Awal November 'Mendung'! IHSG Ditutup Anjlok, Good Bye 6.500

Tri Putra, CNBC Indonesia
Selasa, 02/11/2021 15:37 WIB
Foto: Karyawan melintas di dekat layar pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Rabu (6/10/2021). Indeks Harga Saham Gabungan berhasil mempertahankan reli dan ditutup terapresiasi 2,06% di level 6.417 pada perdagangan Rabu (06/10/2021). (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Setelah sempat menguat di awal perdagangan, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berakhir di zona pesakitan hari ini, Selasa (2/11/2021). IHSG ambles dan keluar dari level 6.500.

Hingga penutupan perdagangan, indeks drop 0,91% ke 6.493,28. Terpantau 163 saham menguat, 368 saham anjlok dan 143 saham stagnan.

Di tengah koreksi IHSG, asing melakukan aksi jual saham-saham RI yang tercermin dari net sell di pasar reguler sebesar Rp 98,3 miliar. Nilai transaksi mencapai Rp 11,37 triliun.


Saham yang banyak dilepas asing adalah saham PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk (TLKM) dan saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) dengan net sell masing-masing sebesar Rp 203,3 miliar dan Rp 184 miliar.

Sedangkan saham yang masih diborong asing adalah saham PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) dan PT Kalbe Farma Tbk (KLBF). Net buy asing di kedua saham tersebut tercatat sebesar Rp 119,3 miliar dan Rp 73,1 miliar.

Bursa saham kawasan Asia cenderung melemah. Indeks Nikkei drop 0,43%. Shang Hai Composite bahkan lebih parah lagi setelah ambles 1,10%. Hang Seng turun 0,22% padahal sebelumnya sempat menguat. Hanya Straits Times yang lolos koreksi dengan apresiasi 0,36%.

Mengawali bulan November, performa indeks memang kurang oke. Sepanjang bulan Oktober IHSG sudah mengalami kenaikan cukup signifikan. Secara musiman IHSG juga cenderung memberikan return bulanan negatif pada November dalam satu dekade terakhir.

Selain itu sentimen juga kurang mendukung. investor sepertinya perlu mewaspadai ancaman baru selepas pandemi virus corona. Peningkatan permintaan ternyata tidak bisa berjalan seiring dengan tambahan pasokan. Apalagi krisis energi melanda berbagai negara, sehingga menghambat proses produksi.

Misalnya di China. Keterbatasan pasokan bahan baku, tenaga kerja, plus krisis energi membuat biaya produksi membengkak. Inflasi tingkat produsen (Producer Price Index/PPI) China pun melonjak tajam. Inflasi yang tinggi akan membuat pertumbuhan ekonomi melambat. Risiko stagflasi kian nyata.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(adf)
Saksikan video di bawah ini:

Video: PHK Mengancam, Saham Ini Bisa Jadi Sumber Cuan Darurat