Krisis Energi, Jauh-jauh dari Mata Uang Ini Jika Tak Mau Rugi

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
22 October 2021 12:05
Mata Uang Yen. (REUTERS/Kim Kyung-Hoon/Files)
Foto: Mata Uang Yen. (REUTERS/Kim Kyung-Hoon/Files)

Jakarta, CNBC Indonesia - Mahalnya harga gas alam menjadi pemicu krisis energi sedang melanda beberapa negara dalam beberapa pekan terakhir. Dampak dari krisis energi tersebut juga terasa di pasar mata uang, yen Jepang menjadi yang paling menderita, bahkan diprediksi terus akan melemah.

Melansir data Refinitiv, yen hari ini melemah 0,11% ke 114,09/US$ pada pukul 10:37 WIB. Yen masih berada di dekat level terlemah dalam 3 tahun terakhir 114,69/US$ yang dicapai pada Rabu lalu.

Di saat yang sama, yen menguat 0,2% melawan rupiah di Rp 124,11/JPY, tetapi masih dekat dengan level terendah sejak Februari 2020.

Krisis energi membuat harga minyak mentah ikut meroket. Harga minyak mentah jenis West Texas Intermediate (WTI) sepanjang tahun ini melesat lebih dari 70% ke atas US$ 82/barel, tertinggi dalam 6 tahun terakhir. Kemudian jenis Brent juga sama meroket lebih dari 62% ke kisaran US$ 84/barel, tertinggi sejak tahun 2018.

Nahas bagi Jepang hampir semua kebutuhan minyak mentahnya didapat dari impor. Yen yang sebelumnya sudah melemah melawan dolar AS menjadi semakin terpuruk.

Hanya minyak mentah dibanderol dengan dolar AS, sementara yen sedang melemah, alhasil biaya impor menjadi membengkak. Kurs yen semakin tertekan.

"Yen yang melelah saat harga minyak mentah sedang menguat tajam membuat pendapatan negara 'melayang' keluar negeri dengan mudah," kata Daisuke Karakama, kepala ekonomi di Mizuho Bank yang berbasis di Tokyo, sebagaimana dikutip Reuters.

Tekanan bagi yen masih akan berlanjut di sisa tahun ini, bahkan bisa hingga tahun depan. Sebab, bank sentral AS (The Fed) bersiap untuk mengetatkan kebijakan monternya, sementara bank sentral Jepang (Bank of Japan/BoJ) masih terpaku pada kebijakan ultra longgar.

The Fed akan mulai melakukan tapering atau pengurangan nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) di tahun ini, dan suku bunga paling cepat dinaikkan pada September tahun depan. Sementara BoJ diperkirakan belum akan menaikkan suku bunganya.

"Kita melihat perbedaan kebijakan moneter yang nyata. The Fed kemungkinan akan menaikkan suku bunga tahun depan, sementara BoJ masih tertahan di 0%," kata Athanasios Vamvakidis, kepala strategi mata uang G10 di Bank of Amerika, sebagaimana dilansir Financial Times, Senin (18/10).

Vamvakidis memprediksi yen akan merosot ke kisaran 116/US$ di akhir tahun ini, atau melemah sekitar 1,8% lagi dari level saat ini.

TIM RISET CNBC INDONESIA 


(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Rupiah Dekati Rp 15.000/US$, Begini Kondisi Money Changer

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular