
Hitung Mundur Tapering The Fed, Rupiah Melemah Tipis-tipis

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah kembali melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Selasa (2/11), padahal di awal perdagangan sempat menunjukkan sinyal bakal bangkit dari keterpurukan di awal pekan.
Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan menguat tipis 0,04% ke Rp 14.240/US$. Setelahnya rupiah berbalik melemah 0,11% di Rp 14.260/US$, dan tertahan di zona merah sepanjang perdagangan. Di penutupan, rupiah melemah ke Rp 14.250/US$, atau 0,04% di pasar spot.
Pergerakan hari ini sekali lagi menunjukkan perhatian utama pelaku pasar tertuju pada pengumuman kebijakan moneter bank sentral AS (The Fed) yang kurang dari 2 hari lagi.
The Fed pada Kamis (4/11) dini hari hampir pasti akan mengumumkan tapering, tetapi seberapa agresif pengurangan nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) dilakukan masih menjadi tanda tanya.
Jumat lalu, rilis data inflasi AS berdasarkan personal consumption expenditure (PCE) yang kembali menanjak membuat rupiah terpuruk kemarin, sebab The Fed diperkirakan lebih agresif dalam melakukan tapering.
Departemen Tenaga Kerja AS kemarin melaporkan inflasi PCE tumbuh 4,4% year-on-year (YoY) di bulan September, menjadi yang tertinggi sejak tahun 1991, dan naik dari bulan sebelumnya 4,3% YoY.
Kemudian inflasi inti PCE tumbuh 3,6% YoY, sama dengan pertumbuhan bulan Agustus, tetapi juga berada di level tertinggi dalam 30 tahun terakhir.
Inflasi PCE merupakan acuan The Fed dalam menetapkan kebijakan moneter. Inflasi PCE yang terus meningkat membuat The Fed membuat The Fed kemungkinan lebih agresif dalam melakukan tapering, bahkan bisa jadi akan menaikkan suku bunga di tahun depan.
Mayoritas anggota dewan The Fed memang melihat suku bunga bisa naik di tahun 2022, dan bisa menjadi mimpi buruk bagi rupiah.
"Anda melihat pergerakan besar (indeks dolar AS) di hari Jumat akibat data PCE dan Anda melihat sedikit kemunduran saat ini," kata Joseph Trevisani, analis di FXStreet.com sebagaimana dilansir CNBC International.
Trevisani juga mengatakan tidak ada yang tahu pasti apa yang akan dilakukan The Fed, sehingga kemana arah dolar AS masih belum jelas.
Pasar saat ini memprediksi tapering akan sebesar US$ 15 miliar setiap bulan dari level saat ini US$ 120 miliar per bulan. Sehingga perlu waktu 8 bulan hingga QE menjadi nol atau selesai.
Selain itu rupiah juga kehilangan tenaga untuk menguat setelah harga batu bara kacau balau belakangan ini.
Batu bara merupakan komoditas ekspor utama Indonesia, Kenaikan harganya membuat neraca perdagangan mencatat surplus, dan pendapatan pajak negara melonjak, sehingga memberikan dampak positif ke rupiah.
Sayangnya, sejak mencapai rekor tertinggi sepanjang masa US$ 280/ton pada 5 Oktober lalu, harga batu bara malah terus merosot. Kemarin, harga batu bara acuan Ice Newcastle Australia untuk kontrak dua bulan ke depan ambrol 10,26% di US$ 139/ton.
Jika dilihat dari rekor tertinggi sepanjang masa, harga batu bara sudah ambrol lebih dari 50%!
Alhasil, rupiah yang sebelumnya diuntungkan akibat meroketnya harga batu bara kini malah berbalik tertekan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Rupiah Ngeri! 3 Hari Melesat 3% ke Level Terkuat 3 Bulan
