
Tapering (Mungkin) Datang Bulan Depan, Indonesia Siap?

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar memperkirakan bulan depan bank sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve/The Fed akan mengurangi 'dosis' pembelian surat berharga (quantitative easing). Pengurangan quantitative easing ini akrab disebut tapering off, yang menjadi pembicaraan hangat di pasar keuangan global.
Sejak pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) meneror Negeri Paman Sam. Untuk menopang ekonomi yang 'pincang' gara-gara pandemi, The Fed menggelontorkan likuiditas dengan quantitative easing senilai US$ 120 miliar per bulan.
Kini, saat ekonomi AS pulih, The Fed tentu tidak bisa terus mempertahankan quantitative easing. Oleh karena itu, pasar memperkirakan bulan depan tapering akan mulai dilakukan.
Tapering akan berdampak besar di pasar keuangan dunia. Dari pengalaman sebelumnya pada 2013-2015, tapering memporak-porandakan pasar keuangan di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Bagaimana dengan tapering kali ini? Apakah akan semengerikan dulu?
Perry Warjiyo, Gubernur Bank Indonesia (BI), menegaskan tapering kali ini dikomunikasikan dengan baik oleh The Fed. Pelaku pasar pun bisa mengikuti dinamikanya secara terbuka sehingga memberikan respons yang layak dan hati-hati. Tidak ada respons yang kelewat berlebihan.
"Ini berbeda dari taper tantrum 2013. April-Mei 2013, pada waktu itu komunikasi The Fed terjadi tiba-tiba dan mengakibatkan yield (imbal hasil) US Treasury Bonds pernah naik ke 3,5% dalam tempo 1-2 bulan. Sekarang kenaikannya tidak serta-merta, atau secara gradual," jelas Perry dalam jumpa pers usai Rapat Dewan Gubernur (RDG) periode Oktober 2021, Selasa (19/10/2021).
Indonesia, lanjut Perry, tentu akan mengalami dampak tapering. BI dan pemerintah akan terus berkoordinasi untuk melakukan respons kebijakan.
"Bagaimana kami akan melakukan adjustment. Dengan komunikasi yang baik, bagaimana stabilisasi nilai tukar rupiah dan yield SBN (Surat Berharga Negara) juga lebih baik. Itu yang terus kita lakukan dari bulan ke bulan," terang Perry.
Selain itu, tambah Perry, Indonesia juga punya modal yang lebih kuat dalam menghadapi tapering yang sekarang. Pada 2013, defisit transaksi berjalan tinggi yaitu di atas 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Sekarang defisit transaksi berjala rendah, BI memperkirakan 0-0,8% pada 2021.
Kemudian Indonesia juga memiliki cadangan devisa yang sangat memadai. Per akhir September 2021, cadangan devisa tercatat US$ 146,9 miliar, rekor tertinggi sepanjang sejarah Indonesia merdeka.
"Kesimpulannya, kami akan terus memantau dan melakukan respons, juga langkah-langkah stabilisasi kita lakukan. Komunikasi Fed jelas tertata baik, juga melakukan dan akan melakukan dan terus stabilisasi nilai tukar rupiah dan bersama pemerintah stabilisasi SBN," kata Perry.
(aji/aji)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Isu Tapering Menguat, BI Mulai Siapkan Stress Test!