Inflasi Hantui Dunia, Investasi Apa yang Cocok?

Aldo Fernando, CNBC Indonesia
02 November 2021 08:53
Karyawan melintas di dekat layar pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Rabu (6/10/2021).  Indeks Harga Saham Gabungan berhasil mempertahankan reli dan ditutup terapresiasi 2,06% di level 6.417 pada perdagangan Rabu (06/10/2021). (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Perusahaan aset manajemen atau fund manager global memangkas porsi obligasi dalam portofolio mereka ke level terendah dalam hampir 3 tahun dan meningkatkan porsi saham di tengah tingginya inflasi, seperti di Amerika Serikat (AS), saat ini.

Menurut jajak pendapat Reuters pada 15-28 Oktober 2021, para fund manager menganggap inflasi sebagai risiko utama bagi portofolio mereka selama 3 bulan mendatang.

Dalam jajak pendapat tersebut, 35 fund manajer dan kepala investasi di Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang menyatakan, telah meningkatkan alokasi saham menjadi rata-rata 50,3% dari model portofolio global mereka--tertinggi sejak akhir 2017--dari 49,8% di bulan September.

Bursa saham AS atau Wall Street sendiri sempat menyentuh ke rekor tertinggi pada hari Kamis (28/10), tampak tidak terpengaruh oleh perlambatan laju pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat dari yang diharapkan pada kuartal terakhir.

Pada Kamis, Indeks Dow Jones Industrial Average bertambah 0,68% atau 239,8 poin menjadi 35.730,48, atau sedikit lagi menyentuh level tertinggi baru. Indeks S&P 500 mlesat 0,98% ke 4.596,42 yang merupakan level tertinggi barunya.

Nasdaq berakhir dengan lompatan sebesar 1,39% ke 15.448,12 setelah di tengah perdagangan Kamis sempat mencolek titik tertinggi baru.

Adapun, pada Jumat (29/10), ketiga indeks saham utama AS tersebut kompak menembus rekor tertinggi baru. Indeks Dow Jones ditutup naik 0,4% ke 35.849, S&P menguat 0,4% ke 4.605,37, dan Nasdaq terkerek 0,33% ke 15.498,4.

Sebelumnya, Departemen Perdagangan AS pada Kamis lalu melaporkan, produk domestik bruto (PDB) AS hanya tumbuh 2% di kuartal III-2021, melambat dari kuartal sebelumnya 6,7% serta lebih rendah dari hasil survei Reuters yang memprediksi pertumbuhan 2,8%.

Para ekonom menyoroti tersendatnya supply sebagai biang keladi perlambatan ekonomi AS. Jika masalah supply bisa teratasi, perekonomian Negeri Paman Sam diperkirakan bisa membaik.

Pemerintah AS juga sebelumnya telah melaporkan inflasi yang dilihat dari consumer price index (CPI) di bulan September dilaporkan tumbuh 0,4% dari bulan sebelumnya, lebih tinggi dari hasil polling Reuters terhadap para ekonom sebesar 0,3%. Sementara itu dibandingkan September 2020, inflasi melesat 5,4%, lebih tinggi dari pertumbuhan bulan Agustus 5,3% year-on-year (YoY).

Inflasi tersebut merupakan yang tertinggi dalam 13 tahun terakhir.

Sementara itu inflasi inti yang tidak memasukkan sektor makanan dan energi, tumbuh 0,2% month-on-month (MoM), dan 4% YoY.

Setali tiga uang, data inflasi personal consumption expenditure (PCE), yang biasa dijadikan acuan utama bank sentral AS atau Federal Reserve (The Fed) dalam menerapkan kebijakan moneter, juga menanjak.

Departemen Tenaga Kerja AS pada Jumat waktu AS melaporkan, inflasi PCE tumbuh 4,4% year-on-year (YoY) di bulan September, menjadi yang tertinggi sejak tahun 1991, dan naik dari bulan sebelumnya 4,3% YoY.

Kemudian inflasi inti PCE tumbuh 3,6% YoY, sama dengan pertumbuhan bulan Agustus, tetapi juga berada di level tertinggi dalam 30 tahun terakhir.

Sebagian besar pembuat kebijakan mengatakan, lonjakan inflasi tidak akan bertahan lama dan gangguan rantai pasokan dan kenaikan harga energi yang mendorongnya akan mereda. Namun, beberapa manajer investasi, seperti banyak trader, tidak begitu percaya dengan narasi tersebut.

"Pasar seperti bergerak di pasir hisap dan narasi inflasi permanen semakin meningkat," kata Matteo Germano, kepala multi-aset global di Amundi kepada Reuters, dikutip CNBC Indonesia (2/11/2021).

Matteo melanjutkan, saham atau ekuitas adalah pilihan yang menarik saat ini mengingat imbal hasil yang rendah dari obligasi, sembari menggarisbawahi juga soal risiko inflasi yang sedikit banyak bisa mempengaruhi pasar saham.

Ditanya tentang risiko utama alokasi portofolio mereka selama tiga bulan ke depan, responden survei hampir terbagi rata antara inflasi yang lebih tinggi, pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah, perubahan kebijakan moneter bank sentral yang lebih awal dari yang diharapkan, dan potensi penyebaran varian virus corona (Covid-19) baru.

Risiko-risiko di atas tampak menggemakan kembali pendapat ekonom, yang dalam survei Reuters lainnya, sebagian besar setuju dengan The Fed yang menyebut lonjakan inflasi saat ini bersifat sementara. Namun, para ekonom tersebut tercatat meningkatkan perkiraan inflasi dan hampir tidak mengubah perkiraan pertumbuhan mereka.

"Secara keseluruhan, latar belakang [sentimen pasar saat ini] bagi investor menjadi lebih tidak pasti dan lebih berisiko, dengan sedikit potensi kenaikan dalam jangka pendek," kata Germano dari Amundi.

Namun, manajer investasi dalam jajak pendapat terbaru menunjukkan, porsi reksadana pendapatan tetap rata-rata 39,0% dari reksa dana campuran global--terendah sejak akhir 2018--dari sebelumnya 39,7% bulan lalu.

Ditanya tentang kemungkinan besar perubahan portofolio mereka selama tiga bulan mendatang, hampir dua pertiga dari 22 responden mengatakan mereka secara umum akan mempertahankan posisi saat ini. Responden sisanya, terbagi antara meningkatkan atau mengurangi eksposur ke aset berisiko.

"Kami tidak meningkatkan ekuitas karena kami telah memasuki tahun dengan bobot overweight signifikan," kata Keith Lerner, co-chief investment officer di Truist Advisory Services.

"Dengan growth scare di 'kaca spion', dan seiring kita akan memasuki tahun depan, kami mengharapkan adanya moderasi kenaikan mengingat tahun ini. Kami positif tetapi realistis--mungkin ada beberapa volatilitas dari Washington dengan banyak masalah yang masih belum terselesaikan," lanjut Keith.

Menurut penjelasan di website Hamilton ETFs, growth scare bisa didefinisikan sebagai koreksi yang terjadi di pasar dalam mengantisipasi perlambatan ekonomi, yang sejatinya tidak dibarengi oleh penurunan produk domestik bruto (PDB) secara aktual.

Growth scare bisa ditandai dengan reaksi berlebihan di pasar saham terhadap potensi perlambatan pertumbuhan PDB, misalnya, akibat Brexit atau pembalikan kurva imbal hasil (inverted curve yield) yang terjadi beberapa tahun lalu.

Lantas, berkaca dari hasil survei di atas, kira-kira aset apa yang bisa dijadikan sebagai lindung nilai (hedge) dari inflasi saat ini?

Salah satu aset tradisional yang sudah lama digunakan untuk lindung nilai dari inflasi adalah emas. Saat suatu mata uang mengalami devaluasi, misalnya, maka emas cenderung menunjukkan kinerja yang baik.

Mari kita tengok ke belakang sejenak.

Menurut catatan Tim Riset CNBC Indonesia sebelumnya, saat krisis minyak mentah tahun 1973 dan 1974, harga emas mencatat kenaikan masing 72% dan 66%. Kemudian saat inflasi tinggi melanda Amerika Serikat (AS) pada 1978 hingga akhirnya mengalami resesi di 1980 harga emas melesat nyaris 180%.

Di era millennium, krisis finansial global yang melanda di tahun 2007 dan 2008 harga emas mencatat kenaikan 36%, bahkan terus menanjak hingga tahun 2012, dan mencatat rekor tertinggi sepanjang masa setahun sebelumnya.

Namun, untuk sekarang tampaknya situasinya agak berbeda.

Saat ini, inflasi AS yang tinggi dibarengi oleh 'hantu' lainnya, yakni tapering atau pengurangan nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) dan kenaikan suku bunga. Sebagaimana diketahui, kedua kebijakan tersebut akan diambil The Fed untuk meredam lonjakan inflasi saat ini.

The Fed hampir pasti melakukan tapering di tahun ini, dan pengumumannya akan dilakukan pada pekan depan. Kemudian, akan disusul dengan kenaikan suku bunga paling cepat di akhir 2022.

Tapering merupakan musuh utama emas. Pernah terjadi di tahun 2013, tapering membuat harga emas memasuki tren bearish (penurunan dalam periode yang panjang) hingga tahun 2015.

Adapun sepanjang pekan lalu, emas dunia tercatat melemah 0,54% ke US$ 1.782,80/troy ons per penutupan Jumat (29/10), sekaligus mengakhiri penguatan dalam dua minggu beruntun. Sepanjang tahun ini (year to date) harga emas dunia ambles 5,99%.

Meski menjadi musuh utama, analis melihat harga emas dunia saat ini sudah menakar terjadinya tapering, sehingga tidak akan merosot tajam. Tetapi syaratnya tapering tidak dilakukan dengan agresif--yang tentu saja belum dapat dipastikan saat ini.

Pasar memprediksi The Fed akan melakukan tapering sebesar US$ 15 miliar setiap bulannya, dari nilai saat ini sebesar US$ 120 miliar. Sehingga memerlukan waktu 8 bulan hingga QE menjadi nol alias selesai.

Saat pengumuman tapering dilakukan, emas diperkirakan pasti akan mengalami gejolak, tetapi hanya sesaat.

"Tapering seharusnya sudah dan sangat terdiskon (dari harga emas saat ini), meski demikian pasti akan ada gejolak merespon pengumuman The Fed pekan depan, tetapi hanya dalam waktu yang singkat, selalu demikian," kata Rhona O'Connell, analis di StoneX.

Sementara, analis pasar dari OANDA, Edward Moya, menjelaskan kepada Kitco, Jumat (29/10), harga emas bisa kembali ke US$ 1.800/troy ons apabila ada aksi buy on dip (beli di saat harga murah).

Tetap Percaya dengan Emas atau Pesaing Digitalnya?

Nah, apabila emas dianggap masih tampak berat untuk bisa diandalkan menjadi aset lindung nilai seiring adanya sejumlah sentimen negatif akhir-akhir ini, bitcoin yang dianggap sebagai saingan emas dari semesta digital mungkin tampak potensial.

Bitcoin sering disebut-sebut sebagai emas digital. Kendati tidak sedikit pula yang menolak labelisasi semacam itu lantaran bitcoin, misalnya, dianggap tidak memiliki nilai intrinsik sehingga tidak bisa dijadikan penyimpan nilai (store of value).

Di tengah perdebatan yang bakal terus bergulir tersebut, investor legendaris Paul Tudor Jones berpendapat, bitcoin kini dianggap sebagai aset lindung nilai terhadap inflasi yang lebih baik ketimbang emas.

"Bitcoin akan menjadi bagus untuk lindung nilai. Mata uang kripto akan bagus untuk lindung nilai. Ada tempat untuk kripto dan jelas saat ini lebih baik ketimbang emas... Saya juga berpikir kripto juga akan bagus untuk lindung nilai terhadap inflasi. Untuk saat ini, saya akan memilih kripto ketimbang emas," kata Jones dalam acara "Squawk Box" CNBC International, Rabu (20/10).

Pada tahun lalu baik emas maupun bitcoin sama-sama melesat, tetapi di tahun ini beda ceritanya. Sepanjang tahun ini Bitcoin kemarin mencatat rekor tertinggi sepanjang masa, dan sudah melesat lebih dari 111% sepanjang 2021, sementara emas justru melemah hampir 6%.

Memang, perbedaan utama lainnya antara emas dan bitcoin adalah soal fluktuasi harga. Harga bitcoin lebih fluktuatif dibandingkan harga emas.

Contoh saja, setelah menembus level US$ 64.000 pada pertengahan April 2021, bitcoin kemudian anjlok ke level US$ 29.000 pada 21 Juli 2021. Adapun, setelah terbenam di bawah US$ 30.000 waktu itu, harga bitcoin kembali merangkak naik.

Bahkan, bitcoin sempat kembali menyentuh level tertinggi sepanjang masa di US$ 66. 974,77 pada 20 Oktober 2021. Pada Senin (1/11), pukul 22.41 WIB, harga bitcoin tercatat berada di US$ 61.569,19.

Dukungan terhadap bitcoin sebagai aset lindung nilai terhadap inflasi juga datang dari JPMorgan.

Dalam catatan JPMorgan kepada klien mereka pada 6 Oktober 2021, analis JPMorgan menyebut, bitcoin sebagai emas baru di tengah adanya inflasi.

Kendati, bitcoin telah mengalami fluktuasi besar tahun ini, kata JPMorgan, tetapi itu tampaknya tidak mengganggu investor.

"Investor institusional tampaknya kembali ke bitcoin, mungkin melihatnya [bitcoin] sebagai lindung nilai inflasi yang lebih baik daripada emas," jelas JPMorgan dilansir dari Fortune, dikutip CNBC Indonesia, Senin (1/11).

Catatan JPMorgan di atas memang tidak begitu mengejutkan bagi pelaku pasar bitcoin.

Pada bulan April, Fortune mencatat, bursa kripto Coinbase mencatat dalam laporan kuartal pertama bahwa dari US$ 335 miliar dalam perdagangan yang diselenggarakan perusahaan pada kuartal itu, sebanyak US$ 215 miliar berasal dari lebih dari 8.000 investor institusi.

"Munculnya kembali kekhawatiran inflasi di kalangan investor telah memperbaharui minat dalam penggunaan Bitcoin sebagai lindung nilai inflasi," kata laporan itu.

Baru-baru ini, beberapa investor terkenal telah menyetujui aset kripto (cryptocurrency). Dawn Fitzpatrick, kepala hedge fund George Soros, Soros Fund Management, mengungkapkan pada acara Bloomberg bahwa perusahaan tersebut memiliki beberapa koin, kendati "tidak banyak".

Nama beken lainnya, pengusaha Shark Tank Kevin O'Leary mengatakan pada awal Oktober bahwa kepemilikan kripto-nya melebihi alokasi emas dalam portofolionya.

Di sisi lain, JPMorgan mencatat dalam laporan bulan Mei bahwa investor institusional beralih dari bitcoin ke emas, tetapi masih mempertahankan bahwa cryptocurrency dapat mencapai US$ 140.000 dalam jangka panjang.

Lalu, bagaimana dengan aset lain, seperti misalnya saham di Bursa Efek Indonesia (BEI)?

Selain dua aset di atas, tidak ada salahnya juga untuk mempertimbangkan aset saham saat ini.

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menunjukkan kinerja ciamik sepanjang Oktober. Dalam sebulan terakhir, IHSG melesat 5,20% ke posisi 6.552,89, per penutupan Senin (1/11). Sejurus dengan itu, secara ytd indeks acuan nasional tersebut melesat 9,60%.

Adapun indeks yang berisikan 45 saham big cap LQ45 melonjak 6,60% dalam sebulan dan melejit 13,70% dalam 3 bulan bekangan. Kendati, LQ45 masih turun 1,48% sejak awal tahun.

Menguatnya IHSG terjadi seiring investor mulai kembali melirik saham-saham berkapitalisasi pasar besar (big cap), termasuk saham perbankan raksasa, dan apa yang disebut dengan saham-saham ekonomi lama (old economy)--seperti saham komoditas dan consumer goods.

Selain itu, masuknya aliran dana asing terutama ke saham-saham big cap juga ikut membantu mengerek performa IHSG akhir-akhir ini. Dalam sebulan asing melakukan beli bersih Rp 19,78 triliun di pasar reguler. Adapun sejak awal tahun asing melakukan beli bersih Rp 49,97 triliun di pasar reguler.

Tidak ketinggalan pula, soal efek window dressing yang mulai terasa sejak awal Oktober.

Kenaikan IHSG di bulan pertama kuartal terakhir sendiri sering diatribusikan kepada aksi beli para investor yang 'curi start' dalam mengoleksi saham-saham unggulan (blue chip) atau big cap yang biasanya pada akhir tahun terkena efek window dressing.

Window dressing sendiri bisa dibilang sebagai suatu strategi memoles laporan keuangan bagi emiten maupun portofolio yang dimiliki oleh fund manager sehingga terlihat lebih cantik di mata investor.

Window dressing sendiri biasanya terjadi di penghujung tahun. Menurut data olahan Tim Riset CNBC Indonesia, sejak 2001 sampai 2020, IHSG selalu menguat selama Desember.

Jadi, pertanyaan soal pilihan aset mana yang menarik untuk dijadikan sebagai nilai lindung di tengah inflasi tinggi tentu bergantung pada profil risiko dan horizon investasi masing-masing investor.

Soal emas, kendati tapering akan turut menekan harga emas setidaknya dalam waktu dekat, tidak menutup kemungkinan emas ke depannya kembali menunjukkan "jati dirinya" sebagai lindung nilai terhadap inflasi, yang sudah terbukti sejak lama.

Sementara untuk bitcoin meski terus melesat naik, masih tetap menjadi perdebatan apakah layak menyandang status sebagai lindung nilai terhadap inflasi. Apalagi beberapa negara, seperti China, memberlakukan kebijakan yang ketat terhadap aset kripto.

Adapun untuk saham, selain didukung sejumlah sentimen positif di atas, tetapi prospek perlambatan ekonomi, tapering The Fed, hingga kemungkinan adanya gelombang lanjutan pandemi Covid-19, bisa turut mempengaruhi performa IHSG ke depan.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(adf/adf)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Inflasi AS Bukan Ancaman, Harga Emas Kok Masih Melorot?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular