Usai 4 Hari Melesat, Kurs Dolar Australia Akhirnya Turun juga
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar dolar Australia melemah melawan rupiah pada perdagangan Jumat (29/10) setelah sebelumnya menguat dalam 4 hari beruntun hingga mencapai level tertinggi dalam 3 bulan terakhir.
Kenaikan tersebut memicu aksi ambil untung yang membuat dolar Australia terkoreksi, meski tipis dan tidak menutup kemungkinan berbalik menguat.
Pada pukul 12:57 WIB, AU$ 1 setara Rp 10.681,66, dolar Australia melemah 0,08% di pasar spot, melansir data Refinitiv. Sebelumnya, dalam 4 hari beruntun total dolar Australia menguat 1,43%.
Penguatan selama 4 hari beruntun tersebut dipicu spekulasi bank sentral Australia (Reserve Bank of Australia/RBA) akan menaikkan suku bunga lebih cepat dari proyeksinya.
RBA saat ini memproyeksikan suku bunga baru akan dinaikkan pada tahun 2024, tetapi kebijakannya pekan ini yang tidak meredam kenaikan yield obligasi oleh pasar dianggap sebagai peluang suku bunga akan naik lebih cepat.
Obligasi yang jatuh tempo pada April 2024 imbal hasilnya (yield) mengalami kenaikan di atas 0,1% yang merupakan target RBA. Tetapi, kemarin RBA tidak melakukan pembelian di operasi pasar terbuka.
Alhasil, yield tersebut terus menanjak hingga menjadi 0,46%.
"Pasar memperkirakan akan ada suku bunga sebesar 50 basis poin (0,5%) pada pertengahan tahun depan, dan 100 basis poin (1%) di akhir tahun 2022," kata Tapas Strickland, dari National Australia Bank (NAB), sebagaimana dilansir Reuters, Rabu (27/10).
Selain itu, kenaikan inflasi juga memperkuat spekulasi tersebut.
Biro Statistik Australia Rabu lalu melaporkan inflasi inti tumbuh 2,1% di kuartal III-2021 dari periode yang sama tahun lalu. Kenaikan tersebut memicu spekulasi bank sentral Australia (Reserve Bank of Australia/RBA) bisa menaikkan suku bunga lebih cepat.
"Kuatnya kenaikan inflasi inti akan memberikan tekanan bagi RBA untuk kembali mengurangi nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) beberapa bulan ke depan," jata Ben Udy, ekonomi di Capital Economics, sebagaimana dilansir Reuters.
Sejak pandemi penyakit virus corona melanda, RBA memangkas suku bunga hingga ke rekor terendah sepanjang masa 0,1%. Selain itu, untuk pertama kalinya dalam sejarah RBA melalukan pada November 2020 lalu, dengan nilai AU$ 100 miliar, dan dilakukan dengan melakukan pembelian obligasi sebesar AU$ 5 miliar per pekan.
Program tersebut berakhir pada September lalu, tetapi RBA memperpanjang QE hingga Februari 2022, tetapi dengan nilai yang dikurangi menjadi US$ 4 miliar per pekan.
QE menyebabkan perekonomian banjir likuiditas dan menjadi salah satu pemicu inflasi. Sehingga, untuk meredam inflasi, QE bisa dikurangi lagi atau dihentikan sebelum mulai menaikkan suku bunga.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)