
Luar Biasa! Saham Tekstil 'Ngamuk' Ramai-ramai, Ada Apa?

Seperti yang disinggung di halaman sebelumnya, ada sejumlah sentimen negatif bagi industri tekstil akhir-akhir ini. Berikut 3 poin utamanya.
Pertama, soal masih maraknya impor tekstil ilegal di Indonesia.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta mengatakan, impor tekstil dan produk tekstil ilegal marak dari pelabuhan kecil di pesisir Sumatra.
"Masuknya lewat kapal kayu dari pelabuhan kecil. Jumlahnya bisa mencapai 10 kontainer atau sekitar 200 ton," katanya kepada CNBC Indonesia TV, Kamis (7/10/2021).
Kedua, terkait melonjaknya harga batu bara dan harga bahan baku impor dari India dan CHina yang turut meningkatkan ongkos produksi perusahaan tekstil.
Seperti yang diketahui, India dan China tengah mengalami krisis energi yang membuat banyak pabrik di negara itu mengerem produksinya, tidak terkecuali untuk bahan baku tekstil.
Ketua Dewan Penasihat Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat, mengatakan permasalahan industri tekstil mulai dari harga batu bara yang melonjak hingga ketersediaan batu bara yang menipis untuk industri dalam negeri.
Kondisi diperparah, krisis energi terjadi di China dan India membuat harga bahan baku dan penolong dari impor melonjak mencapai 40%.
"Kita masih dalam pemulihan akibat Covid - 19, masalah kita daya beli belum pulih dihantam krisis energi yang berlaku global, mengakibatkan komponen impor naik, ditambah batu bara bukan hanya masalah harga tapi ketersediaan barang sudah langka," katanya kepada CNBC Indonesia TV, Senin (25/10/2021).
Bahkan kenaikan harga batu bara yang setinggi langit membuat sejumlah pabrikan di industri tekstil sampai harus menghentikan produksi dengan menggunakan batu bara dan beralih ke energi PLN.
"Stop full dua pabrik [pembangkit batu bara, switch ke PLN], dua-duanya di Tangerang. Ada yang mengurangi kapasitas sampai setengahnya saja, itu di beberapa perusahaan," kata Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen (APSyFI), Redma Gita Wirawasta kepada CNBC Indonesia, Senin (25/10/21).
Asal tahu saja, harga kontrak berjangka (future) batu bara di pasar ICE Newcastle (Australia) berada di posisi US$ 172,35/ton. Batu bara mencetak kenaikan 6,52% dalam sebulan terakhir secara point-to-point. Sejak akhir 2020 (year-to-date), harga melonjak 199,89%.
Ketiga, soal dua raksasa emiten tekstil, PBRX dan SRIL, yang masih berusaha keluar dari jerat penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU). Saat ini, PBRX sedang menyelesaikan proses restrukturisasi yang masih terus berjalan, usai digugat pailit oleh PT Bank Maybank Indonesia Tbk (BNII).
"Perseroan juga terus melibatkan Maybank Indonesia dalam setiap komunikasi yang dibangun dengan bank-bank lenders sindikasi dan bilateral, sehubungan dengan skema restrukturisasi tersebut," jelas Pan Brothers dalam keterangannya pada 1 Oktober 2021, dikutip CNBC Indonesia, Jumat (29/10).
Adapun, Sritex baru-baru ini mendapat perpanjangan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) selama 77 hari sampai dengan 6 Desember 2021 mendatang.
Hal ini berdasarkan putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Semarang dengan nomor perkara 12/Pdt.Sus-PKPU/2021/PN.Niaga.Smg, pada 20 September 2021.
Sebagai catatan, sebelumnya manajemen SRIL juga mengajukan perpanjangan proses PKPU selama 90 hari kepada kreditor di Singapura.
TIM RISET CNBC INDONESIA