The Fed agresif dalam melakukan tapering, spekulasi The Fed akan menaikkan suku bunga di tahun depan akan menguat. Hal ini yang bisa membuat rupiah terpukul.

Artinya, rupiah sebenarnya punya peluang menguat di bulan ini, dengan syarat The Fed tidak agresif dalam melakukan tapering. Peluang penguatan akan lebih besar jika harga batu bara bisa stabil.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Secara Teknikal, Rupiah Tidak Boleh Lewati Rp 14.300/US$

Secara teknikal, rupiah juga bisa menembus Rp 14.000/US$ di bulan ini, syaratnya tidak boleh melewati Rp 14.300/US$.

Sebabnya, rupiah kini berada di gelombang (wave) ke-empat dari Elliott Wave, yang merupakan fase koreksi. Wave 4 sudah terjadi sejak pertengahan Oktober lalu, rupiah pun terus melemah melawan dolar AS.

Area di kisaran Rp 14.200/US$ merupakan Fibonacci Retracement 50% yang ditarik sepanjang wave 3. Sehingga menjadi resisten kuat yang akan menahan pelemahan rupiah. Sementara itu Fib. Retracement 61,8% berada di kisaran Rp 14.300/US$, dan level tersebut juga berada di sekitar ujung wave 1.

idrGrafik: Rupiah (USD/IDR) Harian
Foto: Refinitiv

Artinya, jika rupiah melewati Rp 14.300/US$, maka peluang untuk membentuk wave 5 (berlanjutnya tren bullish) menjadi lenyap.
Oleh karena itu, level Rp 14.300/US$ akan menjadi kunci penguatan rupiah di bulan ini.

Jika mampu bertahan di bawahnya, maka wave 5 akan terbentuk, dan rupiah berpeluang menembus Rp 14.000/US$.

Peluang tersebut semakin terbuka melihat indikator stochastic pada grafik harian kini sudah mulai masuk ke wilayah jenuh beli (overbought).

Stochastic merupakan leading indicator, atau indikator yang mengawali pergerakan harga. Ketika Stochastic mencapai wilayah overbought (di atas 80) atau oversold (di bawah 20), maka harga suatu instrumen berpeluang berbalik arah.

Ketika USD/IDR mengalami overbought, maka harga berpotensi bergerak turun, artinya rupiah berpeluang menguat.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular