Inflasi Hantui Dunia, Investasi Apa yang Cocok?

Aldo Fernando, CNBC Indonesia
02 November 2021 08:53
Emas Batangan di toko Degussa di Singapur, 16 Juni 2017 (REUTERS/Edgar Su)
Foto: Karyawan melintas di dekat layar pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Rabu (6/10/2021). Indeks Harga Saham Gabungan berhasil mempertahankan reli dan ditutup terapresiasi 2,06% di level 6.417 pada perdagangan Rabu (06/10/2021). (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Salah satu aset tradisional yang sudah lama digunakan untuk lindung nilai dari inflasi adalah emas. Saat suatu mata uang mengalami devaluasi, misalnya, maka emas cenderung menunjukkan kinerja yang baik.

Mari kita tengok ke belakang sejenak.

Menurut catatan Tim Riset CNBC Indonesia sebelumnya, saat krisis minyak mentah tahun 1973 dan 1974, harga emas mencatat kenaikan masing 72% dan 66%. Kemudian saat inflasi tinggi melanda Amerika Serikat (AS) pada 1978 hingga akhirnya mengalami resesi di 1980 harga emas melesat nyaris 180%.

Di era millennium, krisis finansial global yang melanda di tahun 2007 dan 2008 harga emas mencatat kenaikan 36%, bahkan terus menanjak hingga tahun 2012, dan mencatat rekor tertinggi sepanjang masa setahun sebelumnya.

Namun, untuk sekarang tampaknya situasinya agak berbeda.

Saat ini, inflasi AS yang tinggi dibarengi oleh 'hantu' lainnya, yakni tapering atau pengurangan nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) dan kenaikan suku bunga. Sebagaimana diketahui, kedua kebijakan tersebut akan diambil The Fed untuk meredam lonjakan inflasi saat ini.

The Fed hampir pasti melakukan tapering di tahun ini, dan pengumumannya akan dilakukan pada pekan depan. Kemudian, akan disusul dengan kenaikan suku bunga paling cepat di akhir 2022.

Tapering merupakan musuh utama emas. Pernah terjadi di tahun 2013, tapering membuat harga emas memasuki tren bearish (penurunan dalam periode yang panjang) hingga tahun 2015.

Adapun sepanjang pekan lalu, emas dunia tercatat melemah 0,54% ke US$ 1.782,80/troy ons per penutupan Jumat (29/10), sekaligus mengakhiri penguatan dalam dua minggu beruntun. Sepanjang tahun ini (year to date) harga emas dunia ambles 5,99%.

Meski menjadi musuh utama, analis melihat harga emas dunia saat ini sudah menakar terjadinya tapering, sehingga tidak akan merosot tajam. Tetapi syaratnya tapering tidak dilakukan dengan agresif--yang tentu saja belum dapat dipastikan saat ini.

Pasar memprediksi The Fed akan melakukan tapering sebesar US$ 15 miliar setiap bulannya, dari nilai saat ini sebesar US$ 120 miliar. Sehingga memerlukan waktu 8 bulan hingga QE menjadi nol alias selesai.

Saat pengumuman tapering dilakukan, emas diperkirakan pasti akan mengalami gejolak, tetapi hanya sesaat.

"Tapering seharusnya sudah dan sangat terdiskon (dari harga emas saat ini), meski demikian pasti akan ada gejolak merespon pengumuman The Fed pekan depan, tetapi hanya dalam waktu yang singkat, selalu demikian," kata Rhona O'Connell, analis di StoneX.

Sementara, analis pasar dari OANDA, Edward Moya, menjelaskan kepada Kitco, Jumat (29/10), harga emas bisa kembali ke US$ 1.800/troy ons apabila ada aksi buy on dip (beli di saat harga murah).

Tetap Percaya dengan Emas atau Pesaing Digitalnya?

Nah, apabila emas dianggap masih tampak berat untuk bisa diandalkan menjadi aset lindung nilai seiring adanya sejumlah sentimen negatif akhir-akhir ini, bitcoin yang dianggap sebagai saingan emas dari semesta digital mungkin tampak potensial.

