Bank Digital Bisa Lebih Cuan dari Bank Konvensional, Beneran?

Bali, CNBC Indonesia - Praktik bank digital dinilai secara empiris lebih efisien dibandingkan bank konvensional. Dari cerita sukses bank yang didisain khusus sebagai bank digital menunjukkan performa kinerja yang lebih bagus dibanding bank konvensional.
Hal tersebut disampaikan Poltak Hotradero, Advisor Pengembangan Produk Pasar Modal Bursa Efek Indonesia (BEI) yang membandingkan cerita sukses dari KakaoBank, bank digital asal Korea Selatan.
Paling mencolok dari keunggulan bank digital adalah kemampuan mengendalikan kredit macet.
Poltak memaparkan, KakaoBank mampu menekan kredit macet (non peforming loan/NLP) hanya 0,26%. Sementara angka NPL industri perbankan konvensional sebesar 1,78%.
"Ini menunjukkan KakaoBank tahu ke mana harus memberikan pinjaman, karena mereka punya data nasabah. Bisa mengukur kemampuan dalam memberikan pinjaman sehingga NPL nya kecil," kata Poltak, dalam acara Jago Boothcamp di Bali, Kamis (28/10/2021).
Selain itu, dari sisi eficiency ratio bank digital bisa mencapai 70,11% tak jauh berbeda dengan industri perbankan 70,19%. Namun yang paling mencolok adalah operating leverage, bank digital mencapai 29,99% sementara bank konvensional minus 9,05%.
Sementara itu, penambahan dana pihak ketiga (DPK) bank digital mampu mencapai 13,65% dibanding 11,98%. Namun dari sisi pertumbuhan kredit bank digital sebesar 7,65% masih lebih rendah dibanding bank konvensional 8,85%.
"Bayangkan dalam 5 hari setelah diluncurkan, jumlah nasabah KakaoBank tambah 1 juta nasabah. Bank konvensional mana yang bisa melakukan hal ini," kata Poltak.
![]() Makalah Poltak Hotradero, Advisor Pengembangan Produk Pasar Modal Bursa Efek Indonesia |
Hingga 2016 jumlah nasabah KakaoBank mencapai 13 juta nasabah. Salah satu kemampuan dari bank digital adalah kecepatan untuk mengakuisisi nasabah baru dan efisiensi.
Poltak mengatakan, di masa depan tidak perlu gedung yang besar. Bank hanya perlu jaringan internet yang terhubung dengan apa saja.
Bagi perbankan Indonesia, kata Poltak digitalisasi adalah keniscayaan kompetitif. Hanya dengan menekan biaya operasional dan menjangkau segmen pasar baru maka sebuah bank dapat terus berkembang.
"Terdapat beberapa cara menjadi perbankan digital dan masing-masing memiliki konsekuensi atas struktur, biaya dan waktu," kata Poltak.
Poltak juga mengingatkan, ongkos dan risiko terbesar dari migrasi digital adalah kegagalan mempertahankan pangsa pasar dan segmen. Hal ini membuat sebuah bank menjadi irrelevan.
Platform digital lebih memudahkan sinergi dengan layanan keuangan digital lainnya - semisal produk investasi pasar modal dan asuransi. Kedua layanan ini sangat intensif menggunakan data
Ke depan, lanjut Poltak, perbankan konvensional akan bertransformasi menuju platform digital demi peningkatan efisiensi. Di saat sama akan muncul pula fenomena bank digital baru yang berasal dari perusahaan teknologi.
Selain itu, akan ada segmen pasar baru yang belum tergarap sebelumnya dan hanya bisa terlayani oleh arsitektur digital.
Pada saat sama Embedded Banking (Banking as a Service) juga akan muncul sebagai bagian dari "plumbing system" jasa keuangan korporasi ataupun individu. Bank yang berada di latar belakang, dengan berada di latar belakang dan embedded layanan perbankan justru menjadi lebih penting lagi.
Persaingan ketiga bank akan menjadi lebih sengit, tapi akan menguntungkan konsumen sektor keuangan akibat tersedianya ragam pilihan kompetitif.
[Gambas:Video CNBC]
OJK Sebut 7 Bank Mau Digitalisasi, Saham Bank Mini Meroket
(tas/tas)