Bitcoin sering disebut-sebut sebagai emas digital. Kendati tidak sedikit pula yang menolak labelisasi semacam itu lantaran bitcoin, misalnya, dianggap tidak memiliki nilai intrinsik sehingga tidak bisa dijadikan penyimpan nilai (store of value).

Di tengah perdebatan yang bakal terus bergulir tersebut, investor legendaris Paul Tudor Jones berpendapat, bitcoin kini dianggap sebagai aset lindung nilai terhadap inflasi yang lebih baik ketimbang emas.

"Bitcoin akan menjadi bagus untuk lindung nilai. Mata uang kripto akan bagus untuk lindung nilai. Ada tempat untuk kripto dan jelas saat ini lebih baik ketimbang emas... Saya juga berpikir kripto juga akan bagus untuk lindung nilai terhadap inflasi. Untuk saat ini, saya akan memilih kripto ketimbang emas," kata Jones dalam acara "Squawk Box" CNBC International, Rabu (20/10).

Pada tahun lalu baik emas maupun bitcoin sama-sama melesat, tetapi di tahun ini beda ceritanya. Sepanjang tahun ini Bitcoin kemarin mencatat rekor tertinggi sepanjang masa, dan sudah melesat lebih dari 111% sepanjang 2021, sementara emas justru melemah hampir 6%.

Memang, perbedaan utama lainnya antara emas dan bitcoin adalah soal fluktuasi harga. Harga bitcoin lebih fluktuatif dibandingkan harga emas.

Contoh saja, setelah menembus level US$ 64.000 pada pertengahan April 2021, bitcoin kemudian anjlok ke level US$ 29.000 pada 21 Juli 2021. Adapun, setelah terbenam di bawah US$ 30.000 waktu itu, harga bitcoin kembali merangkak naik.

Bahkan, bitcoin sempat kembali menyentuh level tertinggi sepanjang masa di US$ 66. 974,77 pada 20 Oktober 2021. Pada Senin (1/11), pukul 22.41 WIB, harga bitcoin tercatat berada di US$ 61.569,19.

Dukungan terhadap bitcoin sebagai aset lindung nilai terhadap inflasi juga datang dari JPMorgan.

Dalam catatan JPMorgan kepada klien mereka pada 6 Oktober 2021, analis JPMorgan menyebut, bitcoin sebagai emas baru di tengah adanya inflasi.

Kendati, bitcoin telah mengalami fluktuasi besar tahun ini, kata JPMorgan, tetapi itu tampaknya tidak mengganggu investor.

"Investor institusional tampaknya kembali ke bitcoin, mungkin melihatnya [bitcoin] sebagai lindung nilai inflasi yang lebih baik daripada emas," jelas JPMorgan dilansir dari Fortune, dikutip CNBC Indonesia, Senin (1/11).

Catatan JPMorgan di atas memang tidak begitu mengejutkan bagi pelaku pasar bitcoin.

Pada bulan April, Fortune mencatat, bursa kripto Coinbase mencatat dalam laporan kuartal pertama bahwa dari US$ 335 miliar dalam perdagangan yang diselenggarakan perusahaan pada kuartal itu, sebanyak US$ 215 miliar berasal dari lebih dari 8.000 investor institusi.

"Munculnya kembali kekhawatiran inflasi di kalangan investor telah memperbaharui minat dalam penggunaan Bitcoin sebagai lindung nilai inflasi," kata laporan itu.

Baru-baru ini, beberapa investor terkenal telah menyetujui aset kripto (cryptocurrency). Dawn Fitzpatrick, kepala hedge fund George Soros, Soros Fund Management, mengungkapkan pada acara Bloomberg bahwa perusahaan tersebut memiliki beberapa koin, kendati "tidak banyak".

Nama beken lainnya, pengusaha Shark Tank Kevin O'Leary mengatakan pada awal Oktober bahwa kepemilikan kripto-nya melebihi alokasi emas dalam portofolionya.

Di sisi lain, JPMorgan mencatat dalam laporan bulan Mei bahwa investor institusional beralih dari bitcoin ke emas, tetapi masih mempertahankan bahwa cryptocurrency dapat mencapai US$ 140.000 dalam jangka panjang.

Lalu, bagaimana dengan aset lain, seperti misalnya saham di Bursa Efek Indonesia (BEI)?

(adf/adf)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular